
7/24/2015
PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (1)

6/25/2013
LOUIS-MARIE GRIGNION DE MONTFORT
Read more .....
11/01/2011
PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (4)
Mundur Ke Cassiciacum
Pada musim panas tahun 386, di Milano ramai dibicarakan tingkah laku yang aneh dari guru retorika yang muda itu. Kepada dunia di sekitarnya, terkecuali lingkungan sahabatnya yang akrab, Augustinus memberi kesan bahwa seluruh pribadinya menderita gangguan.
Menurut laporannya sendiri, ia diganggu kelemahan paru-paru dan sakit dada yang menyulitkan pernapasannya. Dan lagi, suaranya parau sehingga terpaksa tidak lagi mampu berbicara lama.
Semester kuliahnya masih tinggal tiga minggu, Augustinus khawatir ia hampir tidak bisa tahan selama waktu itu, ia mengaku bahwa ia kehilangan semua ambisi untuk mencari uang. Ia berpendirian bahwa tugas dan karirnya sekarang berkontradiksi dengan iman kepercayaan yang baru didapatkannya. “Karena sudah dibeli oleh-Mu, aku tidak akan kembali lagi menjual diriku.” (Conf.IX.II.2). Jabatannya sekarang ia sebut “kursi dusta-dusta”, jelasnya ia harus menjauhkan diri dari semuanya itu dan memulai hidup baru.
Seorang guru besar lain yang bersahabat karib dengan Augustinus, yakni Verecundus, agak cemas hati karena kejadian yang menyangkut Augustinus. Khususnya ia mencemaskan kondisi kesehatannya, walaupun ia memang mendengar juga tentang “berkat yang baru saja diterima Augustinus di taman.” Verecundus belum menjadi Kristen, tetapi beristri seorang Kristen, dan ia sangat bersimpati kepada Augustinus dan semua yang dialaminya (Verecundus meninggal tahun berikutnya sesudah ia diterima dalam Gereja)
Libur sudah dekat, Verecundus mempunyai sebuah rumah yang luas di luar kota Milano di Cassiciacum. Rumah itu ditawarkannya kepada Augustinus sekeluarganya untuk dipakai selama diinginkannya. Augustinus dengan senang hati menerima tawaran itu, sebab Milano sebuah kota besar yang letaknya di lembah sungai Po yang panas dan lembab. Waktu itu, ia belum meletakkan jabatan guru besar. Segera setelah waktu libur habis, ia memberitahukan kepada yang bersangkutan di Milano bahwa “mereka harus mencari seorang guru penjual kata-kata yang lain”. Dikemukakannya dua alasan, bahwa ia adalah seorang Kristen dan bermaksud untuk dibaptis dan ia kurang sehat.
Dari September 386 sampai Februari 387, Augustinus mengundurkan diri ke rumah Verecundus di Cassiciacum untuk bersemadi dan menulis. Letaknya tepat di Selatan Danau Como, di tengah-tengah pepohonan kastanye, daerahnya hutan hijau tua, dengan puncak pegunungan di horizon jauh di sebelah utara.
Musim gugur sudah dekat, dan warna-warni mulai berubah. Ini kesempatan satu-satunya kita bisa mengamati Augustinus dari dekat, dalam situasi yang konkret yang memberinya ruang dan peluang untuk memikirkan dunia alam sekitarnya dan dunia batin di dalamnya. Di kemudian hari ia sering mengenangkan waktu yang terberkati itu secara terperinci, sampai corak dedaunan musim gugur dengan warna-warni kencana tua dan kuning jingga, sampai sungai-sungai kecil yang tercekik oleh daun-daun yang layu dari musim panas.
Masalah perkawinan sudah tidak ada lagi. Kita tidak tahu siapa yang mengatur agar hubungannya dengan bakal istrinya diberhentikan, atau bagaimana ia berpisah dengan gundik terakhirnya. Mungkin Monica memperhatikan hal-hal yang memalukan ini, seperti ia memperhatikan banyak hal lain, di antaranya rumah tangga baru di Cassiciacum.
Rumah tangga baru itu merupakan keluarga yang gembira. Anggota keluarga itu terdiri atas Augustinus dan Alypius, tentu saja dengan Adeodatus. Nebridius tidak sempat ikut serta, tapi Augustinus punya kakak Navigius serta beberapa orang lain, turut membentuk keluarga di Cassiciacum. Di antaranya Lisentius, seorang mahasiswa Augustinus yang paling cerdas. Ia anak Romanianus, penderma Augustinus sepanjang hidupnya. Sudah selayaknya buku Contra Academicos yang ditulis Augustinus waktu itu dipersembahkan kepada pendermanya itu. Romanianus sendiri tidak hadir, rupanya ia tidak setuju dengan program Cassiciacum, mungkin pengunduran diri dari karier dan tugas umum oleh Augustinus dianggap Romanianus suatu kesempatan yang sia-sia.
Kelompok mereka itu berada jauh dari intrik-intrik unversitas dan istana. Mereka hidup bersama di tempat kediaman sementara yang ideal itu seperti semacam biara kaum awam. Rumah milik Verecundus itu merupakan tempat tinggal bila panas terik dan kelembapan iklim di Milano tak tertahankan lagi. Gedung itu mempunyai kolam pemandian, yang tentu saja adalah sumber kesenangan bagi Augustinus. Diceritakannya bagaimana mereka biasa berkumpul di sana untuk diskusi filsafat.
Demikianlah mereka melewatkan hari-hari terakhir musim panas tahun 386, dengan Monica sebagai pemimpin yang menyediakan segala-galanya untuk keluarga besar itu. Itu tidak berarti bahwa ia tidak mengambil bagian dalam diskusi filsafat mereka. Selain mengatur meja dan rumah tangga, ia sering juga telibat dalam pembicaraan dengan sebuah kata yang tepat, khususnya bila diskusi mereka menjadi panas.
Dalam waktu luang dan lingkungan alam tersebut, Augustinus menemukan diri kembali dan mulai merefleksi serta menulis. Dalam semadinya, ia mendapatkan keindahan mazmur-mazmur dan mulai menghayatinya. Dengan karya tulisnya, ia memulai suatu tugas pelayanan dengan pena untuk bertahun-tahun lamanya. Ia berkata, “Aku coba menjadi salah seorang yang menulis karena berkembang, dan yang berkembang karena menulis.” Itu benar untuk sepanjang hidup selanjutnya.
Karya tulisnya di Cassiciacum
Buku pertama yang ditulis Augustinus dalam bulan November tahun itu adalah Melawan Skeptisisme dan Agnostisisme. Itu suatu aliran pikiran yang berpendirian bahwa manusia tidak mampu mengetahui apapun dengan pasti, namun selalu hidup dalam keadaan keraguan dan ketidak-tahuan. Dulu Augustinus sendiri berpendirian demikian, yaitu pada saat ia melepaskan Manikheisme sedangkan ia tidak tahu di mana ia mau cari pegangan hidup lagi. Akan tetapi iman kepercayaan yang baru ia temukan membuat dia menolak aliran filsafat itu. Sebaliknya Augustinus sekarang beranggapan bahwa manusia memang bisa mencapai kepastian, yakni berdasarkan pahamnya sendiri atau berdasarkan wewenang pihak lain. Manusia tidak usah melewatkan seluruh hidupnya dalam ketidaktentuan dan spekulasi belaka. Sebagai seorang Kristen, Augustinus menerima wewenang Kitab Suci dan tradisi serta ajaran Gereja. Wahyu Allah telah mengganti spekulasi semata-mata. Buku Melawan Skeptisisme dan Agnostisisme itu merupakan buku pendek dalam bentuk sebuah diskusi antara Augustinus dan beberapa anggota keluarganya.
Buku kedua yang sempat diselesaikan Augustinus pada hari ulang tahunnya, 13 November, merupakan hasil pembicaraan selama tiga hari. Buku itu yang judulnya Tentang Kebahagiaan, menunjukkan bahwa pada tahap ziarahnya sekarang, Augustinus sangat yakin bahwa kebahagiaan yang sungguh dan sejati hanya terdapat dalam pengetahuan akan Allah. Selain dua buku itu, Augustinus menulis lagi sebagian dari buku lain, yaitu Tentang Keseimbangan Dalam Alam Ciptaan Allah. Semuanya itu ditulisnya dalam bulan-bulan yang santai di Cassiciacum, waktu musim gugur tahun 386. Bahan yang dibicarakan dalam karangan itu sebagian besar diambil dari percakapan mereka. Augustinus sendiri berkesimpulan bahwa hal-hal yang sungguh besar dan penting bila didiskusikan oleh orang kecil biasanya membuat orang itu bertumbuh besar. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa filsafat dan metafisika bukan milik eksklusif dari para ahli di tingkat unversitas saja. Soal-soal itu langsung mengena hati segenap orang laki-laki dan perempuan, asal saja mereka betul-betul mau mencari kebenaran. Gereja adalah lingkungan tempat orang seperti itu mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh, entah mereka termasuk kaum cendekiawan atau bukan. Augustinus selalu berpendirian bahwa Gereja tidak hanya terdiri dari segelintir orang cerdas saja, tetapi terdiri dari persekutuan orang beriman yang berusaha menjalankan hidup kebenaran. Mungkin sekali kebenaran itu lebih mudah tercapai dengan perundingan bersama, dalam persekutuan Gereja, dari pada dengan spekulasi abstrak seorang diri.
Waktu musim dingin mendekat, Augustinus menulis buku lain lagi, yaitu Percakapan Seorang Diri. Buku itu merupakan potret diri yang pertama, terdiri atas suatu tukar pikiran yang tajam antara akal budinya dan jiwanya. Buku ini mulai dengan doa panjang kepada Tuhan, yang mengandung satu bagian yang rumusannya sangat bagus, yang masih sering dipakai ratusan tahun kemudian :
Oh God, from whom to be turned is to fall;
To whom to be turned is to rise;
From whom to depart is to die;
To whom to return is to revive;
In whom to dwell is to live;
Whom no man loses unless he be deceived;
Whom no man seeks unless he has been admonished;
Whom no man finds unless he has been purified.
Whom to abandon is to perish,
To reach out to whom is to love,
To see whom is true possession.
Ya Allah, berpaling dari pada-Mu berarti jatuh;
Berbalik kembali kepada-Mu berarti bangkit;
Berpisah dari-Mu berarti mati;
Pulang kepada-Mu berarti hidup kembali;
Menetap di dalam-Mu berarti hidup;
Yang tak seorangpun kehilangan terkecuali kalau ditipu;
Yang tak seorangpun cari terkecuali kalau dinasihati;
Yang tak seorangpun dapatkan terkecuali kalau disucikan;
Yang meninggalkannya berarti binasa;
Yang menjangkaunya berarti mengasihi
Yang melihatnya berarti sungguh-sungguh memiliki.
Perenungan Augustinus tentang isi lubuk hatinya di dalam buku Percakapan Seorang Diri seakan-akan mencerminkan pengaruh musim dingin, yang malam harinya semakin panjang dan siang harinya makin pendek. Augustinus menarik diri dari macam-macam cita-cita lahiriah kepada cahaya dan kemesraan batiniah. Bagi Augustinus, tahun 386 yang bersejarah itu sudah hampir berakhir dan musim dingin seolah-olah menunjukkan kematian Augustinus lama – satu kematian yang tentu saja membuka pintu untuk musim semi, yakni kebangkitan hidup baru. Augustinus insaf, hanya ada satu tempat untuk mendapatkan hidup baru itu, yakni dalam air baptisan dari tangan Ambrosius di Milano. Itulah tempatnya di mana segala-galanya akan dijadikan baru.
Ia memberitahu Ambrosius kapan kontraknya dengan universitas berakhir. Dalam surat yang sama, ia meminta nasihat buku-buku apa saja yang sebaiknya dipelajari, agar lebih siap dan layak untuk menerima sakramen baptisan. Ambrosius menganjurkan Kitab Nabi Yesaya, tapi Augustinus merasa bab pertama sedikit sulit, sehingga untuk sementara waktu, ia menyisihkan buku itu. Masa pengunduran diri dan renungan berakhir. Telah sampai waktunya untuk mendaftarkan diri untuk ikut pelajaran agama pada Ambrosius, selama masa puasa, mulai bulan Februari.
Read more .....
PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (3)
Menjelang Pertobatannya
Untunglah beberapa peristiwa dan beberapa orang yang bukan pilihan Augustinus sendiri mulai menyelingi hidupnya. Mereka menyalakan fantasinya dengan cerita-cerita dan citra yang mengubah seluruh perspektif pikirannya.
Pertama-tama, ia berkunjung kepada Simplicianus, bapak rohani Ambrosius. Ambrosius mencintai dia sungguh-sungguh, sebab melalui dia Ambrosius telah memperoleh rahmat Tuhan. (bdk.Conf.VIII.II.3). Simplicianus menceritakan kepada Augustinus seluruh kisah pertobatan dari salah seorang yang bernama Victorinus, yang dikenalnya secara dekat sewaktu masih di Roma. Ketika Simplicianus menceritakan kisah Victorinus, Augustinus mendengarkan dengan sungguh-sungguh tiap kata yang diucapkannya. Cerita itu cukup mengesankan, bagaimana seorang yang terpandang di muka umum dan yang berpengetahuan luas menjadi orang Kristen.
Sebagai guru, Victorinus sudah mengajar banyak anggota Senat yang terkemuka. Sebagai bukti bakatnya yang menonjol sebagai seorang dosen, maka dibuatlah patung dirinya yang diletakkan di Forum Romanum, suatu kehormatan yang amat tinggi di mata dunia. Ia selalu menyembah berhala dan turut ambil bagian sepenuhnya dalam upacara-upacara umum untuk menghormati dewa-dewi nasional. Ia juga membaca-baca Kitab Suci dan semua buku Kristen yang dicarinya dengan sangat rajin dan diselidikinya. Suatu hari, ia berkata kepada Simplicianus, “Ketahuilah bahwa aku sudah menjadi orang Kristen.” Sahut Simplicianus, “Aku baru akan percaya dan menganggapmu termasuk kaum Kristen bila kulihat engkau dalam Gereja Kristus.” Victorinus tertawa sambil berkata, “Jadi tembok-tembok itulah yang membuat seseorang menjadi Kristen.” Jelasnya, Victorinus segan menyakiti hati sahabat-sahabatnya yang menyembah berhala, tetapi tidak lama kemucian, ia minta Simplicianus mengantar dia menjadi anggota Gereja.
Simplicianus mengajarkan dia pokok-pokok iman yang dasar dan tidak lama kemudian Victorinus memohon namanya didaftarkan untuk dilahirkan kembali oleh baptisan. Roma menyaksikannya dengan heran, namun Gereja bergembira. Bagi dia sudah sampai waktunya untuk mengucapkan pernyataan iman. Pernyataan itu biasanya dibuat menurut satu rumusan yang dihafalkan orang, kemudian diucapkan di atas panggung di hadapan umat. Imam yang memimpin upacara menawarkan kepada Victorinus agar ia mengucapkan pernyataan iman itu secara diam-diam, sering diatur begitu untuk orang terkemuka, yang agaknya menganggap upacara itu di hadapan umum memalukan mereka. Tetapi, Victorinus menolak dengan tegas, ia tetap mau mengakui imannya di hadapan umat, malahan bukan menurut satu rumusan, melainkan dengan ucapannya sendiri. Jadi pada saat ia naik panggung, para hadirin hening, sebab mereka semua ingin mendengarkan ahli pidato itu. Kali ini Victorinus tidak menjual kata retorik yang kosong, tetapi membawa Firman Tuhan tentang rahmat dan pengampunan. (Conf.VIII.II.3-5)
Sementara Simplicianus menceritakan riwayat tentang Victorinus, Augustinus mulai berkobar semangatnya untuk menuruti teladannya. Ditambah lagi oleh Simplicianus, bahwa karena pernyataan imannya itu, Victorinus kehilangan pangkatnya.
Setelah pertemuannya dengan Simplicianus, setiap kali ia dapat meluangkan waktu, maka Augustinus pergi ke Gereja, sering diantar oleh Alypius. Pada suatu ketika, waktu musim panas tahun 386, salah seorang yang namanya Pontisianus, seorang Kristen yang berpangkat tinggi dalam keluarga Kaisar, dengan tak diduga-duga berkunjung kepada Augustinus. Pada kunjungan itu, Pontisianus kebetulan melihat sebuah buku di atas meja. Ia mengambilnya, dan ia heran melihat bahwa buku itu berisi surat-surat rasul Paulus. Augustinus menjelaskan bahwa ia sedang mempelajari tulisan Paulus dengan amat teliti. Lalu percakapan beralih ke topik lain. Pontisianus mulai menceritakan kepada Augustinus dan Alypius tentang Antonius, seorang rahib Mesir yang telah berpulang tiga puluh tahun lalu, dengan meninggalkan beberapa murid yang bertambah terus jumlahnya dan pengaruhnya di dalam seluruh Gereja. Semuanya itu merupakan berita baru bagi Augustinus.
Pontisianus melanjutkan dengan kata-kata yang sangat mengharukan, bagaimana dia sendiri dan seorang sahabat amat terpesona oleh kesaksian hidup membiara, teristimewa pada kunjungan mereka bersama Kaisar ke Trier di Germania. Di situ, mereka mempunyai beberapa rahib yang menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kesucian, dan menemukan satu eksemplar tulisan tentang riwayat hidup Antonius. Rahib-rahib itu dulunya adalah tentara legium Romawi di Trier. Sambil membaca buku tentang Antonius itu, mereka merasakan suatu ketidak-puasan dengan hal-hal duniawi dan mengalami panggilan mendalam untuk mengikuti teladan Antonius dalam kesucian hidupnya.
“Tetapi sambil ia berbicara, ya Tuhan”, Augustinus menulis dalam Confessiones, “Kaubalikkan aku kembali menatap diriku, Kau tarik aku dari balik punggungku tempat yang kuambil supaya mataku tidak perlu menatapku. Demikianlah aku dirongrong dalam batinku, hatiku tergoncang oleh rasa malu yang amat mengerikan, sementara Ponticianus memberitakan hal-hal itu. Setelah ia menyelesaikan ceritanya dan urusan yang dibawanya, ia pergi dan aku berpaling ke dalam diriku. Apa saja yang tidak kukatakan pada diriku ? Cambuk mana saja yang tidak kupakai dalam pikiranku untuk mendera jiwaku untuk memaksanya mengikuti diriku, aku yang sedang mencoba melangkah di belakang-Mu ? Jiwa itu membangkang, jiwa itu menolak, tetapi tidak memakai dalih lagi.” (Conf.VIII.VII-VIII).
Kini krisis batin Augustinus memuncak, tentang krisis batinnya itu, Augustinus berkata, “Ada taman kecil di tempat kediaman kami. Ke sanalah aku terbawa oleh kegelisahan hatiku, ke tempat tak seorangpun akan mengganggu pertarungan dahsyat yang telah kuadakan dengan diriku, sampai kesudahannya. Dalam pergolakan kebimbanganku itu, kucabuti rambutku, kupukul-pukul dahiku, kudekap lututku dengan jari-jariku yang jalin menjalin.” (Conf.VIII.VIII.19-20).
Di dalam taman itu, pada suatu hari di musim panas tahun 386, Augustinus memeriksa seluk-beluk jiwanya yang masih tersembunyi. Akhirnya, ia mulai mengakui ketidak-mampuannya untuk menjadikan hidupnya suatu persembahan total. Ia mulai sadar, bahwa pribadinya terbagi-bagi. Hal itu jelas dari hawa nafsunya yang tak terkendali. Memang ia selalu berniat untuk hidup suci, tetapi selalu juga menunda-nunda niatnya. Ia berkata, “Aku meraung-raung mengibakan. Berapa lama lagi ? Besok, selalu besok. Mengapa tidak sekarang juga ? Mengapa tidak langsung dihabiskan kekejianku ?” (Conf.VIII.XII.28).
“Timbullah badai besar, sarat dengan hujan air mata yang lebat. Supaya air mata dan keluh kesah dapat kuumbar sampai habis, aku bangkit dan menjauh dari Alypius, sebab kesendirian menurutku lebih cocok untuk karya air mata. Aku menarik diri sampai cukup jauh.” (Conf.VIII.XII.28).
Dalam bab yang paling dramatis dari riwayat hidupnya, Augustinus melanjutkan ceritanya, “Maka terdengar olehku suara yang datang dari rumah tetangga, suara itu berkata dengan nada bernyanyi dan sering diulang-ulanginya dengan suara anak laki-laki atau anak perempuan, entahlah. Ambillah, bacalah ! Ambillah, bacalah ! Segera aku berubah wajah dan dengan pikiran ditajamkan aku mulai mencari-cari apakah anak-anak biasanya memakai lagu sedemikian dalam salah satu jenis permainan; tidak, tak ada kuingat pernah mendengar lagu itu di manapun. Kubendung serangan air mataku dan aku bangkit, sebab kejadian itu kuanggap tak lain dari perintah Tuhan yang mendesak, supaya kubuka kitab dan supaya kubaca apa yang kutemukan pada bab yang pertama-tama kujumpai. Aku memang pernah mendengar mengenai Antonius, bahwa dari bacaan Kitab Injil dalam Gereja yang kebetulan dimasukinya, telah dipetiknya peringatan untuk dirinya pribadi, seakan-akan khusus kepadanya dikatakan apa yang terbaca, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku (Mat 19:21), dan bahwa Sabda demikian segera membuatnya berpaling kepada-Mu. Maka dengan tergesa aku kembali ke tempat Alypius duduk. Benar, di sanalah telah kutaruh buku rasul tadi waktu aku bangkit dan pergi dari situ. Buku kupegang, kubuka, dan kubaca dalam hati bab pertama yang kepergok mataku, “Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati, tapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus, dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya (Rm 13:14)
Aku tidak mau membaca lebih lama lagi, tidak perlu. Seketika memang, dengan kata-kata terakhir nas itu, seakan-akan ada cahaya keselamatan tercurah ke dalam hatiku dan segala kegelapan, keraguan menghilang, lalu kusisikan jari, atau entah tanda lain apa, ke dalam buku yang kututup ; lalu dengan wajah yang sekarang sudah tenang kuberitahukan hal itu kepada Alypius..... Dari sana, kami pergi ke tempat ibuku; kepada ibuku kami ceritakan bagaimana kejadiannya, ia bersuka-ria dan merasa menang. Sebab dilihatnya bahwa kepada dirinya telah dianugerahkan oleh-Mu, berhubung dengan diriku, jauh lebih banyak dari pada yang telah dimintanya terus menerus dalam doanya sehari-hari dengan tangis dan ratap yang mengibakan. Aku memang Kautobatkan kepada-Mu begitu rupa, sehingga aku tidak lagi mencari istri, atau apapun yang diharapkan di dunia ini. Perkabungannya telah Kauganti dengan sukacita, sukacita yang jauh lebih melimpah dari pada yang tadinya diinginkannya, jauh lebih manis dan lebih suci dari pada apa yang diharapkannya dari cucu-cucu yang mungkin lahir dari tubuhku. (Conf.VIII.XII.29-30).
Read more .....
PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (2)
Pengaruh Ambrosius
Namun panggung drama ini belum lengkap. Pelaku yang paling utama dalam drama ini adalah seseorang yang pendek sosok tubuhnya, tetapi besar pengaruhnya. Ia adalah Ambrosius, Uskup Milano.
Sesampai di Milano, Augustinus menceritakan pertemuannya dengan Ambrosius, “Maka sampailah aku di Milano, di tempat Uskup Ambrosius, yang di seluruh muka bumi terbilang yang terbaik. Abdi Allah ini menerimaku dengan sikap kebapakan dan sebagai seorang Uskup yang sejati, ia menyatakan betapa senangnya akan pemindahan saya. Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai guru suatu kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku. Aku rajin mendengarnya berkhotbah di depan rakyat.” (Conf.V.XIII.23).

Memang Augustinus amat terkesan pada Ambrosius. Dia yang paling mempengaruhinya pada masa perkembangan Augustinus yang penuh tekanan batin itu, dan yang akan menjadi contoh baginya dalam hidup pelayanannya sebagai Uskup. Ambrosius, empat belas tahun lebih tua dan sudah menjalankan jabatan Uskup sebelas tahun lamanya. Mula-mula Augustinus paling mengagumi kefasihan bahasa dari Ambrosius. Ia seorang pengkhotbah dan guru agama yang hebat. Selain itu, Ambrosius juga seorang pengarang yang terkenal. Jasanya yang utama terletak di bidang pemerintahan gerejawi. Ia tampil ke depan sebagai seorang politikus yang lihai terhadap politik istana. Dalam tipu daya Yustina, ibunda Kaisar, Ambrosius menentang dia di hadapannya. Yustina itu adalah seorang perempuan yang kuat dan zalim, tetapi dalam diri Ambrosius yang kecil itu, ia menemukan seorang kawan yang sepadan baginya, khususnya pada saat ia memerintahkan tentara kekaisairan untuk mengepung basilika, tempat Ambrosius serta umatnya sudah mengungsikan diri.
Akhirnya, inilah pahlawan yang selama ini Augustinus cari. Inilah teladan dan pembela yang gigih dari kebenaran iman Kristiani. Tidak mungkin Augustinus tidak masuk basilika yang baru dan sangat indah itu, tempat Ambrosius hampir setiap hari menerangkan Kitab Suci amat dikagumi Augustinus. Ia mengatakan bahwa baru Ambrosiuslah yang menandaskan bagaimana harus menafsirkan buku-buku Taurat dan para Nabi, yakni dengan menunjuk kepada arti spiritual dan alegoris teksnya. Dengan demikian, Augustinus dapat mengatasi penafsiran yang agak fundamentalis yang dia pergunakan sebelumnya. Ambrosius berhasil menanamkan dalam diri Augustinus suatu pengertian yang terluput dari hal-hal yang tidak masuk akal dan aneh, yang dahulu dianggap oleh Augustinus sebagai bagian mutlak dari doktrin Kristiani. “Yang sudah bertahun-tahun kuteriaki itu bukanlah iman Katolik, melainkan rekaan pikiran jasmani.” (Conf.VI.III.4). Itulah cara Ambrosius menyiapkan Augustinus. Untunglah, akhirnya Augustinus menerima pelajaran agama dari guru yang paling unggul. Persiapan itu mutlak perlu, jika sekiranya Augustinus dengan akalnya yang tajam akan menjadi seorang Kristen yang sungguh.
Krisis dan Konflik
Sekarang riwayat hidup Augustinus makin mendalam. Ada banyak tokoh di sekeliling Augustinus, masing-masing dengan peranannya. Namun demikian bukan mereka, melainkan kekacauan dan kemelut batinnya yang membawa dia ke titik balik pertobatannya. Pada satu pihak, ia masih mendambakan popularitas, kekayaan, dan perkawinan. Akan tetapi, pada pihak lain ia sadar bahwa sekarang walaupun usianya sudah tiga puluhan ia masih menggelepar. Selanjutnya hubungannya dengan pemerintah yang memaksa dia menjilat ke atas menyakiti perasaan integritasnya. “Penderitaanku bulat”, ia menceritakan seraya menyiapkan suatu pidato kenegaraan yang penuh puji-pujian terhadap Kaisar. “Pujian yang kuisi dengan banyak dusta, yang bakal menimbulkan bagi si pendusta kesedihan hati orang-orang yang paham benar.” (Conf.VI.VI.9).
Sambil mempersiapkan pidatonya dan berjalan-jalan di kota Milano, ia melihat seorang pengemis yang rupanya telah mendapatkan makanan dan minuman secukupnya untuk hari itu. Ia sedang tertawa dan bergurau. Pandangan yang kontras antara pengemis yang puas dan gembira, dengan hidup Augustinus sendiri yang penuh penderitaan membuat dia berkata, “Dorongan segala macam ketamakan menyebabkan aku menyeret beban ketidak-bahagiaanku, yang malah bertambah berat lantaran kuseret. Kebahagiaan itu telah dicapai lebih dahulu oleh si pengemis, tetapi kami barangkali tidak bakal mencapainya. Apa yang telah diperolehnya dengan beberapa keping uang yang didapat dengan meminta-minta, itulah yang dengan segala liku-liku kukejar, yaitu kesenangan suatu kebahagiaan sementara.” (Conf.VI.VI.9).
Bagaimanapun juga, Augustinus tidak merasa diri seorang kaya yang karirnya berhasil, kendatipun ia seorang guru besar retorika. Malahan sebaliknya ia merasa miskin, lebih miskin dari pada pengemis yang dia lihat tadi. Kegelisahan hatinya membayangi seluruh hidup Augustinus. Dalam buku Confessiones, ia menceritakan impian buruk itu. Ia diganggu suara-suara dari sudut-sudut yang berlawanan yang menawarkan nasihat yang bertentangan satu sama lain. Sambil membelok kian kemari, ia mengikuti tawaran-tawaran itu, sehingga konflik batinnya semakin memuncak.
Masalah kejahatan dan dosa muncul kembali. “Di mana gerangan yang jahat ? Dari mana dan melalui jalan mana yang jahat itu sampai menyelinap ke sini ? Yang mana akarnya dan yang mana benihnya ?” (Conf.VII.V.7). Ia tidak puas dengan jawaban yang bukan-bukan dari pihak Manikheisme, lama kelamaan ia mulai mengerti, bahwa soal kejahatan dan dosa barangkali bukan hanya soal intelektual melulu. Soalnya terletak dalam dirinya sendiri. Akan tetapi waktu itu mata hatinya masih kabur, sehingga ia tidak mampu melihat masalahnya itu sebagaimana mestinya, apalagi jawabannya. “Pikiran-pikiran yang kubolak-balik dalam hati yang sengsara, ... karena kebenaran belum ditemukan.” (bdk.Conf.VII.V.7). Tetapi akhirnya, sebagai hasil pengaruh pelajaran dari Ambrosius, Augustinus makin cenderung mengakui, bahwa “jalan keselamatan manusia terdapat dalam Tuhan kita Yesus Kristus, dan dalam Kitab Suci, sebagaimana ditegaskan oleh Gereja Katolik.” Akhirnya timbul sedikit pegangan dalam pikirannya yang serba kacau itu.
Sekalipun begitu, dalam hari-hari dan bulan-bulan yang dilalui dan ia makin mendekati titik krisis dan putus asanya, Augustinus mulai insaf, bahwa ia membutuhkan penyelamatan, dalam Kitab sucilah ia akan menemukan kata-kata penyembuhan. Terutama sekali, ia memerlukan cinta kasih sebagaimana diwahyukan oleh diri Yesus Kristus, bukan pertama-tama karena suatu ideologi atau filsafat baru. Memang ia mulai mencintai Allah walaupun belum sepenuhnya, dengan pikiran dan bibirnya ia dapat mengakui Allah, tetapi ia belum berhasil melibatkan hatinya dan menyesuaikan arah hidupnya senada dengan pengertian dan pengalaman yang baru itu.
Bagi Augustinus, soal yang utama ialah ketidak-teraturan hidup seksualnya. Ia pernah mengaku kepada Alypius, bahwa ia tidak sanggup menjalankan hidup selibat sebab merasa terlekat kuat sekali pada kenikmatan seksual (bdk.Conf.VI.XII.21). Dalam ungkapan ini berkumandang pengalaman rasul Paulus, yang surat-suratnya mulai mendapat perhatian utama dari Augustinus. Ia khususnya terkesan akan kutipan : “Keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging, karena keduanya bertentangan.” (Gal 5:17). Ia sangat mendukung ucapan Paulus : “Bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” (Rm 7:19). Kisah Paulus amat mirip dengan riwayat Augustinus, dan peyembuhan yang bakal diperolehnya tak lama lagi juga amat mirip penyelesaiannya dengan rasul orang kafir itu. Pertobatan bukan melalui pergulatan intelektual, melainkan melalui campur tangan penuh kasih dari Allah, bukan dengan diperolehnya sebuah ide yang baru, melainkan dengan didapatkannya seorang sahabat yang baru. Memang dilema itu tetap ada, tetapi inti masalahnya menjadi lebih terang bagi Augustinus.
Dia berkata, “Akupun merindukan kesempatan untuk mengabdikan diri dalam pelayanan-Mu. Dalam pada itu, kemauan yang baru saja lahir dalam diriku itu belum mampu mengatasi kemauanku yang terdahulu.” (Conf.VIII.V10). Ia sering memanjatkan sebuah doa yang mencerminkan keadaan batinnya, “Brikan aku kesucian dan kekuatan untuk menahan hawa nafsu, tetapi jangan sekarang.” (bdk.Conf.VIII.VII.17).
(Sumber : Augustinus Tahanan Tuhan – Oleh Mgr.P.Van Diepen, OSA ; Editor N.Halsema, SJ - Diterbitkan dalam kerjasama Pusat Pastoral Yogyakarta & Penerbit Kanisius)
Read more .....
8/12/2010
SANTA CLARA
Read more .....
5/17/2010
Hanya Untuk Hari Ini
yang tak terpegang
9/10/2009
DEVOSI EKARISTI SANTO THOMAS AQUINAS
Read more .....