Tampilkan postingan dengan label Para kudus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Para kudus. Tampilkan semua postingan

7/24/2015

PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (1)


Marilah kita mengikuti Augustinus menuju puncak batinnya yang bermuara pada pertobatannya. Kita akan melihat dia, seperti para sahabatnya melihat dia berjuang dan meronta-ronta. Kita mengikuti dia dalam perjalanannya yang sangat jauh, yaitu perjalanan batin yang harus ditempuhnya, dari pengertian intelek sampai kebenaran yang diterima oleh hati yang serasi, berikutnya sampai kebenaran itu dilaksanakan dengan kemauan yang keras.

Kita akan menyaksikan penderitaan jiwanya yang memuncak hampir sampai pada titik patah hatinya, tetapi justru pada saat dramatis itu jalan buntu menjadi jalan ke luar bagi Augustinus.

Lebih dahulu harus kita melihat pentas tempat berlangsungnya drama itu. Walaupun para pemeran di atas panggung itu hanya memainkan peranan yang sekunder, namun mereka juga amat penting. Makin tampaklah pada diri Augustinus ciri khas pembawaannya. Bagi dia, hidup hanya mungkin bersama dengan sahabat-sahabatnya. Dalam suka dan duka, dia tidak tahan sendirian. Bila kelak ia menjadi Uskup Hippo, di luar waktu studi, menulis atau membaca, ia senantiasa berada bersama kawan-kawan beserta keluarganya. Benih hidup berkomunitas sebagaimana dihanyatinya kemudian sudah ada sejak dari masa mudanya dan menjadi amat kentara setibanya di Milano.
Tidak lama kemudian, ibunya, Monica kembali dekat dengan Augustinus. Sebenarnya ia datang ke Milano untuk mengurus tanah warisan milik almarhum suaminya, Patrisius. Betapa amat tepat kedatangannya, akan tetapi ia tidak datang seorang diri. Dibawanya serta rombongan yang bakal masuk dalam keluarga guru besar Augustinus, yaitu anak Monica yang pertama, Navigius, dan dua kemenakan, Rustikus dan Lastidianus. Augustinus menghibur ibunya dengan kabar yang menyenangkan, bahwa ia memang belum seorang Kristen, tetapi sekurang-kurangnya tidak lagi seorang penganut Manikheisme (suatu agama gnostik Persia kuno yang pernah berkembang luas namun sekarang telah punah). Waktu itu umurnya 30 tahun. “Aku telah dibebaskan dari kebohongan, sekalipun belum memeluk kebenaran.” Walaupun demikian, Monica makin yakin, bahwa sebelum meninggal ia akan melihat anaknya, Augustinus, sebagai seorang Kristen yang setia. Semuanya itu menjadi perangsang kerinduan dan doanya, sehingga dengan lebih tabah lagi ia berkunjung ke Katedral dan tempat ziarah orang suci. Dalam rumah tangga Augustinus, ada gundiknya bersama anaknya, Adeodatus, yang usianya saat itu sudah dua belas tahun. Akan tetapi, keadaan itu tidak dapat dipertahankannya labih lama lagi. Ada kalanya Augustinus diundang ke istana kaisar untuk membawa pidato kenegaraan. Berhubung dengan itu, ia harus menempatkan diri pada tingkat masyarakat yang selaras dengan kedudukannya. Demi kariernya, ia memerlukan seorang istri yang sah. “Tak bosan-bosannya orang mendesak aku beristri, terutama ibuku, yang dengan demikian berharap supaya setalah aku beristri akan menerima pembasuhan oleh baptisan yang membawa keselamatan.” (Conf VI.XIII.23).
Ia memang sudah meminang seorang gadis, tetapi pernikahannya terpaksa harus ditunda, sebab umur calon istrinya baru 12 tahun, dua tahun di bawah umur yang sah. Namun persiapan untuk pernikahan itu berjalan terus. Syarat mutlaknya, Augustinus harus melepaskan perempuan yang telah empat belas tahun setia kepadanya, dan yang telah mengasuh anaknya. “Dia kembali ke Afrika”, diceritakan oleh Augustinus dengan nada malu “dan bersumpah tidak mau kawin kagi. Ia meninggalkan aku dan anak yang dilahirkannya bagiku.” Perpisahan itu amat menyedihkan Augustinus. Ia berkata, “Waktu teman hidupku direnggut dari sisiku, hatiku yang melekat padanya tercabik-cabik, terluka dan berdarah.” (Conf.VI.XV.25). Akan tetapi, tindakan ini jauh dari menyelesaikan masalah, malahan menambahkannya. Diakuinya agak terus terang, bahwa ia kurang sabar menantikan dua tahun. Oleh karena itu, diambilnya seorang gundik lain.
Selain mereka yang disebut di atas, terdapat juga dalam keluarga itu Alypius, seorang sahabat yang akrab, yang telah ikut Augustinus ke Roma untuk tinggal bersama dengan dia, juga dengan maksud mempraktekkan studi hukum. Juga ada Nebridius, yang telah melepaskan tanah miliknya lalu meninggalkan kota Karthago dan ibunya. Menurut Augustinus, “Ia datang ke Milano dengan satu tujuan saja, yaitu hidup bersamaku dengan hati berapi-api yang menggandrungkan kebenaran dan hikmat” (Conf.VI.X.17).
Demikianlah Milano menjadi kota pertemuan ketiga orang sahabat karib, tempat persimpangan jalan hidup mereka bertiga yang “seperti tiga mulut yang lapar” menantikan Allah memberi mereka rezeki kebenaran dan cinta kasih-Nya. Kelompok kecil orang Afrika itu hidup bersama dengan Monica selaku pemimpin rumah tangga. Sekalipun pada masa berjuang dan kurang stabil itu, secara inisiatif, Augustinus sudah mencari hidup berkomunitas. Yang pada hari-hari itu hanya merupakan impian, akan dijadikan suatu strategi pastoral di masa mendatang. Augustinus menceritakan, bahwa pada masa pergolakan di Milano, beberapa dari mereka, di antaranya Alypius dan Nebridius membenci keramaian dan kehidupan sehari-hari, sudah hampir mengambil keputusan untuk menghayati hidup bersama, penuh damai, jauh dari orang banyak.
“Kami telah membolak-balik suatu rencana dalam benak kami untuk menarik diri dari khalayak ramai dan hidup dengan kesenggangan yang tenang. Kesenggangan itu mau kami atur begini : segala sesuatu yang dapat kami miliki akan kami kumpulkan menjadi satu, melebur semua harta menjadi harta milik bersama yang satu saja. Berdasarkan persahabatan yang setia, tidak ada lagi yang ini untuk si A atau untuk si B, akan tetapi harta itu akan menjadi kesatuan yang satu, keseluruhannya akan dimiliki tiap-tiap orang dan semuanya itu dimiliki semua orang. Kami mengira dapat menjalankan hidup bersama sabagai kelompok yang terdiri kira-kira sepuluh orang. Beberapa di antara kami sangat kaya, terutama Romanianus warga kota kami. Pada waktu itu, ia datang ke istana lantaran kesusahan besar dalam urusannya. Ia merupakan salah seorang kawan yang paling akrab sejak masa kecil. Dialah yang paling banyak mendesak, supaya rencana kami dilaksanakan. Ia punya daya meyakinkan yang besar sebab harta kekayaannya besar sekali, jauh melebihi kekayaan anggota-anggota lain kelompok kami.” (Conf.VI.XIV.24).
Maka jelasnya, yang disebut di atas merupakan gagasan yang penting bagi Augustinus. Telah terbayang apa yang akan diwujudkan Augustinus dalam komunitasnya nanti sebagai imam dan Uskup selama hampir empat puluh tahun. Merupakan corak khusus dari Regula (Pedoman hidup membiara) Santo Augustinus yang termasyur itu, yang mengandung wawasan dan petunjuk praktis tentang hidup membiara.
(Sumber : Augustinus Tahanan Tuhan – Oleh Mgr.P.Van Diepen, OSA ; Editor N.Halsema, SJ - Diterbitkan dalam kerjasama Pusat Pastoral Yogyakarta & Penerbit Kanisius )

Read more .....

6/25/2013

LOUIS-MARIE GRIGNION DE MONTFORT



Bila kita diminta untuk menyebut seorang murid kesayangan Tuhan yang sewaktu hidupnya berdiri di bawah salib dan menerima Maria sebagai ibu di dalam rumahnya karena menaruh cinta kasih yang khusus kepada  Bunda Maria, maka perhatian kita mungkin akan terarah kepada Louis-Marie Grignion De Montfort, pendiri Serikat Maria Montfortan dan inspirator serta pelindung Legio Maria.
Tidak kebetulan ia dijuluki “Bentara Ulung Bunda Maria”. Seluruh hidupnya dibaktikan kepada Bundanya yang surgawi ini sambil menyebarkan bakti sejati kepadanya di tengah umat. Buku-buku yang ditulisnya menjadi klasik sebagai pedoman Spiritualitas Marial. Pengaruh besar misionaris dan penghormat Maria ini juga mempengaruhi Paus Yohanes II, hal ini kita tahu dari berbagai buku yang ditulis oleh Paus ataupun yang ditulis mengenai Paus ini. Kita juga menemukannya dalam dokumen resmi seperti ensiklik “Bunda Sang Penebus” yang ditulis untuk Tahun Maria 1987-1988. Paus dalam ensiklik “Bunda Sang Penebus” nomor 48 berbicara mengenai devosi marial, ia menonjolkan “tokoh St. Louis-Marie Grignion De Montfort, yang mengusulkan pembaktian diri kepada Kristus melalui tangan Maria sebagai sarana yang berdaya guna bagi umat Kristiani untuk menghayati janji-janji baptisnya dengan setia”. Paus sendiri menyatakan bahwa semboyan kepausannya “Totus Tuus”, Aku seluruhnya kepunyaanmu (ya Maria), diambilnya dari tulisan St. Montfort.
Devosi kepada Maria yang diwartakan Louis-Marie De Montfort, dulu dikenal dengan nama “Perhambaan Suci kepada Santa Perawan Maria”, yang mengundang umat Katolik untuk menyerahkan seluruh hidup dan karya tanpa pamrih kepada Maria, agar Maria sebagai Pengantara segala Rahmat dapat membagikan segala pahala karya itu kepada yang mau.
Apakah devosi ini masih cocok untuk manusia sekarang ? Paus malahan menambahkan dalam ensikliknya, “Kami suka mengamati, bahwa zaman kita ini juga mengenal ungkapan-ungkapan baru dari spiritualitas dan devosi ini.” Dalam dekrit yang diterbitkan oleh Vatican dikatakan bahwa “di seluruh dunia, dalam jumlah yang tak terbilang banyaknya ada imam-imam, biarawan dan biarawati, dan jangan lupa ada pula kaum awam, yang dididik dalam ajaran marial Louis-Marie Grignion De Montfort dan yang menemukan dalam ajaran itu suatu sumber kaya penuh petunjuk sebagai pedoman untuk menghayati hidup mereka. Tidak sedikit orang kudus dan beato-beata, di antaranya secara istimewa Beata Marie-Louis of Jesus, yang menemukan dalam spiritualitas montfortan suatu sumber yang menopang devosi mereka kepada Bunda Kristus dan Gereja. Juga ada gerakan dan kelompok marial, tersebar di seluruh dunia, yang secara khusus menggali inspirasi dalam ajaran St. Louis-Marie.
Setelah menimbang betapa segala tulisan dan teladan St. Louis-Marie telah dan akan terus membantu perkembangan Bakti Sejati kepada Bunda Allah di kalangan para imam, kaum biarawan-biarawati dan seluruh umat beriman, baik dalam ajaran maupun dalam praktek hidup Kristiani, maka pada peringatan 50 tahun Montfort dinyatakan Santo, Paus Yohanes Paulus II menetapkan, bahwa mulai tahun 1997 nama Santo Louis-Marie Grignion De Montfort, imam, ditambahkan pada Penanggalan Romawi universal dan bahwa pestanya selanjutnya dapat dirayakan setiap tahun pada tanggal 28 April sebagai peringatan fakultatif oleh seluruh Gereja.
Mari kita menyoroti St. Montfort ini dan cintanya kepada Bunda Maria dan juga hidupnya yang penuh pengorbanan, agar kita bisa menggali inpirasi padanya.
Louis Grignion lahir pada tahun 1673 di Montfort, sebuah kota kecil di Perancis Barat, sebagai anak sulung dari 18 bersaudara. Louis sangat sayang pada ibunya, terutama jika ayahnya yang mudah naik pitam dan hanya berpenghasilan kecil sebagai pengacara, yang melampiaskan frustasinya kepada isteri dan anak-anaknya. Sejak kecil Louis mencintai Bunda Maria dan menceritakan segalanya kepadanya untuk menenangkan hatinya.
Kita kagum bila membaca dalam buku-buku rohani bahwa cinta kepada Maria selalu disertai cinta kepada sesama manusia. Louis Grignion malahan mengemis untuk dapat membantu orang-orang miskin, padahal ia sendiri hidup luar biasa miskin. Ia misalnya berjalan kaki ke Paris untuk masuk seminari tinggi, hanya berbekal sebuah tongkat dan rosario. Pakaian dan uang yang diberikan orang tuanya ia bagikan kepada orang miskin di tengah jalan. Ia malahan menukar pakaiannya sendiri dengan seorang gelandangan. Ketika ia membaca buku mengenai Perhambaan kepada Maria, dengan persetujuan rektor seminari, ia mendirikan sebuah perkumpulan “Hamba-hamba Maria”.
Hatinya bernyala-nyala dalam berbuat baik. Setelah ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1700, ia sungguh ditandai oleh cintanya bagi orang-orang miskin. Perkataan Yesus seperti “Apa yang kamu lakukan terhadap saudaraku yang paling hina, kamu telah melakukannya untuk aku.” (Mat 25:40), ia praktekkan secara serius. Louis Grignion pernah menemukan seorang gelandangan penuh borok di pinggir jalan, ia mengangkat orang itu di atas bahunya, dan sesampainya di biara, tempat ia menginap, ia mengetuk pintu sambil berseru, “Bukakanlah pintu bagi Yesus Kristus.” Ia membaringkan orang malang itu di tempat tidurnya sendiri dan setelah merawatnya, sepanjang malam ia berlutut di depan tempat tidur itu dan berdoa seperti di depan tabernakel, karena ia percaya Tuhan hadir di situ. Pastor Montfort melayani Yesus sendiri ketika merawat dan memperhatikan orang-orang miskin. Tidak heren juga Ibu Teresa dari Kalkuta mempunyai devosi khusus untuk St. Montfort. Montfort juga mendirikan rumah penampungan untuk orang-orang miskin dan terlantar, menyelenggarakan dapur umum untuk yang lapar, membuka sekolah-sekolah dengan pendidikan gratis dan mendirikan tarekat-tarekat untuk melayani mereka.
Namun betapa banyak pertentangan dan fitnah diarahkan kepadanya. Uskup-uskup dan pemerintah pusing tujuh keliling dengan orang ini yang menghayati Injil secara radikal, sampai sembilan kali ia diusir oleh Uskup-uskup. Dan sebagai seorang yang terpesona oleh  Kristus yang menjelma menjadi manusia dan yang disalibkan, ia bertahun-tahun berkeliling di Perancis mewartakan kabar gembira dan mengajak orang untuk sungguh-sungguh hidup sebagai orang Kristen dengan bantuan Bunda Maria.
Grignion De Montfort mengajarkan, bahwa setiap devosi kepada Maria menjadi palsu dan menyesatkan jika olehnya kita tidak dihantar lebih dekat  pada Yesus. Yesus itu Alfa dan Omega, awal dan akhir dari segala-galanya. Dialah pokok anggur dan kita harus bersatu dengan Dia bagaikan ranting-ranting untuk dapat hidup. “Bakti kepada Maria merupakan pintu masuk kepada Yesus.” Dalam persatuan ini terletak seluruh kekuatan dan keindahan Maria. Maria tidak kalah dalam menunjukkan kemurahan hatinya terhadap bentaranya. Sekurang-kurangnya tiga kali Maria menampakkan diri kepada Louis De Montfrot menurut laporan orang sezaman itu.
Montfort menulis misalnya mengenai Maria, “Tidak ada malam dalam Maria, oleh karena dalam dia tidak pernah ada dosa, maupun bayangan  dosa apapun. Ia cantik dan lembut seperti bulan yang menerima terangnya dari matahari dan yang melembutkannya sehingga terangnya tidak menyilaukan mata kita. Maria adalah bintang yang menunjukkan jalan yang aman menuju kepada pelabuhan kepada abdi-abdinya yang setia. Marialah fajar yang mendahului dan mewartakan Matahari Keadilan, Yesus Kristus. Maria adalah taman firdaus bagi Adam baru.” dan Montfort berkata, “Apa yang kuminta kepada-Mu ya Tuhan Yesus. pelayan-pelayan sejati bagi ibu-Mu yang suci, yang dengan sabda Injil yang terang benderang di mulut, serta rosario di tangan, menyala bagaikan api dan menyinari kegelapan dunia bagaikan matahari.”
Per Mariam Ad Jesum. Semoga dengan bantuan doa St. Louis-Marie Grignion De Montfort, kita melalui Maria menuju Yesus’. Kita berdiri di bawah salib kita masing-masing, marilah kita menjadi seperti murid kesayangan Yesus dan menerima Maria di rumah hati kita, agar bersama dia kita menjadi manusia penuh harapan dan iman akan kebangkitan dan agar melalui tangan Maria kita memperoleh rahmat yang perlu untuk kebahagiaan dan keselamatan kita.
(by : N.C. Schneiders, SMM – Majalah Ave Maria)

Read more .....

11/01/2011

PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (4)


Mundur Ke Cassiciacum

Pada musim panas tahun 386, di Milano ramai dibicarakan tingkah laku yang aneh dari guru retorika yang muda itu. Kepada dunia di sekitarnya, terkecuali lingkungan sahabatnya yang akrab, Augustinus memberi kesan bahwa seluruh pribadinya menderita gangguan.

Menurut laporannya sendiri, ia diganggu kelemahan paru-paru dan sakit dada yang menyulitkan pernapasannya. Dan lagi, suaranya parau sehingga terpaksa tidak lagi mampu berbicara lama.

Semester kuliahnya masih tinggal tiga minggu, Augustinus khawatir ia hampir tidak bisa tahan selama waktu itu, ia mengaku bahwa ia kehilangan semua ambisi untuk mencari uang. Ia berpendirian bahwa tugas dan karirnya sekarang berkontradiksi dengan iman kepercayaan yang baru didapatkannya. “Karena sudah dibeli oleh-Mu, aku tidak akan kembali lagi menjual diriku.” (Conf.IX.II.2). Jabatannya sekarang ia sebut “kursi dusta-dusta”, jelasnya ia harus menjauhkan diri dari semuanya itu dan memulai hidup baru.

Seorang guru besar lain yang bersahabat karib dengan Augustinus, yakni Verecundus, agak cemas hati karena kejadian yang menyangkut Augustinus. Khususnya ia mencemaskan kondisi kesehatannya, walaupun ia memang mendengar juga tentang “berkat yang baru saja diterima Augustinus di taman.” Verecundus belum menjadi Kristen, tetapi beristri seorang Kristen, dan ia sangat bersimpati kepada Augustinus dan semua yang dialaminya (Verecundus meninggal tahun berikutnya sesudah ia diterima dalam Gereja)

Libur sudah dekat, Verecundus mempunyai sebuah rumah yang luas di luar kota Milano di Cassiciacum. Rumah itu ditawarkannya kepada Augustinus sekeluarganya untuk dipakai selama diinginkannya. Augustinus dengan senang hati menerima tawaran itu, sebab Milano sebuah kota besar yang letaknya di lembah sungai Po yang panas dan lembab. Waktu itu, ia belum meletakkan jabatan guru besar. Segera setelah waktu libur habis, ia memberitahukan kepada yang bersangkutan di Milano bahwa “mereka harus mencari seorang guru penjual kata-kata yang lain”. Dikemukakannya dua alasan, bahwa ia adalah seorang Kristen dan bermaksud untuk dibaptis dan ia kurang sehat.

Dari September 386 sampai Februari 387, Augustinus mengundurkan diri ke rumah Verecundus di Cassiciacum untuk bersemadi dan menulis. Letaknya tepat di Selatan Danau Como, di tengah-tengah pepohonan kastanye, daerahnya hutan hijau tua, dengan puncak pegunungan di horizon jauh di sebelah utara.

Musim gugur sudah dekat, dan warna-warni mulai berubah. Ini kesempatan satu-satunya kita bisa mengamati Augustinus dari dekat, dalam situasi yang konkret yang memberinya ruang dan peluang untuk memikirkan dunia alam sekitarnya dan dunia batin di dalamnya. Di kemudian hari ia sering mengenangkan waktu yang terberkati itu secara terperinci, sampai corak dedaunan musim gugur dengan warna-warni kencana tua dan kuning jingga, sampai sungai-sungai kecil yang tercekik oleh daun-daun yang layu dari musim panas.

Masalah perkawinan sudah tidak ada lagi. Kita tidak tahu siapa yang mengatur agar hubungannya dengan bakal istrinya diberhentikan, atau bagaimana ia berpisah dengan gundik terakhirnya. Mungkin Monica memperhatikan hal-hal yang memalukan ini, seperti ia memperhatikan banyak hal lain, di antaranya rumah tangga baru di Cassiciacum.

Rumah tangga baru itu merupakan keluarga yang gembira. Anggota keluarga itu terdiri atas Augustinus dan Alypius, tentu saja dengan Adeodatus. Nebridius tidak sempat ikut serta, tapi Augustinus punya kakak Navigius serta beberapa orang lain, turut membentuk keluarga di Cassiciacum. Di antaranya Lisentius, seorang mahasiswa Augustinus yang paling cerdas. Ia anak Romanianus, penderma Augustinus sepanjang hidupnya. Sudah selayaknya buku Contra Academicos yang ditulis Augustinus waktu itu dipersembahkan kepada pendermanya itu. Romanianus sendiri tidak hadir, rupanya ia tidak setuju dengan program Cassiciacum, mungkin pengunduran diri dari karier dan tugas umum oleh Augustinus dianggap Romanianus suatu kesempatan yang sia-sia.

Kelompok mereka itu berada jauh dari intrik-intrik unversitas dan istana. Mereka hidup bersama di tempat kediaman sementara yang ideal itu seperti semacam biara kaum awam. Rumah milik Verecundus itu merupakan tempat tinggal bila panas terik dan kelembapan iklim di Milano tak tertahankan lagi. Gedung itu mempunyai kolam pemandian, yang tentu saja adalah sumber kesenangan bagi Augustinus. Diceritakannya bagaimana mereka biasa berkumpul di sana untuk diskusi filsafat.

Demikianlah mereka melewatkan hari-hari terakhir musim panas tahun 386, dengan Monica sebagai pemimpin yang menyediakan segala-galanya untuk keluarga besar itu. Itu tidak berarti bahwa ia tidak mengambil bagian dalam diskusi filsafat mereka. Selain mengatur meja dan rumah tangga, ia sering juga telibat dalam pembicaraan dengan sebuah kata yang tepat, khususnya bila diskusi mereka menjadi panas.

Dalam waktu luang dan lingkungan alam tersebut, Augustinus menemukan diri kembali dan mulai merefleksi serta menulis. Dalam semadinya, ia mendapatkan keindahan mazmur-mazmur dan mulai menghayatinya. Dengan karya tulisnya, ia memulai suatu tugas pelayanan dengan pena untuk bertahun-tahun lamanya. Ia berkata, “Aku coba menjadi salah seorang yang menulis karena berkembang, dan yang berkembang karena menulis.” Itu benar untuk sepanjang hidup selanjutnya.

Karya tulisnya di Cassiciacum

Buku pertama yang ditulis Augustinus dalam bulan November tahun itu adalah Melawan Skeptisisme dan Agnostisisme. Itu suatu aliran pikiran yang berpendirian bahwa manusia tidak mampu mengetahui apapun dengan pasti, namun selalu hidup dalam keadaan keraguan dan ketidak-tahuan. Dulu Augustinus sendiri berpendirian demikian, yaitu pada saat ia melepaskan Manikheisme sedangkan ia tidak tahu di mana ia mau cari pegangan hidup lagi. Akan tetapi iman kepercayaan yang baru ia temukan membuat dia menolak aliran filsafat itu. Sebaliknya Augustinus sekarang beranggapan bahwa manusia memang bisa mencapai kepastian, yakni berdasarkan pahamnya sendiri atau berdasarkan wewenang pihak lain. Manusia tidak usah melewatkan seluruh hidupnya dalam ketidaktentuan dan spekulasi belaka. Sebagai seorang Kristen, Augustinus menerima wewenang Kitab Suci dan tradisi serta ajaran Gereja. Wahyu Allah telah mengganti spekulasi semata-mata. Buku Melawan Skeptisisme dan Agnostisisme itu merupakan buku pendek dalam bentuk sebuah diskusi antara Augustinus dan beberapa anggota keluarganya.

Buku kedua yang sempat diselesaikan Augustinus pada hari ulang tahunnya, 13 November, merupakan hasil pembicaraan selama tiga hari. Buku itu yang judulnya Tentang Kebahagiaan, menunjukkan bahwa pada tahap ziarahnya sekarang, Augustinus sangat yakin bahwa kebahagiaan yang sungguh dan sejati hanya terdapat dalam pengetahuan akan Allah. Selain dua buku itu, Augustinus menulis lagi sebagian dari buku lain, yaitu Tentang Keseimbangan Dalam Alam Ciptaan Allah. Semuanya itu ditulisnya dalam bulan-bulan yang santai di Cassiciacum, waktu musim gugur tahun 386. Bahan yang dibicarakan dalam karangan itu sebagian besar diambil dari percakapan mereka. Augustinus sendiri berkesimpulan bahwa hal-hal yang sungguh besar dan penting bila didiskusikan oleh orang kecil biasanya membuat orang itu bertumbuh besar. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa filsafat dan metafisika bukan milik eksklusif dari para ahli di tingkat unversitas saja. Soal-soal itu langsung mengena hati segenap orang laki-laki dan perempuan, asal saja mereka betul-betul mau mencari kebenaran. Gereja adalah lingkungan tempat orang seperti itu mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh, entah mereka termasuk kaum cendekiawan atau bukan. Augustinus selalu berpendirian bahwa Gereja tidak hanya terdiri dari segelintir orang cerdas saja, tetapi terdiri dari persekutuan orang beriman yang berusaha menjalankan hidup kebenaran. Mungkin sekali kebenaran itu lebih mudah tercapai dengan perundingan bersama, dalam persekutuan Gereja, dari pada dengan spekulasi abstrak seorang diri.

Waktu musim dingin mendekat, Augustinus menulis buku lain lagi, yaitu Percakapan Seorang Diri. Buku itu merupakan potret diri yang pertama, terdiri atas suatu tukar pikiran yang tajam antara akal budinya dan jiwanya. Buku ini mulai dengan doa panjang kepada Tuhan, yang mengandung satu bagian yang rumusannya sangat bagus, yang masih sering dipakai ratusan tahun kemudian :

Oh God, from whom to be turned is to fall;

To whom to be turned is to rise;

From whom to depart is to die;

To whom to return is to revive;

In whom to dwell is to live;

Whom no man loses unless he be deceived;

Whom no man seeks unless he has been admonished;

Whom no man finds unless he has been purified.

Whom to abandon is to perish,

To reach out to whom is to love,

To see whom is true possession.

Ya Allah, berpaling dari pada-Mu berarti jatuh;

Berbalik kembali kepada-Mu berarti bangkit;

Berpisah dari-Mu berarti mati;

Pulang kepada-Mu berarti hidup kembali;

Menetap di dalam-Mu berarti hidup;

Yang tak seorangpun kehilangan terkecuali kalau ditipu;

Yang tak seorangpun cari terkecuali kalau dinasihati;

Yang tak seorangpun dapatkan terkecuali kalau disucikan;

Yang meninggalkannya berarti binasa;

Yang menjangkaunya berarti mengasihi

Yang melihatnya berarti sungguh-sungguh memiliki.

Perenungan Augustinus tentang isi lubuk hatinya di dalam buku Percakapan Seorang Diri seakan-akan mencerminkan pengaruh musim dingin, yang malam harinya semakin panjang dan siang harinya makin pendek. Augustinus menarik diri dari macam-macam cita-cita lahiriah kepada cahaya dan kemesraan batiniah. Bagi Augustinus, tahun 386 yang bersejarah itu sudah hampir berakhir dan musim dingin seolah-olah menunjukkan kematian Augustinus lama – satu kematian yang tentu saja membuka pintu untuk musim semi, yakni kebangkitan hidup baru. Augustinus insaf, hanya ada satu tempat untuk mendapatkan hidup baru itu, yakni dalam air baptisan dari tangan Ambrosius di Milano. Itulah tempatnya di mana segala-galanya akan dijadikan baru.

Ia memberitahu Ambrosius kapan kontraknya dengan universitas berakhir. Dalam surat yang sama, ia meminta nasihat buku-buku apa saja yang sebaiknya dipelajari, agar lebih siap dan layak untuk menerima sakramen baptisan. Ambrosius menganjurkan Kitab Nabi Yesaya, tapi Augustinus merasa bab pertama sedikit sulit, sehingga untuk sementara waktu, ia menyisihkan buku itu. Masa pengunduran diri dan renungan berakhir. Telah sampai waktunya untuk mendaftarkan diri untuk ikut pelajaran agama pada Ambrosius, selama masa puasa, mulai bulan Februari.

(Sumber : Augustinus Tahanan Tuhan – Oleh Mgr.P.Van Diepen, OSA ; Editor N.Halsema, SJ - Diterbitkan dalam kerjasama Pusat Pastoral Yogyakarta & Penerbit Kanisius)

Read more .....

PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (3)


Menjelang Pertobatannya

Untunglah beberapa peristiwa dan beberapa orang yang bukan pilihan Augustinus sendiri mulai menyelingi hidupnya. Mereka menyalakan fantasinya dengan cerita-cerita dan citra yang mengubah seluruh perspektif pikirannya.

Pertama-tama, ia berkunjung kepada Simplicianus, bapak rohani Ambrosius. Ambrosius mencintai dia sungguh-sungguh, sebab melalui dia Ambrosius telah memperoleh rahmat Tuhan. (bdk.Conf.VIII.II.3). Simplicianus menceritakan kepada Augustinus seluruh kisah pertobatan dari salah seorang yang bernama Victorinus, yang dikenalnya secara dekat sewaktu masih di Roma. Ketika Simplicianus menceritakan kisah Victorinus, Augustinus mendengarkan dengan sungguh-sungguh tiap kata yang diucapkannya. Cerita itu cukup mengesankan, bagaimana seorang yang terpandang di muka umum dan yang berpengetahuan luas menjadi orang Kristen.

Sebagai guru, Victorinus sudah mengajar banyak anggota Senat yang terkemuka. Sebagai bukti bakatnya yang menonjol sebagai seorang dosen, maka dibuatlah patung dirinya yang diletakkan di Forum Romanum, suatu kehormatan yang amat tinggi di mata dunia. Ia selalu menyembah berhala dan turut ambil bagian sepenuhnya dalam upacara-upacara umum untuk menghormati dewa-dewi nasional. Ia juga membaca-baca Kitab Suci dan semua buku Kristen yang dicarinya dengan sangat rajin dan diselidikinya. Suatu hari, ia berkata kepada Simplicianus, “Ketahuilah bahwa aku sudah menjadi orang Kristen.” Sahut Simplicianus, “Aku baru akan percaya dan menganggapmu termasuk kaum Kristen bila kulihat engkau dalam Gereja Kristus.” Victorinus tertawa sambil berkata, “Jadi tembok-tembok itulah yang membuat seseorang menjadi Kristen.” Jelasnya, Victorinus segan menyakiti hati sahabat-sahabatnya yang menyembah berhala, tetapi tidak lama kemucian, ia minta Simplicianus mengantar dia menjadi anggota Gereja.

Simplicianus mengajarkan dia pokok-pokok iman yang dasar dan tidak lama kemudian Victorinus memohon namanya didaftarkan untuk dilahirkan kembali oleh baptisan. Roma menyaksikannya dengan heran, namun Gereja bergembira. Bagi dia sudah sampai waktunya untuk mengucapkan pernyataan iman. Pernyataan itu biasanya dibuat menurut satu rumusan yang dihafalkan orang, kemudian diucapkan di atas panggung di hadapan umat. Imam yang memimpin upacara menawarkan kepada Victorinus agar ia mengucapkan pernyataan iman itu secara diam-diam, sering diatur begitu untuk orang terkemuka, yang agaknya menganggap upacara itu di hadapan umum memalukan mereka. Tetapi, Victorinus menolak dengan tegas, ia tetap mau mengakui imannya di hadapan umat, malahan bukan menurut satu rumusan, melainkan dengan ucapannya sendiri. Jadi pada saat ia naik panggung, para hadirin hening, sebab mereka semua ingin mendengarkan ahli pidato itu. Kali ini Victorinus tidak menjual kata retorik yang kosong, tetapi membawa Firman Tuhan tentang rahmat dan pengampunan. (Conf.VIII.II.3-5)

Sementara Simplicianus menceritakan riwayat tentang Victorinus, Augustinus mulai berkobar semangatnya untuk menuruti teladannya. Ditambah lagi oleh Simplicianus, bahwa karena pernyataan imannya itu, Victorinus kehilangan pangkatnya.

Setelah pertemuannya dengan Simplicianus, setiap kali ia dapat meluangkan waktu, maka Augustinus pergi ke Gereja, sering diantar oleh Alypius. Pada suatu ketika, waktu musim panas tahun 386, salah seorang yang namanya Pontisianus, seorang Kristen yang berpangkat tinggi dalam keluarga Kaisar, dengan tak diduga-duga berkunjung kepada Augustinus. Pada kunjungan itu, Pontisianus kebetulan melihat sebuah buku di atas meja. Ia mengambilnya, dan ia heran melihat bahwa buku itu berisi surat-surat rasul Paulus. Augustinus menjelaskan bahwa ia sedang mempelajari tulisan Paulus dengan amat teliti. Lalu percakapan beralih ke topik lain. Pontisianus mulai menceritakan kepada Augustinus dan Alypius tentang Antonius, seorang rahib Mesir yang telah berpulang tiga puluh tahun lalu, dengan meninggalkan beberapa murid yang bertambah terus jumlahnya dan pengaruhnya di dalam seluruh Gereja. Semuanya itu merupakan berita baru bagi Augustinus.

Pontisianus melanjutkan dengan kata-kata yang sangat mengharukan, bagaimana dia sendiri dan seorang sahabat amat terpesona oleh kesaksian hidup membiara, teristimewa pada kunjungan mereka bersama Kaisar ke Trier di Germania. Di situ, mereka mempunyai beberapa rahib yang menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kesucian, dan menemukan satu eksemplar tulisan tentang riwayat hidup Antonius. Rahib-rahib itu dulunya adalah tentara legium Romawi di Trier. Sambil membaca buku tentang Antonius itu, mereka merasakan suatu ketidak-puasan dengan hal-hal duniawi dan mengalami panggilan mendalam untuk mengikuti teladan Antonius dalam kesucian hidupnya.

“Tetapi sambil ia berbicara, ya Tuhan”, Augustinus menulis dalam Confessiones, “Kaubalikkan aku kembali menatap diriku, Kau tarik aku dari balik punggungku tempat yang kuambil supaya mataku tidak perlu menatapku. Demikianlah aku dirongrong dalam batinku, hatiku tergoncang oleh rasa malu yang amat mengerikan, sementara Ponticianus memberitakan hal-hal itu. Setelah ia menyelesaikan ceritanya dan urusan yang dibawanya, ia pergi dan aku berpaling ke dalam diriku. Apa saja yang tidak kukatakan pada diriku ? Cambuk mana saja yang tidak kupakai dalam pikiranku untuk mendera jiwaku untuk memaksanya mengikuti diriku, aku yang sedang mencoba melangkah di belakang-Mu ? Jiwa itu membangkang, jiwa itu menolak, tetapi tidak memakai dalih lagi.” (Conf.VIII.VII-VIII).

Kini krisis batin Augustinus memuncak, tentang krisis batinnya itu, Augustinus berkata, “Ada taman kecil di tempat kediaman kami. Ke sanalah aku terbawa oleh kegelisahan hatiku, ke tempat tak seorangpun akan mengganggu pertarungan dahsyat yang telah kuadakan dengan diriku, sampai kesudahannya. Dalam pergolakan kebimbanganku itu, kucabuti rambutku, kupukul-pukul dahiku, kudekap lututku dengan jari-jariku yang jalin menjalin.” (Conf.VIII.VIII.19-20).

Di dalam taman itu, pada suatu hari di musim panas tahun 386, Augustinus memeriksa seluk-beluk jiwanya yang masih tersembunyi. Akhirnya, ia mulai mengakui ketidak-mampuannya untuk menjadikan hidupnya suatu persembahan total. Ia mulai sadar, bahwa pribadinya terbagi-bagi. Hal itu jelas dari hawa nafsunya yang tak terkendali. Memang ia selalu berniat untuk hidup suci, tetapi selalu juga menunda-nunda niatnya. Ia berkata, “Aku meraung-raung mengibakan. Berapa lama lagi ? Besok, selalu besok. Mengapa tidak sekarang juga ? Mengapa tidak langsung dihabiskan kekejianku ?” (Conf.VIII.XII.28).

“Timbullah badai besar, sarat dengan hujan air mata yang lebat. Supaya air mata dan keluh kesah dapat kuumbar sampai habis, aku bangkit dan menjauh dari Alypius, sebab kesendirian menurutku lebih cocok untuk karya air mata. Aku menarik diri sampai cukup jauh.” (Conf.VIII.XII.28).

Dalam bab yang paling dramatis dari riwayat hidupnya, Augustinus melanjutkan ceritanya, “Maka terdengar olehku suara yang datang dari rumah tetangga, suara itu berkata dengan nada bernyanyi dan sering diulang-ulanginya dengan suara anak laki-laki atau anak perempuan, entahlah. Ambillah, bacalah ! Ambillah, bacalah ! Segera aku berubah wajah dan dengan pikiran ditajamkan aku mulai mencari-cari apakah anak-anak biasanya memakai lagu sedemikian dalam salah satu jenis permainan; tidak, tak ada kuingat pernah mendengar lagu itu di manapun. Kubendung serangan air mataku dan aku bangkit, sebab kejadian itu kuanggap tak lain dari perintah Tuhan yang mendesak, supaya kubuka kitab dan supaya kubaca apa yang kutemukan pada bab yang pertama-tama kujumpai. Aku memang pernah mendengar mengenai Antonius, bahwa dari bacaan Kitab Injil dalam Gereja yang kebetulan dimasukinya, telah dipetiknya peringatan untuk dirinya pribadi, seakan-akan khusus kepadanya dikatakan apa yang terbaca, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku (Mat 19:21), dan bahwa Sabda demikian segera membuatnya berpaling kepada-Mu. Maka dengan tergesa aku kembali ke tempat Alypius duduk. Benar, di sanalah telah kutaruh buku rasul tadi waktu aku bangkit dan pergi dari situ. Buku kupegang, kubuka, dan kubaca dalam hati bab pertama yang kepergok mataku, “Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati, tapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus, dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya (Rm 13:14)

Aku tidak mau membaca lebih lama lagi, tidak perlu. Seketika memang, dengan kata-kata terakhir nas itu, seakan-akan ada cahaya keselamatan tercurah ke dalam hatiku dan segala kegelapan, keraguan menghilang, lalu kusisikan jari, atau entah tanda lain apa, ke dalam buku yang kututup ; lalu dengan wajah yang sekarang sudah tenang kuberitahukan hal itu kepada Alypius..... Dari sana, kami pergi ke tempat ibuku; kepada ibuku kami ceritakan bagaimana kejadiannya, ia bersuka-ria dan merasa menang. Sebab dilihatnya bahwa kepada dirinya telah dianugerahkan oleh-Mu, berhubung dengan diriku, jauh lebih banyak dari pada yang telah dimintanya terus menerus dalam doanya sehari-hari dengan tangis dan ratap yang mengibakan. Aku memang Kautobatkan kepada-Mu begitu rupa, sehingga aku tidak lagi mencari istri, atau apapun yang diharapkan di dunia ini. Perkabungannya telah Kauganti dengan sukacita, sukacita yang jauh lebih melimpah dari pada yang tadinya diinginkannya, jauh lebih manis dan lebih suci dari pada apa yang diharapkannya dari cucu-cucu yang mungkin lahir dari tubuhku. (Conf.VIII.XII.29-30).

(Sumber : Augustinus Tahanan Tuhan – Oleh Mgr.P.Van Diepen, OSA ; Editor N.Halsema, SJ - Diterbitkan dalam kerjasama Pusat Pastoral Yogyakarta & Penerbit Kanisius)

Read more .....

PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (2)


Pengaruh Ambrosius

Namun panggung drama ini belum lengkap. Pelaku yang paling utama dalam drama ini adalah seseorang yang pendek sosok tubuhnya, tetapi besar pengaruhnya. Ia adalah Ambrosius, Uskup Milano.

Sesampai di Milano, Augustinus menceritakan pertemuannya dengan Ambrosius, “Maka sampailah aku di Milano, di tempat Uskup Ambrosius, yang di seluruh muka bumi terbilang yang terbaik. Abdi Allah ini menerimaku dengan sikap kebapakan dan sebagai seorang Uskup yang sejati, ia menyatakan betapa senangnya akan pemindahan saya. Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai guru suatu kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku. Aku rajin mendengarnya berkhotbah di depan rakyat.” (Conf.V.XIII.23).

Memang Augustinus amat terkesan pada Ambrosius. Dia yang paling mempengaruhinya pada masa perkembangan Augustinus yang penuh tekanan batin itu, dan yang akan menjadi contoh baginya dalam hidup pelayanannya sebagai Uskup. Ambrosius, empat belas tahun lebih tua dan sudah menjalankan jabatan Uskup sebelas tahun lamanya. Mula-mula Augustinus paling mengagumi kefasihan bahasa dari Ambrosius. Ia seorang pengkhotbah dan guru agama yang hebat. Selain itu, Ambrosius juga seorang pengarang yang terkenal. Jasanya yang utama terletak di bidang pemerintahan gerejawi. Ia tampil ke depan sebagai seorang politikus yang lihai terhadap politik istana. Dalam tipu daya Yustina, ibunda Kaisar, Ambrosius menentang dia di hadapannya. Yustina itu adalah seorang perempuan yang kuat dan zalim, tetapi dalam diri Ambrosius yang kecil itu, ia menemukan seorang kawan yang sepadan baginya, khususnya pada saat ia memerintahkan tentara kekaisairan untuk mengepung basilika, tempat Ambrosius serta umatnya sudah mengungsikan diri.

Akhirnya, inilah pahlawan yang selama ini Augustinus cari. Inilah teladan dan pembela yang gigih dari kebenaran iman Kristiani. Tidak mungkin Augustinus tidak masuk basilika yang baru dan sangat indah itu, tempat Ambrosius hampir setiap hari menerangkan Kitab Suci amat dikagumi Augustinus. Ia mengatakan bahwa baru Ambrosiuslah yang menandaskan bagaimana harus menafsirkan buku-buku Taurat dan para Nabi, yakni dengan menunjuk kepada arti spiritual dan alegoris teksnya. Dengan demikian, Augustinus dapat mengatasi penafsiran yang agak fundamentalis yang dia pergunakan sebelumnya. Ambrosius berhasil menanamkan dalam diri Augustinus suatu pengertian yang terluput dari hal-hal yang tidak masuk akal dan aneh, yang dahulu dianggap oleh Augustinus sebagai bagian mutlak dari doktrin Kristiani. “Yang sudah bertahun-tahun kuteriaki itu bukanlah iman Katolik, melainkan rekaan pikiran jasmani.” (Conf.VI.III.4). Itulah cara Ambrosius menyiapkan Augustinus. Untunglah, akhirnya Augustinus menerima pelajaran agama dari guru yang paling unggul. Persiapan itu mutlak perlu, jika sekiranya Augustinus dengan akalnya yang tajam akan menjadi seorang Kristen yang sungguh.

Krisis dan Konflik

Sekarang riwayat hidup Augustinus makin mendalam. Ada banyak tokoh di sekeliling Augustinus, masing-masing dengan peranannya. Namun demikian bukan mereka, melainkan kekacauan dan kemelut batinnya yang membawa dia ke titik balik pertobatannya. Pada satu pihak, ia masih mendambakan popularitas, kekayaan, dan perkawinan. Akan tetapi, pada pihak lain ia sadar bahwa sekarang walaupun usianya sudah tiga puluhan ia masih menggelepar. Selanjutnya hubungannya dengan pemerintah yang memaksa dia menjilat ke atas menyakiti perasaan integritasnya. “Penderitaanku bulat”, ia menceritakan seraya menyiapkan suatu pidato kenegaraan yang penuh puji-pujian terhadap Kaisar. “Pujian yang kuisi dengan banyak dusta, yang bakal menimbulkan bagi si pendusta kesedihan hati orang-orang yang paham benar.” (Conf.VI.VI.9).

Sambil mempersiapkan pidatonya dan berjalan-jalan di kota Milano, ia melihat seorang pengemis yang rupanya telah mendapatkan makanan dan minuman secukupnya untuk hari itu. Ia sedang tertawa dan bergurau. Pandangan yang kontras antara pengemis yang puas dan gembira, dengan hidup Augustinus sendiri yang penuh penderitaan membuat dia berkata, “Dorongan segala macam ketamakan menyebabkan aku menyeret beban ketidak-bahagiaanku, yang malah bertambah berat lantaran kuseret. Kebahagiaan itu telah dicapai lebih dahulu oleh si pengemis, tetapi kami barangkali tidak bakal mencapainya. Apa yang telah diperolehnya dengan beberapa keping uang yang didapat dengan meminta-minta, itulah yang dengan segala liku-liku kukejar, yaitu kesenangan suatu kebahagiaan sementara.” (Conf.VI.VI.9).

Bagaimanapun juga, Augustinus tidak merasa diri seorang kaya yang karirnya berhasil, kendatipun ia seorang guru besar retorika. Malahan sebaliknya ia merasa miskin, lebih miskin dari pada pengemis yang dia lihat tadi. Kegelisahan hatinya membayangi seluruh hidup Augustinus. Dalam buku Confessiones, ia menceritakan impian buruk itu. Ia diganggu suara-suara dari sudut-sudut yang berlawanan yang menawarkan nasihat yang bertentangan satu sama lain. Sambil membelok kian kemari, ia mengikuti tawaran-tawaran itu, sehingga konflik batinnya semakin memuncak.

Masalah kejahatan dan dosa muncul kembali. “Di mana gerangan yang jahat ? Dari mana dan melalui jalan mana yang jahat itu sampai menyelinap ke sini ? Yang mana akarnya dan yang mana benihnya ?” (Conf.VII.V.7). Ia tidak puas dengan jawaban yang bukan-bukan dari pihak Manikheisme, lama kelamaan ia mulai mengerti, bahwa soal kejahatan dan dosa barangkali bukan hanya soal intelektual melulu. Soalnya terletak dalam dirinya sendiri. Akan tetapi waktu itu mata hatinya masih kabur, sehingga ia tidak mampu melihat masalahnya itu sebagaimana mestinya, apalagi jawabannya. “Pikiran-pikiran yang kubolak-balik dalam hati yang sengsara, ... karena kebenaran belum ditemukan.” (bdk.Conf.VII.V.7). Tetapi akhirnya, sebagai hasil pengaruh pelajaran dari Ambrosius, Augustinus makin cenderung mengakui, bahwa “jalan keselamatan manusia terdapat dalam Tuhan kita Yesus Kristus, dan dalam Kitab Suci, sebagaimana ditegaskan oleh Gereja Katolik.” Akhirnya timbul sedikit pegangan dalam pikirannya yang serba kacau itu.

Sekalipun begitu, dalam hari-hari dan bulan-bulan yang dilalui dan ia makin mendekati titik krisis dan putus asanya, Augustinus mulai insaf, bahwa ia membutuhkan penyelamatan, dalam Kitab sucilah ia akan menemukan kata-kata penyembuhan. Terutama sekali, ia memerlukan cinta kasih sebagaimana diwahyukan oleh diri Yesus Kristus, bukan pertama-tama karena suatu ideologi atau filsafat baru. Memang ia mulai mencintai Allah walaupun belum sepenuhnya, dengan pikiran dan bibirnya ia dapat mengakui Allah, tetapi ia belum berhasil melibatkan hatinya dan menyesuaikan arah hidupnya senada dengan pengertian dan pengalaman yang baru itu.

Bagi Augustinus, soal yang utama ialah ketidak-teraturan hidup seksualnya. Ia pernah mengaku kepada Alypius, bahwa ia tidak sanggup menjalankan hidup selibat sebab merasa terlekat kuat sekali pada kenikmatan seksual (bdk.Conf.VI.XII.21). Dalam ungkapan ini berkumandang pengalaman rasul Paulus, yang surat-suratnya mulai mendapat perhatian utama dari Augustinus. Ia khususnya terkesan akan kutipan : “Keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging, karena keduanya bertentangan.” (Gal 5:17). Ia sangat mendukung ucapan Paulus : “Bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” (Rm 7:19). Kisah Paulus amat mirip dengan riwayat Augustinus, dan peyembuhan yang bakal diperolehnya tak lama lagi juga amat mirip penyelesaiannya dengan rasul orang kafir itu. Pertobatan bukan melalui pergulatan intelektual, melainkan melalui campur tangan penuh kasih dari Allah, bukan dengan diperolehnya sebuah ide yang baru, melainkan dengan didapatkannya seorang sahabat yang baru. Memang dilema itu tetap ada, tetapi inti masalahnya menjadi lebih terang bagi Augustinus.

Dia berkata, “Akupun merindukan kesempatan untuk mengabdikan diri dalam pelayanan-Mu. Dalam pada itu, kemauan yang baru saja lahir dalam diriku itu belum mampu mengatasi kemauanku yang terdahulu.” (Conf.VIII.V10). Ia sering memanjatkan sebuah doa yang mencerminkan keadaan batinnya, “Brikan aku kesucian dan kekuatan untuk menahan hawa nafsu, tetapi jangan sekarang.” (bdk.Conf.VIII.VII.17).

(Sumber : Augustinus Tahanan Tuhan – Oleh Mgr.P.Van Diepen, OSA ; Editor N.Halsema, SJ - Diterbitkan dalam kerjasama Pusat Pastoral Yogyakarta & Penerbit Kanisius)


Read more .....

8/12/2010

SANTA CLARA

Setiap tanggal 11 Agustus gereja sejagat memperingati pesta seorang kudus pencinta kaum miskin, dialah Santa Clara.
Minggu Palma 27 Maret 1211, Clara bersama dengan gadis-gadis lain dan wanita-wanita Asisi berada di Katedral, Gereja San Rufino, di mana Uskup akan memimpin upacara Perayaan pada hari itu.

Setelah bacaan, Kidung dan pemberkatan, Uskup mulai dengan pembagian palma, mula-mula kepada para rohaniawan, kemudian kepada umat yang sambil berlutut menerima daun palma dari Uskup sambil mencium tangan Uskup. Gadis-gadis adalah yang paling akhir maju ke depan dengan sopan dan khidmat untuk menerima daun palma.
Ketika tiba giliran Clara, ia tidak bergerak, ia tetap duduk dengan kepalanya tertunduk, kemudian Uskup mengarahkan pandangannya kepada Clara, tetapi Clara tidak melihatnya. Umatpun mengikuti pandangan Uskup, mereka sedikit keheranan dan jengkel. Akhirnya Uskup bangkit dari atas kursinya, turun dari panti imam menuju Clara yang tetap tidak bergerak. Ia memberikan daun palma kepadanya dan memberkatinya, sementara seluruh isi gereja mengikuti kejadian itu dengan keheran-heranan. Setelah itu Uskup kembali ke altar, Uskup melanjutkan upacara, Clara tetap duduk di kursinya dengan daun palma pada dadanya, menatap ke atas, tenggelam dalam semacam pesona.
Santa Clara adalah seorang gadis Italia yang berasal dari keluarga bangsawan. Ketika pada suatu kesempatan ia mendengar kotbah santo Fransiskus Asisi, ia merasakan suatu getaran istimewa dalam bathinnya untuk mengikuti Yesus secara istimewa dengan meneladani cara hidup Fransiskus dalam kesederhanaan dan kemiskinan.
Pintu Kematian
Hampir semua rumah di Asisi mempunyai pintu keluar ke jalan dengan tangga. Pintu yang biasa adalah dengan anak tangga yang rata-rata lebar, sedangkan pintu yang lain adalah lebih kecil dan sempit dengan anak tangga yang agak tinggi, kedua pintu itu berdekatan, tetapi tidak setangkup di dinding karena berbeda bentuk dan letaknya.
Pintu yang sempit itu dinamakan “Pintu Kematian”, karena hanya dibuka hanya untuk mengangkut jenazah keluar dari rumah dengan kaki lebih dahulu. Siapa yang keluar melalui pintu itu, tidak pernah akan kembali lagi. Sesuai dengan adat istiadat zaman itu, yang sudah barang tentu berdasarkan tahyul, maka dipandang tidak pantas untuk seorang yang mati diangkut dari rumah melalui dari pintu yang biasa dipakai untuk orang-orang yang masih hidup, di lain pihak tidak ada satupun orang hidup pernah menggunakan “pintu kematian” itu.
Nah, pada Minggu Palma malam itulah, ketika semua penghuni rumah tidur nyenyak, Clara keluar dari kamarnya dan berjalan sambil berjingkat dengan mengangkat tumitnya menuju “pintu kematian” itu. Ia ingin pergi dengan diam-diam.
Di depan pintu itu didapatkannya penuh dengan timbunan barang-barang rongsokan dan barang bekas, lalu timbunan itu dengan pelan-pelan dan hati-hati disingkirkannya. Namun pasak-pasak penutup pintu agak susah dibuka, karena sejak ayahnya meninggal dan jenazahnya diusung keluar, pintu itu tidak pernah dibuka lagi. Clara berlutut dengan tangannya pada pasak bawah dan kemudian dia berdoa sejenak, lalu ia berdiri lagi diperkuat oleh kemauan kerasnya untuk pergi, akhirnya pintunya sedikit demi sedikit terbuka.
Di bawah sana ada jalan yang disinari rembulan, dan di salah satu sudut, yang terlindung dalam kegelapan, sudah menunggu teman karibnya, Pacifica Di Guefuccio. Clara beristirahat sejenak di dekat pintu, lalu tanpa menoleh ke belakang dan dengan lompatan kecil ia tiba di jalan. Pintu kematian telah dilaluinya, sekarang ia berpisah dari kaum kerabatnya, dan keputusan ini tidak dapat ditarik kembali, Clara seakan-akan sudah hilang dan sudah mati, Clara beralih ke cara hidup yang lain.
Hidup Baru
Sebagaimana Fransiskus yang meninggalkan kegemerlapan harta kekayaannya, Clarapun pada malam itu melarikan diri dari keluarganya dan mempersembahkan dirinya bagi Tuhan dalam sebuah kapela kecil di luar Asisi, yaitu kapela Santa Maria Degli Angeli (Ratu Para Malaikat). Pakaian sulamannya ditanggalkan dan sepatu beludrunya dicopot, lalu ia diberi jubah kasap berwarna coklat yang diikat dengan tali mengelilingi pinggangnya. Dengan berpakaian demikian dan tidak berkasut, Clara dihantar memasuki gereja kecil bergaya gothik itu.
Bagaikan orang yag dihukum mati Clara disuruh berlutut di kaki altar, Fransiskus mengambil gunting dan mendekati Clara menggunting rambutnya, kemudian rambutnya yang segar jatuh di sekitar altar, lalu Fransiskus menaruh di atas kepala yang gundul itu sehelai kain bulu domba yang kasap.
Keluarganya berusaha dengan berbagai cara untuk membujuknya kembali ke tengah mereka, namun usaha mereka tetap saja sia-sia.
Tak berapa lama, adiknya yang kemudian hari juga menjadi seorang kudus, St. Agnes serta beberapa gadis lain, menggabungkan diri untuk menjadi mempelai Yesus Kristus, mengabdikan diri untuk hidup dalam kemiskinan tanpa ketergantungan pada uang dan harta duniawi. Clara serta gadis lainnya itu tak mengenakan sepatu, tidak makan daging serta hidup dalam rumah yang sederhana, menciptakan dan mempertahankan keheningan. Namun demikian mereka semuanya merasa amat berbahagia karena Tuhan ada dan hadir di tengah mereka.
Allah tak hanya ada dan hadir di tengah mereka, tetapi Ia juga bekerja bersama mereka. Suatu saat sekelompok serdadu datang menyerang Asisi dan berencana untuk pertama-tama menghancurkan biara tersebut sebelum menyerang kota. Saat itu, kendatipun sangat lemah karena menderita sakit, Santa Clara membawa serta Sakramen Maha Kudus dan menempatkannya di jendela yang terbuka ke arah lapangan yang dapat dilihat secara jelas oleh para serdadu anti Kristen tersebut. Di sana ia berlutut dan berdoa : “Aku mohon kepada-Mu Ya Tuhan, semoga Engkau berkenan melindungi suster-suster yang papa ini dan jangan Engkau biarkan mereka jatuh ke dalam tangan laskar yang ganas dan kejam itu, aku mohon kepada-Mu Ya Tuhan, supaya Engkau sudi menjagai kota ini dan semua orang baik, yang demi cinta kasih kepada-Mu telah membantu kami dan melengkapi kebutuhan-kebutuhan kami” Dari Monstran perak yang berhiaskan gading itu, terdengar suara merdu seperti seorang kanak-kanak berkata : “Oleh karena cinta kasihmu, maka Aku menjagai kalian dan mereka semua.” Dan pada saat yang sama para serdadu tersebut diliputi ketakutan yang luar biasa dan mereka lari menyelamatkan diri masing-masing. Tuhan sungguh melindungi umat pilihan-Nya.
Santa Clara walau harus menahan penderitaan yang berat untuk jangka waktu yang panjang, namun ia mengatakan bahwa ia sama sekali tak merasa sakit. Ia menemukan kebahagiaan dan kegembiraan dalam melayani Tuhan lewat sesamanya. Suatu hari ia berkata : “Begitu banyak orang mengatakan, bahwa kami amatlah miskin. Namun dapatkah sebongkah hati yang dipenuhi oleh kerahiman Allah yang tak terbatas bisa disebut miskin ?”
Santa Clara ketika berhadapan dengan musuhnya, ia selalu berdoa di depan Sakramen maha kudus. Setiap hari kitapun harus berhadapan dengan musuh iman kita, yaitu setan yang yang berkeliaran bagai singa lapar itu. Di saat yang demikian marilah kita juga berdoa di hadapan Sakramen Maha Kudus : “Tuhan, selamatkanlah aku dari segala musuh yang menyerang jiwa maupun ragaku. Amin”
(Rangkaian Kuntum-Kuntum Kecil Santa Clara – oleh Piero Bargellini)

Read more .....

5/17/2010

Hanya Untuk Hari Ini

(Puisi oleh St. Theresia Lisieux)
Hidupku adalah satu saat,
Satu jam yg berlalu
Hidupku adalah satu saat
yang tak terpegang
dan tak kukuasai
Engkau tahu, ya Tuhan,
untuk mencintai-Mu  di dunia ini
Aku hanya punya hari ini


Peduli amat Tuhan,
bila masa depan tampak kelabu
Berdoa untuk esok, tidak !
Aku tak mampu...
Jagalah hatiku murni
Tudungi aku dengan bayang-bayang-Mu
Hanya untuk hari ini

Jika aku berpikir tentang esok,
Aku takut goyah
Dalam hati kurasakan munculnya
kesedihan dan kebosanan,
Tapi aku rela menerimanya, Tuhan
Penderitaan, pencobaan,
Hanya untuk hari ini

Segera ku kan terbang
untuk memuji-Nya,
Bila hari tanpa malam,
akan bersinar atas jiwaku
Maka kan kunyanyikan
dengan kecapi para malaikat,
Hari ini yang abadi

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Mat 6:34)

Read more .....

9/10/2009

DEVOSI EKARISTI SANTO THOMAS AQUINAS



Sejak Perawan Maria Yang Terberkati mengandung Tuhan kita Yesus Kristus dalam rahimnya yang tak bernoda, dan sebagai satu-satunya orang tua manusia-Nya yang memberi-Nya tubuh (fisik), maka Maria telah memiliki  hubungan yang dekat dan unik dengan Sang Ekaristi.
Kehadiran Kirstus secara nyata di antara kita dalam konsekrasi Hosti pada Misa. Bunda kita dengan demikian hadir dalam devosi Ekaristi secara khusus, dan memiliki hubungan dekat dengan mereka yang menjalankan devosi ini secara mendalam.
St. Thomas Aquinas sering disebut sebagai salah satu dari yang terbesar, mungkin yang paling besar dari para filsuf dan teolog Katolik, dan memang demikianlah dia. Tetapi dia juga salah satu dari para pembela terbesar devosi Ekaristi, dan dia juga menjelaskan tahapan proses misterius hosti berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus, bahkan St. Thomas Aquinas bukan hanya menjelaskan tentang transubstantiasi (perubahan elemen-elemen Ekaristik menjadi Tubuh dan Darah Kristus, hanya wujud fisiknya tetap berupa roti dan anggur saja yang tidak berubah), tetapi juga menemukan kata atau sebutan untuk hal itu untuk pertama kalinya.
Hasil kerjanya tidak hanya ditujukan untuk pengetahuan yang itu-itu saja. St. Thomas Aquinas seorang Dominican yang aktif, juga adalah guru yang baik. Suatu saat ketika tengah mengajar pada kuliah pembukaan di Universitas Paris tahun 1256, dia mengatakan, “Para guru dapat diperbandingkan dengan gunung-gunung untuk tiga alasan, yaitu : ketinggian mereka dari bumi, kebesarannya dalam menerangi dan pemberi perlindungan terhadap bahaya. Oleh sebab itu para guru harus mengangkat kehidupan moral dan intelektual mereka agar menjadi penerang kepercayaan dengan nasehat-nasehat mereka, memberi pengetahuan kepada murid-muridnya dengan ajaran-ajarannya, dan pelindung kepercayaan dengan argumentasi terhadap kesalahan.”
Ketika sebuah uparaca baru “Corpus Christi” (Tubuh Kristus) dimasukkan ke dalam kalendar Gereja tahun 1264, maka St. Thomas Aquinas menulis liturgi untuk itu.
Liturgi Corpus Christi dari St. Thomas Aquinas termasuk di dalamnya urut-urutan “Laude Sion” hymne ibadat sore (Vesper) “Pange Lingua” yang ditutup dengan “Tantum Ergo” dinyanyikan selama Pemberkatan Sakramen Maha Kudus (Benediction of Blessed Sacrament), hymne ibadat pagi “Sacris Soles” diakhiri dengan “Panis Angelicus” dan hymne ibadat pagi “Verbum Supernum Prodiens” diakhiri dengan lagu Benediction lainnya “O Salutaris Hostia”. Semua itu sangat dikenal umat Katolik selama berabad-abad, dan hymne-hymne Latin yang hebat ini masih tetap dinyanyikan di banyak tempat sampai hari ini.
Stanza bagian keempat dari “Pange Lingua” terdiri dari beberapa kalimat inti dari doktrin Ekaristik dari St. Thomas Aquinas, diadaptasi secara keseluruhannya oleh Gereja :
“Word made flesh, by word He maketh very bread his flesh to be ; Man in wine Christ’s Blood partaketh, and if his sense fail to see, Faith alone the true heart waketh, to behold the mystery.”
Doctor dalam gereja (sebagaimana St. Thomas Aquinas biasa dikenal) tidak hanya menulis untuk orang-orang terpelajar, dalam bagian “Corpus Christi” ada yang ditulis juga untuk para pengikut Katolik biasa untuk segala usia.
Pada tahun 1272 St. Thomas Aquinas telah menyelesaikan bagian kedua dari karya besarnya “Summa Theologiae”, dan memulai bagian ketiga mengenai Inkarnasi dan Sakremen-Sakramen. Argumen terakhirnya di Universitas Paris adalah tentang Inkarnasi. Kemudian pada tahun 1272 juga dia membentuk sebuah pusat belajar yang baru di daerah dekat Naples, dan pada tahun 1273 dia menghasilkan rangkaian 59 khotbah tentang belas kasih, berbagai peraturan, kitab-kitab dari para murid Yesus, Bapa kami dan tentu saja Salam Maria. Satu dari khotbah-khotbah ini diberikan setiap hari, ratusan orang datang dari Naples untuk mendengarkannya.
Suatu malam, dalam kapel di biara Dominican di Naples, di mana St. Thomas Aquinas tinggal, penjaga sakristi bersembunyi untuk melihat sang santo berdoa. Dia melihatnya terangkat ke atas dan mendengar Kristus berbicara kepadanya dari salib yang tergantung di dinding kapel, “Thomas, sungguh bagus engkau menulis tentang Aku, hadiah apa yang kau inginkan ?”
“Tuhan, jangan berikan apa-apa, kecuali Diri-Mu.”
Permintaan tersebut terjawab. Pada tanggal 6 Desember 1273, St. Thomas Aquinas tengah memimpin Misa untuk pesta St. Nicholas di kapel di mana salib Kristus berbicara dengan dia. Pengalaman spiritual, mental dan fisik yang luar biasa tiba-tiba terasa sangat membebaninya. Mula-mula dia hanya menunjukkan sedikit perubahan, tetapi kemudian dia berkata kepada sekretarisnya bahwa dia tidak dapat menulis lagi, “Semua yang sudah kutulis terlihat kabur bagiku.”
Selama beberapa minggu kemudian dia terus menerus menghabiskan waktunya untuk berdoa, pada 7 Maret 1274 dia meninggal. Dia baru berusia 49 tahun, tetapi semua tugasnya telah selesai. Gereja Kristus dan Bunda Maria memiliki pemenang pada tingkat tertinggi dari intelektualitas manusia.
Belum ada pemikir besar yang melebihi pemikiran St. Thomas Aquinas, dan dia mempersembahkan semua kejeniusannya di kaki Kristus.
(by : Warren H. Carroll, Ph.D)

Read more .....