Kepemimpinan dalam konteks gereja selalu dicirikan dengan kepemimpinan seorang gembala, yang dalam bahasa latin disebut “PASTOR”. Gambaran seorang pastor atau gembala yang menggembalakan domba-dombanya memang dikaitkan dengan kekhasan bangsa Israel, yang dalam masa perjanjian lama merupakan bangsa “nomad”, yakni bangsa yang selalu berpindah-pindah tempat untuk mencari daerah yang subur atau OASE baru, di mana terdapat sumber air di tengah padang gurun dan karena itu terdapat padang rumput yang hijau.
Seorang gembala yang baik, pertama-tama bertugas menggiring domba-domba ke sumber air dan padang rumpat yang hijau, dan kemudian melindungi kawanan ternaknya dari sergapan binatang buas di padang.
Gembala (gereja) yang baik disebut PASTOR BONUS (bahasa latin), yaitu gembala yang memuaskan kebutuhan rohani umatnya, sekaligus menjaga iman umatnya dari serangan serigala modern.
Yesus adalah pemimpin utama Gereja yang mengumpamakan diri-Nya sebagai gembala yang memanggil domba-Nya dengan namanya dan menuntunnya keluar, dan kemudian berjalan di depan mereka menuju ke padang rumput yang hijau. (......Jika semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka mengenal suaranya ...... Yoh 10, 1-10)
Sejak semula bahwa kepemimpinan Gereja di dunia ini diserahkan-Nya kepada orang-orang yang dipilih-Nya secara khusus dan itu adalah kedua belas rasul. Petrus, yang menjadi Primus Interpares, diangkat dan dilantik menjadi kepala para rasul dalam suatu pelantikan yang mengesankan di pantai danau Tiberias (Galilea) – (........ Kata Yesus kepadanya: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." ...... Yoh 21, 15-19)
Sungguh mengagumkan Yesus memilih seorang yang sederhana yaitu Petrus, untuk menjadi Paus pertama, seorang penjala ikan, tidak tahu menulis karena tidak sempat masuk SD inpres Yahudi, dan tidak bisa ngomong bahasa international saat itu, yaitu bahasa Yunani, seorang penakut luar biasa yang sempat tiga kali menyangkal Yesus, dan seorang pemarah dan emosional yang pernah dengan kalap menebas putus telinga hamba Imam Besar di Taman Getsemani. Namun demikian Yesus akhirnya tidak kecewa dengan pilihan-Nya, karena ternyata Petrus tampil beda setelah diberdayakan oleh Roh Kudus. Pada hari Pentakosta, Petrus sang paus tampil di depan publik pertama kali dan memberikan pidatonya yang spektakuler yang berintikan tiga hal yaitu mewartakan Yesus yang disalibkan sebagai Tuhan dan Kristus, menyuruh orang Israel bertobat, dan memberikan peringatan keras bahwa mereka adalah angkatan jahat. Hasil pidato perdana tersebut adalah tiga ribu jiwa dibaptis menjadi pengikut Kristus hanya dalam sehari (........Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. ......Kis 2, 14-41).
Dengan demikian Petrus sebagai pemimpin pertama dari Gereja Kristus tampil sebagai guru, pembaptis dan penegur. Menjadi seorang pemimpin religius pasti tidak enak, karena tidak seperti pemimpin politik yang dapat menggunakan dan memaksakan kekuasaannya. Menjadi gembala domba-domba Kristus sangat rentan dengan penderitaan, justru karena sifat kegembalaannya yang harus lebih banyak menunjukkan padang rumput yang hijau dan mengayomi dari berbagai macam bahaya. Ketidak-enakan jadi gembala rohani ini dilukiskan oleh Petrus dalam suratnya yang yang menjelaskan beberapa karakter spiritual dari panggilan menjadi “yang terpanggil” yaitu : kesediaan untuk menderita, harus suci murni dan tulus, tidak boleh membalas bila dicaci maki, tidak boleh mengancam, tidak boleh memihak dan rela berkorban (...... Ia tidak berbuat dosa, dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil. ...... 1 Ptr 2, 20-25)
Dalam perjalanannya Gereja pernah tampil sebagai satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas di dua bidang sekaligus, di bidang hidup religius dan di bidang kehidupan duniawi, sehingga di akhir abad ke lima, ketika Gelasius-I menjadi Paus, ia merumuskan mengenai dua kuasa, kuasa paus dan kuasa raja dan di zaman Gregorius VIII ada pendapat umum yang mengatakan bahwa paus menerima dua pedang atau kuasa dari Kristus, yakni kuasa rohani yang dipegangnya sendiri dan kuasa duniawi yang dipinjamkannya kepada para raja. Maka di abad pertengahan Paus sempat tampil sebagai penguasa Gereja dan Negara sekaligus, sehingga setiap kaisar yang naik tahta harus mendapat restu dari Paus lewat upacara pemahkotaan. Wibawa seorang raja menjadi besar jikalau Paus merestuinya. Sebagai konsekuensi logisnya kehidupan rohani umat menjadi terlantar, sebab para pemimpin sibuk juga mengurusi dunia yang bukan bagian dari reksa pastoral.
Zaman Paus dengan dua pedang itu memang sudah lama berlalu, tetapi tidak jarang juga bahwa praktek kepemimpinan Gereja sekarang inipun tak lagi berkarakter Pastor Bonus, melainkan pastor ekstremis yang menyebabkan mereka tidak lagi menjadi pintu gerbang domba-domba menuju Kristus (Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput. - Yoh 10,9).
Keadaan yang sama juga turut menentukan karakter kepemimpinan Gereja sehingga para paus, uskup, pastor dan para pendetapun lebih dipandang sebagai BOSS dari pada pelayan umat.
Tidak sedikit pula para gembala sekarang ini yang tampil lebih sebagai pemimpin upacara, petugas sakramen, khususnya “tukang misa”, tidak lagi menjadi model hidup religius karena kurang berdoa, dan tidak lagi menjadi gembala yang rela berjalan di depan kawanan dombanya, karena kebanyakan kepentingan gereja sudah diurus oleh jemaatnya. Yang paling ekstrim adalah bila para pemimpin jemaat menjadi sumber pertikaian dan perpecahan, dan mengajak umat untuk bersekongkol melawan pemimpin. Gembala seperti inilah yang disebut sebagai “pencuri dan perampok yang datang untuk mencuri, membunuh dan membinasakan” jemaatnya, dan sekaligus menutup “pintu” yang menuju Kristus. (......Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu? Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman. – Yeh 34, 2-4)
Satu-satunya model pemimpin yang benar adalah Yesus sang Pastor Bonus yang baik hati, sabar, rela menderita dan berkorban, dan yang senantiasa memelihara relasi dengan Allah. Gembala yang baik itu mengenal domba-dombanya, mampu memanggil umatnya dengan namanya dan suaranya didengar, artinya ia dekat dan mau mendekatkan diri secara profesional, dan lebih-lebih secara personal.
(disari dari Tetes-tetes Inspirasi, Pustaka Nusantara)
7/07/2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar