Tampilkan postingan dengan label Kesaksian iman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesaksian iman. Tampilkan semua postingan

7/24/2015

BIARA TRAPIS NOTRE DAME

Oleh : P. Ian Daulton, SDB
Menjelang akhir masa kanak-kanakku, aku sangat tertarik kepada pesawat terbang dan ingin terbang. Untuk itu aku masuk pendidikan pilot. Tokoh idolaku adalah Rene Foin, penerbang Perancis yang paling terkenal ketika Perang Dunia I.
Ketika perang dunia II mulai, aku bergabung dengan angkatan Udara Inggris. Kaum Nazi menganggap aku sebagai pilot yang paling berbahaya dan aku merasa bangga. Setiap orang merasa iri melihat keadaanku dan aku merasa sombong juga, sampai pada suatu pagi bulan November-1944, ketika sedang memimpin skwadronku pulang dari misi pemboman. Kami sedang menuju pangkalan kami di luar kota Paris, melewati Belgia, ketika tiba-tiba bertemu dengan pesawat tempur Nazi. Kapalku tertembak dan jatuh berputar-putar menuju bangunan di desa kecil Chimay.
Yang pertama-tama kulihat ketika aku membuka mataku adalah kamar bercat putih dan aku terbaring di tempat tidur. Kupikir, pasti aku berada di kamp Jerman. Dua orang berpakaian putih sedang berdiri di samping tempat tidurku. Dalam bahasa Inggris dengan logat Perancis yang kuat, salah seorang dari mereka berkata kepadaku, “Jangan bergerak kapten, jangan bergerak”, kemudian ia bertanya kepada temannya, “ bagaimana dengan luka-lukanya ?”Dia diberitahu bahwa aku mengalami dua keretakan pada tulang lenganku dan empat tulang iga di sebelah kiri. Mereka memasang penahan pada lenganku dan dadaku dibalut. “Tapi, ia harus segera dirawat oleh dokter”, kata bruder Joaquim yang semula kukira seorang perawat. Jadi, aku tidak berada di penjara, aku berada di Biara Trapis Notre Dame de Forge, di Chimay Belgia. Pesawatku jatuh dan menerobos atap mereka.
Aku memaksa supaya ditolong bangkit untuk pulang kembali ke pangkalanku. Tapi tepat saat itu Bruder Jean masuk dengan membawa berita bahwa orang Jerman sudah menemukan pesawatku dan mulai memeriksanya. Dengan demikian, aku memang harus keluar sebelum mereka menemukan aku atau para rahib akan dihukum, mungkin ditembak karena menyembunyikan pilot musuh. Bruder Joaquim datang dengan idenya yang bukan-bukan yakni untuk tidak menyembunyikan aku, melainkan merawat aku sebagaimana wajarnya.
Setelah mereka menggedor-gedor pintu dengan keras, para tentara dipersilahkan masuk. Letnan orang Jerman mengatakan bahwa mereka harus memeriksa biara, mencari seorang pilot yang tidak diketemukan dalam pesawat.
Mereka berpencar dan si Letnan pergi ke bagian rumah sakit, lalu ke perpustakaan, di mana para rahib sedang berkumpul. Pemimpin biara mengatakan bahwa hanya dialah yang boleh bercakap-cakap atas nama mereka semua, karena peraturan mereka. Yang lain diharuskan berdiri di tembok dan Letnan memeriksa satu persatu. Akupun berada di sana juga, di sebelah Bruder Joaquim, dalam pakaian biara dan tudung kepala. Perwira itu lewat sambil menggerutu, ia ingin tahu di mana pilot itu berada.
Pada saat itu, yang lain sudah kembali dari tempat pencarian dengan sia-sia, seseorang mengusulkan untuk mencari di hutan dan merekapun berpencaran lagi.
Saat untuk membuat keputusan tiba, tak dapat ditunda lagi, Sang Abas kuatir akan apa yang mungkin terjadi kalau tentara-tentara itu tak dapat menemukan pilot di hutan. Kehadiranku di sana apabila ketahuan akan membahayakan kehidupan para rahib yang baik hati itu.
Bruder Joaquim mendapat akal lagi, ia akan mengantar aku ke pangkalan. Kalau ia tertangkap, ya masih ada 80 rahib lainnya di biara. Harus ada seorang yang mengambil resiko untuk menyelamatkan hidupku. Abas memberi izin dan Bruder Joaquim segera menjalankan tugasnya, aku tetap harus mengenakan jubah biara dan ia akan mengantar aku ke pangkalan, di atas motornya yang kekar. Karena aku terlalu lemah untuk menjaga diriku sendiri, Bruder menyuruh temannya mengikat aku ke punggungnya.
Dalam waktu 1 jam kami telah mencapai jarak 70 mil, ketika tiba-tiba mesin motor mulai gemuruh keras dan akhirnya berhenti, ada yang salah pada karburatornya dan bruder tidak mempunyai peralatan.
“Kamu berdoa”, ia memaksaku, “ dan sesuatu pasti akan terjadi”. Ketika aku berkata kepadanya bahwa sudah lama sekali aku melupakan doaku, iapun tersenyum, dan berkata : “ teruslah berkata-kata, Tuhan, tolonglah aku !”Kami melihat ke sekeliling dan menemukan sebuah rumah pertanian di atas bukit, tidak terlampau jauh. Aku mau tinggal, sementara ia mencari bantuan, tapi ia memaksa untuk menggendongku sepanjang jalan. Ketika kami mengetuk pintu, betapa terkejutnya kami, sekelompok serdadu Jerman sedang tertawa-tawa dan bercanda dengan sangat gembira setelah minum beberapa galon bir. Bruder Joaquim yang berbicara, memaksa mereka supaya menolong kami dan motor kami serta menjelaskan bagaimana aku terjatuh dari atap dan membutuhkan pertolongan segera. Karenanya, ia segera membawa aku ke dokter yang ia kenal. Kolonel menyuruh memeriksa dan memperbaiki motor itu dan membantu melepaskan aku, kemudian membawa aku sampai aku dapat berbaring dengan nyaman di tempat tidur.
Mengenali jubah rahib, ia terbawa suasana saleh dan menceriterakan bahwa ia pun kira-kira 20 tahun sebelumnya pernah menjalani retret di biara dan bagaimana ia masih terkenang pengalamannya itu “damai, damai…” katanya berulang-ulang.
Ia menawari kami roti dengan isi keju dan memaksa supaya kami menerima sebuah termos berisi susu coklat panas untuk perjalanan. “Tapi, apapun katamu, pemandangan seorang rahib menggendong rahib lainnya, benar-benar menyenangkan” katanya. Bruder Joaquim menyimpan lelocon ini bagi dirinya sendiri dan menjamin kepada sang kolonel bahwa semua ini memang menyenangkannya juga.
Demikianlah kami berangkat dan akhirnya tiba di pangkalan tanpa mengalami kesulitan. Ketika kami tiba di gerbang, yang pertama menemui kami adalah Bill Conover, teman karibku, ia tidak mengenali aku dalam jubah tapi ketika kupanggil, di terkejut. “Bill, ini aku George Cole!” Bill membantu melepaskan aku dan bersama-sama tertawa melihat dua rahib mengendarai motor seperti itu.
Bruder Joaquim memaksa untuk segera kembali, sepertinya ia baru saja melakukan suatu hal yang biasa saja, ia masih mengingatkan aku akan doa itu, kemudian ia berangkat dengan lambaian tangan yang hangat. Alangkah beraninya ! ia telah mengambil resiko kematian untuk menyelamatkan aku ! Rasanya jelas ia adalah orang paling hebat yang pernah kutemui.
Aku dirawat beberapa lama di rumah sakit, lalu kembali ke pangkalan di Inggris. Segera aku merasa putus asa untuk menceritakan pengalamanku ini, karena terlalu fantastis, sulit untuk dipercaya !
Pada suatu pagi ketika aku sedang bekerja di kantorku di pangkalan, Bill teman saya itu, datang membawa surat kabar. Ia bertanya apakah aku masih ingat akan penerbang Perancis Rene Foin, yang dulu selalu kusebut-sebut itu ? Ini adalah ceritanya di koran, tentang dia ! Dengarkan saja ! Letnan Kolonel Rene Foin, Pahlawan Penerbang yang terkenal dari Perang Dunia I, yang secara misterius telah menghilang beberapa tahun yang lalu, telah diketemukan minggu lalu, sebagai seorang rahib di Biara Trapis Notre Dame de Forge, di Chimay Belgia !Aku ingat tempat itu, di situlah pesawatku jatuh, lalu Bill datang dan menunjukkan gambarnya rahib tersebut. Aku terkejut : “Orang inilah yang menyelamatkan aku !” dialah Bruder Joaquim !”Rene Foin belum berlalu dari hidupku…. Dua tahun kemudian, ia berbuat sesuatu bagiku lagi, bahkan lebih hebat dari pada menyelamatkan jiwaku.Ketika perang berakhir, aku kembali ke Biara di Chimay, aku tinggal selama seminggu di situ. Di sana aku menemukan sesuatu yang belum pernah ku temui sebelumnya, yaitu : damai dalam pikiran dan hati. Aku menemukan apa yang menjadikan Rene Foin demikian berani dan kuat. Aku belajar percaya dan berdoa. Dua tahun kemudian, aku dibaptis dan Bapa Baptisku adalah Bruder Joaquim – Rene Foin – Pahlawan masa kanak-kanakku yang telah memberiku dua hadiah yang tak ternilai, yakni hidup dan Iman …….

Read more .....

7/06/2010

VITTORIO MICHELI, PENYEMBUHAN AJAIB DARI LOURDES

Vittori Micheli, seorang mantan tentara dari Resimen Alpine berusia 57 tahun adalah salah satu dari penyembuhan ajaib di Lourdes yang paling terdengar suaranya. Ia terkena penyakit kanker ganas pada tulang panggulnya dan telah menyerang otot pada panggul kririnya. Kakinya dihubungkan dengan tubuhnya hanya oleh kulit dan tergantung seperti sosis.
Di Lourdes, tumor Micheli disembuhkan diikuti dengan rekonstruksi yang luar biasa dari tulang pinggulnya. Tak dapat dipercaya dari sudut pandang ilmiah, hal seperti ini tidak pernah terjadi dalam sejarah pengobatan.
Vittorio Micheli tinggal di Scurelle, dekat Trento di Valsugana dengan isterinya, Lidia. Pada tahun 1961, ia menceritakan dengan panjang lebar, ketika ia mendapat  rasa sakit yang teramat sangat pada panggulnya. Lalu ia dibawa ke rumah sakit militer di Verona, di mana ia menjalani test dan kedapatan menderita tumor pada tulang panggul. Dokter-dokter tidak mengatakan apa-apa padanya, tetapi mereka memberi informasi pada keluarganya.
Kondisinya makin parah, dari Verona ia pergi ke rumah sakit lainnya di Levico, dan lalu ke pusat kanker di Borgo Valsugana dan akhirnya kembali ke Trento. Tumor itu ganas, jadi tidak ada kemungkinan untuk sembuh. Ibunya menangis terus menerus, dan pada suatu hari ibunya minta agar ia pergi berziarah ke Lourdes. Dia adalah seorang Katolik, tetapi bukan seorang Katolik yang baik. Dia tidak ingin melakukan perjalanan itu, tetapi akhirnya ia melaksanakannya hanya untuk menyenangkan hati ibunya saja.
Cerita VittorioMicheli : “Peziarahanku ke Lourdes dari tanggal 24 Mei hingga 6 Juni 1963. Aku ditemani kakakku, kondisiku amat sangat serius, aku tidak makan dan aku harus minum obat terus menerus untuk menghilangkan rasa sakit yang menusuk-nusuk. Di Lourdes, aku dibawa ke Grotto, lalu dibawa untuk mandi di bak berisi air yang terkenal keajaibannya. Tidak terjadi apa-apa yang istimewa, hanya setelah merendam di bak itu, nafsu makanku kembali dan aku tidak ada apa-apa lagi.
Ketika aku kembali ke Italia, aku kembali ke rumah sakit militer di Trento di mana kesehatan badanku mulai berubah dengan dramatis. Aku merasa sehat dan aku ingin berjalan. Para dokter menemukan, bahwa tumornya ditahan dengan tiba-tiba dan terjadi kesembuhan yang tak diduga sedemikian, sehingga pada akhir bulan, meski kakiku masih di-gips, aku mulai berjalan. Test-test yang kemudian, analisa-analisa dan pemeriksaan-pemeriksaan menemukan, bahwa kanker sudah hilang dan bahwa puncak tulang paha dan panggul yang telah digerogoti oleh penyakit ini telah sembuh kembali.”
Ketika ia diperbolehkan keluar dari rumah sakit, Vittorio Micheli kembali kepada kehidupan normal dan kembali pada profesinya semula sebagai tukang bata. Selanjutnya ia selalu bekerja di tempat terbuka, di bawah terik matahari, kadang juga di tengah hujan, naik turun tangga steger membawa beban berat dan ia tidak pernah merasa kesakitan lagi.
Kesembuhannya bukan hanya seketika dan sempurna, dan bukan juga penyembuhan medikal, tetapi kesembuhan ajaib dengan rekonstruksi tulang yang luar biasa mengagumkan. Namun apa yang telah terjadi sebelumnya, masih merupakan percakapan-percakapan di antara para dokter.
Pada tanggal 26 Mei 1976, Gereja menyatakan bahwa penyembuhan ini mendapat persetujuan yang penuh, untuk diakui sebagai sebuah mukjizaat yang otentik.
(Sumber : Majalah Ave Maria)

Read more .....

2/16/2010

JENAZAH ST.BERNADETTE SOUBIROUS TETAP UTUH

Pada tahun 1909, sehubungan dengan diajukannya permohonan beatifikasi Bernadette Soubirous, maka perlulah dilakukan identifikasi terhadap jenazah calon beata yang meninggal pada tahun 1879 itu.
Maka, pada tanggal 22 September 1909, Uskup Gauthey dari Nevers (Perancis), bersama dengan para wakil dan pejabat Gereja lainnya, masuk ke dalam kapel biara di mana jenazah Bernadette disemayamkan. Makam kemudian digali dan jenazah diangkat dari dalam tanah.
Semua yang hadir merasa takjub melihat jenazah Bernadette yang tampak persis sama seperti pada hari ia meninggal. Tubuhnya utuh sempurna, tak tercium bau busuk, pun tak didapati tanda-tanda kerusakan pada tubuh mungil yang terbaring dalam peti jenazah. Dokter Jourdan, dokter ahli bedah yang ikut serta dalam penggalian kembali makam, meninggalkan suatu catatan dalam arsip komunitas, menggambarkan apa yang terjadi pada waktu itu:
“Peti jenazah dibuka di hadapan Uskup Nevers, walikota, beberapa imam dan kami sendiri. Kami tak mencium adanya bau busuk. Jenazah terbalut rapat dalam jubah ordo biarawati di mana Bernadette tinggal. Jubah itu lembab. Hanya wajah, kedua tangan dan lengan bawahnya saja yang kelihatan. Kepalanya agak sedikit miring ke kiri. Rona wajahnya putih pucat. Mulutnya sedikit terbuka dan dari situ tampak bahwa giginya masih utuh. Kedua tangan, yang disilangkan di dada, utuh sempurna, juga kuku-kuku jemarinya. Kedua tangannya masih menggenggam seuntai rosario yang telah berkarat. Galur-galur urat darah halus di lengan bagian bawah tampak jelas.”
Setelah identifikasi jenazah, para biarawati membasuh tubuh Bernadette dan mengenakan jubah baru padanya. Jenazah lalu ditempatkan dalam suatu peti jenazah yang baru berlapis kain sutera putih, dan dikuburkan kembali.
Pada bulan Agustus 1913, Paus Pius X memaklumkan dimulainya penyelidikan untuk kanonisasi dan Bernadette Soubirous sekarang diberi gelar `venerabilis'. Itu berarti bahwa jenazahnya harus diangkat kembali dari kubur. Tetapi, proses ini tertunda akibat Perang Dunia Pertama dan makamnya tidak digali kembali hingga April 1919. Identifikasi jenazah kemudian dilangsungkan sama seperti sebelumnya - dengan hasil yang sama pula. Jenazah tetap utuh.
Pada bulan November 1923, Paus memaklumkan keotentikan keutamaan-keutamaan Bernadette Soubirous, dengan demikian, akhirnya proses beatifikasi dapat dimulai. Sebagai konsekwensi, makam harus digali kembali untuk ketiga kalinya. Kali ini, dari jenazah akan diambil relikwi untuk dikirim ke Roma, Lourdes dan Rumah Suster-suster Nevers di seluruh penjuru dunia.
Pada tanggal 18 April 1925, dilaksanakan penggalian makam untuk yang ketiga kalinya. Bernadette telah wafat lebih dari empatpuluh enam tahun. Namun demikian, tubuhnya tetap sepenuhnya utuh. Dr Talon, ahli bedah yang dipercaya untuk mengambil relikwi-relikwi dari jenazah Bernadette, kemudian menulis suatu laporan mengenai pengangkatan jenazah ini untuk suatu jurnal kedokteran, di mana ia melukiskan rasa takjubnya atas keutuhan sempurna kerangka dan khususnya otot-otot tubuh, juga hati yang - menurutnya - seharusnya rusak seluruhnya segera sesudah kematian. Dr Talon menyimpulkan bahwa “tampaknya hal ini bukan suatu fenomena biasa.”
Pada saat identifikasi jenazah, dicermati bahwa sebagian kecil kulit wajah sedikit pudar warnanya, kemungkinan akibat pembasuhan jenazah dan kontaminasi oleh organisme udara. Karenanya, diputuskan untuk melapisi wajah dan kedua tangan dengan lapisan lilin yang tipis. Perusahaan Pierre Imans di Paris dihubungi, dan mereka setuju untuk melakukan apa yang perlu.
Pada tanggal 14 Juni 1925, Paus Pius XI memaklumkan Bernadette Soubirous sebagai `Beata'. Itu berarti, jenazahnya sekarang dapat dipertontonkan untuk dihormati umat beriman. Suatu workshop di Lyons diserahi tugas membuat sebuah wadah relikwi yang indah, terbuat dari perak yang berkilau, dan juga kristal, tempat jenazah akan dibaringkan.
Pada bulan Juli 1925, suatu tempat ziarah selesai dipersiapkan. Sekali lagi jubah baru dikenakan pada jenazah yang kemudian dipindahkan ke sana. Pada wadah relikwi tampak gambar-gambar Penampakan di Lourdes, dan gambar bunga-bunga lili - simbol kemurnian Bernadette. Di atas wadah relikwi terdapat inisial `N.D. de L.' (Notre Dame de Lourdes), dengan seuntai rosario dililitkan sekelilingnya.
Pada bulan Agustus 1925, tempat ziarah dipindahkan ke kapel utama biara St. Gildard, Nevers, Perancis, di mana jenazah dapat dilihat hingga kini.

Sumber : “The Incorruptible Body” ; www.livingmiracles.net
Diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya

Read more .....

5/07/2009

SEBUAH CATATAN DOKTER DI MEDJUGORJE


Ada banyak orang yang menyatakan bahwa dengan berdoa di Medjugorje, mereka mengalami kesembuhan-kesembuhan yang luar biasa. Di paroki kota kecil Herzegovina, di mana penampakan-penampakan Bunda Maria dimulai dari tanggal 24-Jun-1981, dapat dibaca pada arsip-arsip dari bukti ratusan kasus kesembuhan yang tidak dapat dijelaskan secara medis.

Catatan-catatannya lengkap dengan keterangan-keterangan secara medis, dan ada beberapa yang benar-benar luar biasa, misalnya kasus Dr. Antonio Longo, yang adalah seorang dokter di Portici, provinsi daerah Napoli, Italia.

Dr. Longo sudah berusia Lanjut, namun masih aktif. “Aku merasa sehat,” katanya, “kecuali beberapa vitamin karena usiaku, aku tidak merasakan gangguan sesuatupun.”

Akan tetapi pada tahun 1983 hingga 1989, Dr. Longo menderita tumor, dioperasi beberapa kali, karena setiap operasi mengungkap komplikasi yang lain lagi. Usus yang melintang semuanya diambil, juga sekitar 90 cm dari usus kecil. Penyebarannya dalam bentuk hiliran-hiliran, harus diambil pada operasi-operasi yang berikutnya. Berikut ini penuturan dari Dr. Antonio Longo.

’Kalvariku’ berjalan selama enam tahun. Suatu saat para dokter mengatakan kepada anak-anakku, bahwa aku hanya mempunyai waktu dua minggu lagi untuk hidup, tetapi aku mempunyai iman, aku berdoa kepada Bunda Maria dari Medjugorje. Aku kirim istri dan seorang dari anak-anakku untuk berziarah ke sana, untuk menerima rahmatnya, dan Bunda Maria menyembuhkan aku, aku sama sekali sembuh !

Sejak saat itu, aku menjadi seorang saksi yang berapi-api. Setelah kesembuhanku, aku sendiri pergi ke sana hingga 12 kali, aku selalu berusaha memberikan kesaksian dari rahmat yang kuterima. Kuceritakan pengalamanku kepada para wartawan dari berbagai program televisi. Aku tidak merasa ragu-ragu, sebagai seorang dokter dan sebagai seorang Katolik, aku merasa yakin bahwa kesembuhanku ini memang benar-benar terjadi berkat penyelenggaraan Ilahi sepenuhnya. Catatan mengenai panyakitku didokumentasikan dalam suatu analisa voluminous dossier, x-rays, laporan-laporan kedokteran dan penilaian-penilaian para pakar internasional yang termasyur. Lebih lanjut lagi, penyembuhan yang kualami adalah seketika, sepenuhnya dan tidak kembali lagi, faktanya, selama 12 tahun telah berlalu dan aku masih sehat sampai sekarang.

Sebagai rasa terima kasih atas penyembuhannya yang luar biasa ini, aku mempersembahkan waktuku untuk menolong sesama, bukan hanya sebagai seorang dokter, melainkan juga sebagai “pelayan ekaristi” dan aktivitas gereja lainnya. Aku beruntung untuk bisa menjadi seorang pembantu awam di gereja.

Aku membawakan komuni kepada orang-orang sakit setiap hari, aku mempunyai kelompok doa yang bagus sekali, yang berkumpul seminggu sekali untuk mendoakan para penderita sakit kami, dan untuk semua orang yang meminta doa-doa kepada kami. Hampir setiap malam, aku memimpin Adorasi Sakramen Maha Kudus, yang dilakukan setiap malam di gereja kami. Setiap Senin pagi, karena para imam kebanyakan tidak ada di tempat, Misa Kudus ditiadakan, maka aku membimbing umat untuk berdoa puji-pujian pagi, merayakan Liturgi Sabda dan membagikan komuni. Aku tetap aktif dalam usia yang 78 tahun. Semuanya hanya mungkin kulakukan karena Bunda Maria yang menyembuhkan aku dan selalu melindungi aku.

Aku menyadari, bahwa banyak dari sejawatku berpikir bahwa aku terlalu fanatik, faktanya banyak dokterku bukan orang yang beriman dan tidak akan pernah mau mengakui keberadaan suatu penyembuhan dengan cara-cara adikodrati. Aku menyakinkan mereka, bahwa aku bukanlah seorang yang fanatik dan aku bukan orang yang membiarkan dikuasai oleh emosi-emosi dan luapan-luapan perasaan lainnya, aku ini seorang dokter, aku mempercayai pengobatan. Akupun mempunyai dua orang anak yang menjadi dokter, suatu cara berpikir profesional telah menguasai diriku, untuk membiasakan diri dengan memikirkan dan mempelajari, maupun menyelidiki hal-hal dengan sikap tenang dan bebas. Aku mengikuti seluruh kejadian diriku ini dengan cara obyektif yang paling skeptik, tidak ada keraguan sedikitpun atau dari sudut apa saja. Tidak mungkin ada penjelasan yang masuk akal bagi kesembuhanku ini, yang bisa hanyalah bahwa kesembuhan ini terjadi oleh Ibu Maria.

Beitulah, sebelumnya aku adalah seorang yang sehat dan bekerja keras sepanjang hidupku. Pada musim semi tahun 1983, tiba-tiba aku merasa adanya gangguan dan sakit dalam perutku. Dokter mengkhawatirkan sesuatu, jadi kuputuskan untuk melakukan pemeriksaan selengkapnya, untuk mengetahui lebih jelas ada apa dalam diriku. Hasilnya hanya memperkuat dugaanku, semua indikasi dan pemeriksaan menyimpulkan bahwa aku menderita kanker usus.

Pada pertengahan bulan Juli, situasinya menjadi gawat, dan aku menderita sakit yang luar biasa, di daerah perut, kehilangan banyak darah, sehingga bergegas dilarikan ke Rumah Sakit Naples Sanatirx Clinic. Profesor Francesco Massei, dokterku, mengatakan bahwa aku harus segera dioperasi, yang ditetapkan tanggal 26-Juli. Tiba-tiba profesor terserang influensa dan demam sampai 40 derajat. Dalam kondisiku yang tidak boleh menunggu dan aku terpaksa dicarikan ahli bedah lainnya. Aku mencari pakar terkenal dari bidang kedokteran, Profesor Giuseppe Zannini, Direktur Institute of Surgical Semeiotics of the University of Naples, dan seorang spesialis bedah pembuluh darah. Aku dibawa ke Clinica Mediterranea, di mana Profesor Zannini bekerja dan dioperasi di sana pada tanggal 28-Juli.

Itu benar-benar suatu operasi yang sulit, dalam istilah tehnisnya, aku diberi suatu ‘left hemicolectomy’ yang artinya mereka mengambil ususku yang kemudian diperiksa kembali, hasilnya tumor ganas.

Hal ini sangat memukul aku, sebagai seorang dokter, aku mengetahui sekali apa artinya. Aku merasa putus asa, aku mempunyai kepercayaan dalam bidang kedokteran, tehnik-tehnik pembedahan, obat-obatan yang baru dan perawatan cobalt, tetapi aku juga tahu bahwa hampir selalu kanker berakhir dengan penderitaan yang luar biasa. Aku merasa masih muda dan memikirkan keluargaku, aku mempunyai empat orang anak, semuanya masih mahasiswa, aku benar-benar khawatir dan amat terganggu. Satu-satunya harapan yang nyata adalah berpaling kepada doa, hanya Allah dan Bunda Maria, yang bisa menyelamatkan hidupku.

Koran-koran menceritakan mengenai apa yang terjadi Medjugorje dan aku merasa amat tertarik, aku mulai berdoa dan keluargaku pergi ke sana, memohon kepada Bunda Maria untuk rahmat kesembuhan bagiku dari penyakit kanker ini.

Dua belas hari sesudah operasi, mereka mengambil benang jahitannya dan mengatakan bahwa segalanya tampak beres dan berhasil baik, namun pada hari ke 14, ada sesuatu yang tidak diharapkan, suatu ‘dehiscence’ dari luka yang dibedah. Rupanya lukanya terbuka sepenuhnya, seperti baru dibuat, dan bukan hanya bagian luar lukanya saja, tetapi juga bagian usus dalamnya memerah secara luas dan aku demam tinggi sekali. Benar-benar saat yang amat kritis, kondisiku menjadi serius, selama beberapa hari, aku sudah berpikir akan kematian, dan orang-orangpun juga berpikir demikian.

Prof Zannini, yang sedang berliburan, segera datang dan mengambil alih situasi yang gawat ini dengan usaha yang keras, dengan menggunakan suatu tehnik khusus, ia berhasil menghentikan ‘pembusukan’ dan lukanya mulai terlihat adanya gejala menutup. Ada hiliran kecil dari usus yang berkembang dan bertambah besar hingga kelihatan sekali dan amat serius. Kembali situasiku menjadi gawat lagi, malahan makin mundur, ada kemungkinan penyebarannya pun makin meluas, di mana makin membuat lukanya terbuka, yang sakitnya tak tertahankan.

Aku tinggal di rumah sakit selama empat bulan, sementara para dokter berusaha dengan segala macam cara yang mereka ketahui untuk menutup lukaku itu, tetapi tidak berhasil. Aku pulang dengan kondisi yang tetap menyedihkan, aku tidak dapat mengangkat kepalaku, jika mereka memberiku minum. Lukaku di perut harus diganti tiga kali sehari dengan perban dan lain-lainnya harus khusus, karena harus benar-benar steril, semuanya merupakan siksaan berkelanjutan bagiku.

Dalam bulan Desember, kembali kondisiku makin parah, aku dibawa ke rumah sakit untuk operasi lagi. Dalam bulan Juli, setahun setelah operasiku yang pertama, terjadi krisis yang menyebabkan aku muntah-muntah, kesakitan dan ususku tersumbat. Sekali lagi, aku dibawa ke ruang operasi untuk masalah yang sangat rumit, kali ini aku tinggal di sana selama 2 bulan, dan kembali pulang dengan keadaan yang masih menyedihkan.

Dalam bulan Desember tahun itu, aku harus dioperasi lagi karena pembengkakan dalam ususku yang disebabkan oleh luka terbuka itu, Prof Zannini yang paling ahli dalam hal ini, mengatakan kepadaku bahwa aku harus sudah menyerah dan pasrah karena luka itu tidak akan pernah menutup.

Dalam keadaan inilah aku bertahan hidup, sebagai manusia aku sudah selesai, aku tidak dapat lagi berbuat apa-apa, aku tidak dapat bekerja, tidak dapat bepergian dan tidak berguna apa-apa lagi, aku hanya menjadi budak dan korban dari luka yang mengerikan ini. Pedang Damocles tidak pernah akan berakhir dalam kepalaku, karena tumornya dapat kembali tiap waktu dan penyebarannya pun bisa menjadi luas.

Pada bulan April 1989, aku pergi ke Proff Zannini untuk pemeriksaan diri, aku diyakinkan bahwa luka dan infeksiku masih berlangsung dan tidak bisa disembuhkan. Lima hari kemudian, tanggal 9 April petang, putraku yang menjadi dokter, mengganti perbanku, lukaku selalu menganga di sana, kasar, berdarah, sakit dan tidak bisa menutup.

Sebagaimana biasa, malam itu sebelum tidur, aku berdoa kepada Bunda Maria memohon rahmatnya untuk menyembuhkan diriku. Pada pagi hari ketika bangun, anakku datang mengganti perbanku, ia menyingkirkan segalanya dan terkejut keheranan, melihat bahwa lukaku tidak ada lagi ! kulit perutku kering, halus dan lubangnya pun hilang !

Aku tidak percaya pada mataku sendiri, aku amat meluap dalam kegembiraan, aku sampai menangis. Kami panggil seluruh anggota keluarga dan merekapun melihat apa yang terjadi dengan penuh luapan sukacita. Seperti selalu kunyatakan, bahwa pada saat itu, aku segera memutuskan untuk langsung pergi ke Medjugorje untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Bunda Maria. Hanya beliaulah yang bisa mengusahakan mukjizat ini, tidak mungkin orang lain, apalagi yang seperti ini, dalam waktu semalam, antara malam dan pagi hari, suatu luka seperti yang kuderita seperti ini, karena amat dalam dan menembus ke ususku, melalui lapisan-lapisan kulit.

Untuk menyembuhkan luka jenis ini, kita harus mengamatinya dengan seksama setiap hari, mengering sedikit demi sedikit, baru akhirnya bisa menutup, dan ini terjadi hanya dalam waktu beberapa jam saja !

Dari Medjogorje, aku menulis sebuah kartu kepada Prof Zannini, mengatakan “Akhirnya, aku disembuhkan, aku akan datang berkunjung kepada anda, setibanya dari sini.”

Ketika kembali ke Napoli, aku menemui profesor yang baik ini, asistennya mengatakan, “Profesor menerima kartumu dan amat tidak sabar ingin bertemu, mari masuk.” katanya ketika melihat aku, “aku ingin melihat apa yang telah terjadi.”

Sementara memeriksa diriku, ia meremas tanganku, menekan diriku dan melebarkan kulitku, membalikkan tubuhku berulang kali. Pada akhirnya, ia memberikan keputusannya, “Kamu betul-betul sudah sembuh !”

Kataku “Profesor, aku menulis kepadamu dari Medjugorje, bagaimana menurutmu tentang hal ini ! tentunya merupakan hal yang langka, bukan ? Apakah anda bersedia memberikan pernyataan, bahwa aku disembuhkan tanpa operasi medis dan tanpa adanya cara-cara medis yang khusus lainnya ?”

“Itulah yang sebenarnya” katanya, dan ia menulis suatu pernyataan mengenai kasusku, yang ia ringkaskan bahwa aku melewati beberapa operasi selama enam tahun, hidup dengan luka yang dalam dan parah setelah operasi-operasi itu. Kemudian ia menulis, “Pada saat ini, luka itu secara klinis telah sembuh dan ini terjadi tanpa campur tangan operasi apapun, maupun bantuan medis lainnya.”

Sejak itu, yaitu sejak 9-April-1989, aku tidak pernah lagi mengalami gangguan suatu apapun dari penyakit ini, aku kembali menjalani hidup yang normal, bekerja, berkunjung ke sana ke mari, aku makin biasa, melancong dan merasa amat sehat kembali, aku sungguh-sungguh berterima kasih kepada Bunda Maria, karena melalui kondisi yang aku alami dulu, setiap hari dari kehidupan ini merupakan suatu mukjizat baru yang memperlihatkan kebaikan Tuhan dan Bunda Maria.

(Oleh Renzo Allegri, Majalah Medjugorje Torino 37, terjemahan Sioe Hadinoto)

Read more .....

11/06/2008

YESUS MENYEMBUHKAN SAKIT HNP-KU

Kesaksian : Lidwina Maria - Bekasi

Engkau bertahta diatas altar dan Rm. Yohanes, hamba-Mu berdiri di podium menunggu titah-Mu. Kudengar Romo Yohanes berkata :”Saudara-saudaraku, letakkanlah tanganmu ditempat di mana engkau ingin Tuhan menyembuhkan sakitmu dan bagi mereka yang mengharapkan karunia-karunia rohani silangkanlah tanganmu di dada dan marilah kita berdoa”

Pelan-pelan kuletakkan tanganku di pinggang dan kakiku sambil mengikuti doa yang didaraskan Romo Yohanes. Dalam keheningan, kunanti Engkau menghampiriku. Hanya sebaris doa yang kupanjatkan “Tuhan Yesus, asal kujamah saja jubah-Mu, maka saya akan sembuh”. Selebihnya hanya air mata pengharapan.

Sekian waktu berlalu, dari podium kudengar Romo Yohanes berkata :
“Pada saat ini Tuhan Yesus sedang menyembuhkan seorang wanita yang menderita sakit HNP (ohh..itu kan saya!). Ibu itu merasakan suatu getaran seperti aliran listrik dari sampai kaki.”Tuhan menyembuhkan saya! Tuhan telah menyembuhkan saya! Terima kasih Tuhan Yesus! Terima kasih Tuhan Yesus!

Selesai misa Gedung Serba Guna ramai dipadati oleh orang yang minta pelayanan doa. Aku ingin berterima kasih kepada Tuhan atas kesembuhan ini, maka aku pergi ke kapel. Dan di kapel yang sunyi, aku larut dalam sujud syukur….., kubenamkan kepalaku sampai ke tanah…, sesuatu yang sejak enam bulan yang lalu tak pernah dan tak berani kulakukan karena sakitku. Puji Tuhan, aku tak merasakan apa-apa baik di pinggang maupun di kakiku. Terima kasih Tuhan Yesus!

Iman yang penuh harapan

Retret Penyegaran Rohani berlangsung dari hari Kamis sampai Minggu. Rencanaku selesai session terakhir aku langsung pulang untuk menghindari macet. Seluruh acara retret dapat kuikuti dengan baik meskipun aku harus ekstra hati-hati dengan pinggang dan kakiku. Memang sepintas orang tak menyangka aku sakit. Jika kelihatan sehat itu karena fisioterapi yang teratur kujalani dan obat-obat yang kumakan tetapi sesungguhnya aku seperti menunggu bom waktu untuk operasi.

Minggu pagi selesai doa, kaki terasa sakit dan semakin menjadi-jadi saat berjalan. Saya bingung, dalam hati bertanya apa rencana Tuhan saat ini? mungkinkah Tuhan berkenan menyembuhkan saya secara total dalam misa hari ini? Aku percaya selama ini Tuhan turut bekerja dalam setiap fisioterapi dan latihan tubuh yang dijalani juga dalam setiap obat yang dikonsumsi. Tapi mungkinkah hari ini Tuhan memiliki rencana yang lain? Bila demikian aku harus misa di Cikanyere karena hari ini di sini ada misa penyembuhan.

Dengan keadaan kaki yang sakit seperti ini, sesampainya di Bekasi aku harus segera fisioterapi atau ke dokter padahal di sini ada “Dokter” paling hebat. Paling hebat dibandingkan dengan bila seluruh dokter sedunia bersatu sekalipun! Maka kupanjatkan doa yang selama ini tak pernah berani kuucapkan “Tuhan Yesus, sembuhkanlah saya”. Dan sebuah suara di kedalaman jiwaku seakan berkata “Ahh..akhirnya berani juga kau minta sembuh pada-Ku, inilah yang dinamakan iman yang penuh harapan”. Memang sejak sakit pada bulan April 2004 yang lalu, aku tak berani ikut misa penyembuhan, mungkin karena aku takut kecewa Tuhan tidak mengabulkan doaku. Selain itu, aku juga percaya Tuhan Yesus Maha Kuasa dan Maha Pengasih sehingga aku pikir tanpa diminta pun Tuhan Yesus akan memberikan kesembuhan lewat jalur-jalur medis yang aku jalani. Ternyata keliru, rupanya selama ini Tuhan menungguku mengucapkan permohonan “Tuhan, sembuhkanlah saya”, yang diucapkan dengan iman, harapan dan kesungguhan hati.

Engkau mengerti pikiranku dari jauh

HNP adalah istilah klinis, singkatan dari herniasi nucleus pulposus. Awam sering menyebutnya jepitan atau iritasi pada syaraf tepi. Dalam kasusku, nyeri di pinggang akibat iritasi 2 discus (L4 dan L5) pada tepi syaraf itu menjalar sampai ke paha dan tungkai kaki. Berdasarkan hasil test MRI, dokter menganjurkan operasi tapi aku ingin mencoba dengan fisioterapi dulu. Setelah menjalani fisioterapi sekitar 30 kali, nyerinya memang berkurang tapi setiap siang sampai malam kaki kananku sangat tidak nyaman seperti ada beban dan tekanan. Setiap hari aku mesti melakukan latihan-latihan untuk menguatkan bagian pinggangku. Aku juga mesti selalu menjaga sikap tubuh agar tidak membebani daerah pinggang. Untuk aktivitas-aktivitas tertentu aku mesti pakai korset khusus. Tak ada yang menyangka aku sakit tapi sakitku ini cukup menjadi beban, belum lagi membayangkan jika fisioterapinya dihentikan aku tak tahu apa yang akan terjadi.

Suatu saat aku pernah berandai-andai, tidak sungguh-sungguh berdoa tetapi dalam hati aku berkata demikian: “Tuhan Yesus, jika kelak Engkau menyembuhkan saya dengan mukjizat misalnya dalam misa penyembuhan di Cikanyere, saya mau Tuhan menyebutnya dengan bahasa klinis HNP dan bukan dengan sakit pinggang atau sakit kaki, supaya saya yakin sayalah yang Tuhan maksud.” Maka dari itu betapa kagetnya aku ketika mendengar Romo Yohanes berkata bahwa Tuhan Yesus sedang menyembuhkan seorang wanita yang sakit HNP. Aku langsung yakin akulah yang dimaksud. Aku jadi teringat akan hari ketika aku berandai-andai itu dan Mazmur 139 “Engkau mengerti pikiranku dari jauh.” Aku tak mampu berkata-kata, hanya takjub akan Kuasa Tuhan, lebih-lebih pada Kasih-Nya. Bagaimana mungkin kata-kata yang dalam hati kukatakan hanya sepintas lalu senantiasa diingat-Nya sampai berbulan-bulan? HNP, kata itu senantiasa menimbulkan perasaan hangat dihatiku dan akan kukenang selamanya sebagai salah satu bukti Kasih Tuhan kepadaku. Ahh…betapa aku sangat berharga dimata-Nya !

Hampir tiga minggu berlalu sejak hari penuh kenangan itu. Hari pertama, rasanya bibirku tak bisa terkatup, senyum terus….., siapa yang tak bahagia menerima karunia sebesar itu ! Rasanya sepanjang hari hanya ada kata syukur dalam batinku. Hari-hari selanjutnya hidup seperti mimpi, sering kugerak-gerakkan pinggang dan kakiku, tak terasa apa-apa, rasa sakit itu telah hilang seluruhnya namun rasanya belum percaya kalau aku telah sembuh. Sempat juga terpikir sungguh-sungguh nyatakah ini, jangan-jangan ini cuma khayalanku saja, bagaimana kalau nanti aku sakit lagi. Ternyata menerima mukjizat juga memerlukan rahmat iman yang sama besarnya seperti ketika memohonnya. Syukurlah, dalam situasi seperti itu aku langsung ingat ke mana aku harus pergi mencari tempat perlindungan yang paling aman yaitu: Tuhan Yesus! Mengandalkan kemampuanku sendiri, aku tak mampu. Iman adalah rahmat Allah dan aku harus selalu memintanya setiap hari, seumur hidupku. Kurasa pada hari Minggu pagi sebelum mukjizat itupun, tanpa rahmat Allah aku tak akan mampu berdoa “Tuhan, sembuhkanlah saya” dengan iman yang penuh harapan.

Oh ya, agar tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan, aku sudah test MRI lagi. Meskipun masih ada tonjolan yang sangat minim di L-5, namun tak ada lagi iritasi discus terhadap syaraf tepiku. Apapun yang kulihat dari hasil test MRI, ini adalah yang terbaik menurut Tuhan. Kini aku dapat melakukan setiap aktivitas seperti dulu sebelum sakit. Namun aku tetap latihan dan minum vitamin, namun bukan karena tak percaya aku telah sembuh melainkan sebagai salah satu bentuk syukur dan penghargaanku kepada Tuhan yang begitu penuh kasih sehingga aku merasa wajib memelihara kesehatanku dengan baik.

Sejak hari bersejarah itu, apa yang dulu tampak seperti bayang-bayang kini menjadi begitu nyata. Tuhan menjadi begitu hidup, begitu agung, begitu nyata. Kuasa-Nya tetap sama baik dulu, kini maupun di masa mendatang. Perayaan Ekaristi bukan lagi sekedar kegiatan ritual karena aku dapat merasakan kekuatan dan kehadiran-Nya. Komuni merupakan saat yang paling indah buatku. Aku tak lagi peduli akan suara-suara di sekelilingku, yang kurasakan hanya keheningan yang menentramkan jiwa. Bagaimana aku akan membagi perhatianku pada yang lain jika jiwaku sedang dikunjungi secara khusus oleh Sang Tamu Agung? Sayang kalau aku harus melewatkan saat yang indah ini dengan kegiatan lain yang bisa kulakukan setelah misa selesai. Ada banyak hal yang dulu tampaknya membingungkan tetapi kini seperti ada suatu terang yang menyinari jiwaku. Sehingga seperti orang-orang Samaria dalam kisah “Percakapan dengan perempuan Samaria”, aku dapat berkata: Aku percaya tetapi bukan lagi karena apa yang mereka katakan sebab aku sendiri telah mengalami Dia dan tahu bahwa Dia sungguh-sungguh Juruselamat dunia!
Segala kemuliaan bagi-Nya di tempat yang maha tinggi.


Dan sebagai penutup tulisan ini, dengan meneladan Bunda Maria aku akan bermadah:

“Jiwaku memuliakan Tuhan dan hatiku bersuka ria karena Allah penyelamatku.
Sebab Ia telah memperhatikan daku hambanya yang hina ini.
Yang Maha Kuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku
dan namanya adalah Kudus.

Dia mengerti pikiranku dari jauh, Dia menyembuhkan segala penyakitku.
Dia mengampuni segala dosaku dan menebus hidupku dari lobang kubur dan
memahkotai aku dengan kasih setia dan rahmat.

Aku yang meratap telah Kau ubah menjadi orang yang menari-nari.
Tuhan, Allahku, untuk selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagiMu!

(Sumber : http://www.carmelia.net)

Read more .....

10/17/2008

MUKJIZAT LOURDES – KISAH NYATA GABRIEL GARGAM

Kisah Gabriel Gargam barangkali merupakan salah satu yang paling terkenal dari ribuan penyembuhan di Lourdes, pertama karena dia begitu dikenal di tempat suci itu selama setengah abad, kedua karena dia mendapat penyembuhan ganda, yaitu penyembuhan jiwa (rohani) dan fisik.

Gabriel Gargam dilahirkan pada tahun 1870 dari keluarga Katolik yang baik, dia merupakan murid yang cerdas dan seorang Katolik yang sungguh taat, tetapi pada umur 15 tahun dia sudah kehilangan imannya yang berharga itu.

Dia menjadi pegawai kantor pos, pada waktu melaksanakan tugasnya sebagai tukang sortir di bulan Desember 1899 dalam kereta api dengan route dari Bordeaux menuju ke Paris, terjadilah tabrakan dengan kereta api lain yang sedang berjalan dengan kecepatan 80 km perjam.

Gargam terlempar sejauh lima belas meter dari kereta api, dia tergeletak dalam salju, luka parah dan pingsan. Dia lumpuh dari pinggang ke bawah, hampir tak ada kehidupan saat dia diangkat dengan tandu, dia dibawa ke rumah sakit dan menjadi mayat hidup.

Setelah delapan bulan, dia berubah menjadi tengkorak, berat badannya hanya tinggal 35 kg, walaupun semasa hidup sebelumnya dia bertubuh besar. Kakinya mulai membusuk, dia tidak dapat makan dan terpaksa mendapat makanan melalui infus. Hanya sekali dalam 24 jam dia mendapat makanan dengan cara infus.

Dia menuntut ganti rugi kepada perusahaan kereta api. Pengadilan akhirnya mengabulkan permintaannya dan memutuskan memberikan setahun ganti rugi sebesar 6.000 Francs dan di samping itu ganti rugi sekaligus sebesar 60.000 Francs.

Keadaan Gragam benar-benar menimbulkan belas kasihan yang mendalam, dia tidak dapat menolong dirinya sendiri untuk masalah sekecil apapun. Dua perawat yang terlatih diperlukan untuk membantu dia sehari-hari maupun malamnya. Itulah Gabriel Gargam setelah kecelakaan, dan mungkin akan terus berlangsung sempai mati. Tidak ada penipuan atau rekayasa mengenai keadaan dia, dua kali pengadilan menegaskan keadaan dia. Para dokter memberikan kesaksian bahwa orang ini cacat tanpa harapan seumur hidup dan kesaksian itu tidak terbantahkan.

Sebelum kecelakaan tersebut, Gargam sudah lima belas tahun tidak pergi ke gereja. Bibinya seorang biarawati dari Ordo Hati Suci memohon agar dia pergi ke Lourdes, namun dia menolak. Bibinya kemudian melanjutkan permohonannya agar menyerahkan dirinya ke dalam tangan Bunda dari Lourdes, dia tetap tidak mau mendengar semua permintaan bibinya. Setelah ibunya sendiri secara terus menerus memohon, dia akhirnya menyetujui untuk pergi ke Lourdes.

Dua tahun setelah kecelakaan itu dia tidak pernah meninggalkan tempat tidurnya, untuk pergi ke Lourdes dia harus dibawa dengan tandu ke kereta api. Usaha ini sangat menguras tenaganya dan membuat dia pingsan selama satu jam penuh. Mereka yang membawa dia memutuskan untuk tidak pergi ke Lourdes, karena kelihatannya dia akan meninggal dalam perjalanan, akan tetapi ibunya mendesak agar perjalanan menuju Lourdes tetap diteruskan.

Akhirnya setibanya di Lourdes, dia mengakui dosanya dan menerima Komuni Suci, tidak ada perubahan yang terjadi dalam dirinya. Kemudian dia dibawa ke kolam mukjizat untuk dimandikan dan dengan perlahan-lahan direndam dalam air, juga tidak ada perubahan, malahan usaha ini berpengaruh buruk bagi dia, karena dia pingsan dan seperti orang meninggal. Setelah beberapa waktu, dia tetap juga belum sadarkan diri, dan mereka memperkirakan dia sudah meninggal.

Dengan sedih mereka bermaksud membawanya kembali ke hotel. Sewaktu mereka hendak berjalan kembali ke hotel, mereka berpapasan dengan prosesi Sakramen Maha Kudus, mereka akhirnya berdiri di pinggir agar prosesi tersebut dapat lewat. Kain sudah diletakkan menutup wajah Gargam, karena mereka mengira dia sudah meninggal.

Sewaktu imam yang membawa Hosti Suci melewati dia, imam lalu memberkati rombongan yang membawa tubuh yang sudah ditutupi kain itu. Segera saat itu ada pergerakan di bawah kain itu, orang-orang di sekitarnya terkejut dan terheran-heran, tubuhnya kemudian bergerak naik dalam posisi duduk. Seluruh keluarga yang melihat dan menyaksikannya menjadi tercengang dan orang-orang di sekitarnya yang juga melihat kejadian itu memandang dengan rasa kagum.

Gargam berseru dengan suara nyaring, bahwa dia ingin berdiri. Mereka berpikir bahwa dia ini mengigau sebelum meninggal dan merekapun mencoba menenangkan dia, tetapi dia tidak mau menghiraukannya. Dia lalu berdiri tegak, berjalan beberapa langkah dan berkata bahwa dia sudah sembuh !!!. Mereka semua yang menyaksikan mukjizat ini langsung berlutut dan mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas tanda dan mukjizat baru itu, karena kuasa-Nya di tempat suci ini.

Karena Gargam hanya berpakaian seadanya, dia dibawa kembali ke hotel, di situ dia berpakaian, dan kemudian melanjutkan jalan-jalannya seperti dia tidak pernah sakit. Selama dua tahun hampir tidak ada makanan yang melewati mulutnya lagi, tetapi sekarang dia duduk di meja dan makan dengan lahapnya.

Pada 20 Agustus 1901, 60 dokter terkemuka memeriksa Gargam, tanpa menyebutkan cara penyembuhan, mereka menyatakan bahwa dia sembuh dengan sempurna. Gargam sangat berterima kasih kepada Tuhan dalam Ekaristi Suci dan kepada Bunda Yang Diberkati, sehingga akhirnya dia mau mempersembahkan dirinya untuk melayani orang-orang cacat di Lourdes.

Dia membuka usaha secara kecil-kecilan dan menikahi seorang wanita saleh yang menolong dia dalam melakukan pelayanan dan belajar akan pengetahuan yang lebih mendalam tentang Bunda Maria Tanpa Noda. Tiap tahun selama lima puluh tahun ia kembali ke Lourdes untuk melayani sebagai Brancardier (sukarelawan pembawa tandu orang sakit).

Perayaan Emas atas kesembuhannya dirayakan dalam Ziarah Nasional Perancis dalam tahun 1951. Gargam duduk di kursi di dalam Rosary Square (Lapangan Rosario), dikelilingi 1.500 orang sakit dan 50.000 peziarah. Dibacakan riwayat penyembuhan ganda yang di alaminya oleh Canon Belleney, seorang Apologist (orang yang membela iman secara ilmiah) yang terkenal. Kunjungan terakhirnya ke tempat suci ini adalah pada tahun 1952, dan dia meninggal pada bulan Maret tahun berikutnya, yaitu tahun 1953 dalam usia 83 tahun.

(Sumber : Miracles of Lourdes)

Read more .....

10/06/2008

DARI SEORANG ATHEIS MENJADI SEORANG KATOLIK

Berikut ini adalah kesaksian iman dari salah seorang pengajar kami di Institute for Pastoral Theology, Ave Maria University. Dr. Lawrence Feingold, STD adalah seorang Doktor Teologi yang sangat luar biasa, bukan saja dalam hal mengajar, tetapi juga dalam kesehariannya sebagai seorang Katolik. Ia sangat mendalami ajaran St. Thomas Aquinas, sehingga dapat mengajarkan kepada kami dengan begitu sangat menyakinkan tentang keberadaan Allah, Yesus Kristus, dan tentu saja, Gereja Katolik dan pengajaran Gereja. Di balik semua kelebihannya mengajar, Dr. Feingold ini adalah sosok pribadi yang sederhana, sangat rendah hati dan juga murah hati. Sungguh, ia hidup sesuai dengan apa yang diajarkannya. Semoga kesaksian imannya ini menjadi berkat buat kita semua (Editor).

Saya dibesarkan sebagai seorang atheis. Ayah saya adalah seorang Yahudi, dan ibu saya seorang Protestan, tetapi keduanya tidak pernah mempraktekkan iman mereka, meskipun sesekali kami pergi ke kebaktian gereja Unitarian. Meskipun ayah saya melepaskan agama Yahudi setelah masa Bar-Mitzvah (umur 13 tahun), saya dibesarkan dengan identitas sebagai seorang Yahudi, bersamaan dengan keluarga dari pihak ayah saya. Istri saya, Marsha, juga seorang Yahudi, yang walaupun dibesarkan di lingkungan Yahudi, namun akhirnya melepaskan agama Yahudi setelah kuliah. Kesaksian ini saya buat, untuk menjelaskan bagaimana sampai akhirnya saya dapat berdoa, untuk pertama kalinya, saat saya berumur dua puluh sembilan tahun, saat saya dan Marsha tinggal di kota kecil di Italia, Tuscany, pada saat saya menjadi seniman pematung batu marmer. Sejak saat itu hati saya terus dipenuhi keinginan untuk mengenal Tuhan, yang akhirnya membawa saya ke pangkuan Gereja Katolik.

Tuhan tentu dapat memakai segala cara untuk membuat kita tunduk di hadapan-Nya dan berdoa. Namun, yang paling umum adalah melalui kesulitan dan masalah yang kita alami, yang mengingatkan kita pada Salib, yang melaluinya Yesus telah menebus dunia. Dalam hidup kami, salib itu bukanlah hal yang terlalu besar dan istimewa. Kuasa Tuhan sering kali dinyatakan dengan mendatangkan hal-hal yang besar melalui hal yang sederhana. Tuhan sesungguhnya telah mempersiapkan saya tentang hal ini melalui studi dan pekerjaan saya sebagai seniman, meskipun pada saat itu saya tidak menyadarinya…

Saya beruntung dapat belajar Art History dari Norris K. Smith, seorang professor di Universitas Washington. Beliau mengajarkan agar kami melihat seni sebagai ekspresi tentang Tuhan, manusia dan dunia. Setiap karya seni yang baik menyatakan bentuk yang indah, pandangan dunia, dan juga realitas alam yang baik. Karya-karya seni yang terbaik didukung oleh realitas alam dan kemanusiaan yang baik dan seimbang, sedangkan keburukan karya seni sering berhubungan dengan penurunan nilai-nilai di jaman itu. Di jaman modern ini, terjadi penurunan nilai kemanusian yang tidak lagi melihat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki martabat yang tinggi, dan hal ini terlihat dari karya seni jaman modern yang arahnya menunjukkan kesemerawutan atau kekosongan yang ekstrim. Tanpa saya sadari refleksi ini mengendap di dalam pikiran saya. Saya menjadi semakin sadar bahwa ‘dehumanization’ di dalam Art/ karya seni modern itu disebabkan oleh menghilangnya iman Kristiani di dalam masyarakat karena akibat sekularism.

Saya ingat pada waktu saya mengunjungi kapel Sistina (Vatican), sesaat sebelum saya bertobat, saya mengagumi lukisan ‘Penghakiman Terakhir’ di dalam kapel, padahal pada waktu itu saya masih seorang atheis! Saya (dan mungkin juga para turis lainnya) memandang lukisan tersebut tanpa mempertanyakan kebenaran yang dilukiskan di dinding kapel tersebut, seolah-olah lukisan itu hanyalah karya seni semata- mata. Harus saya akui, sedikit demi sedikit saya mulai mengagumi dan menyenangi karya seni Kristiani.

Namun demikian, kekagumanku akan karya seni Kristen tidak membuat saya bertobat, tanpa saya mengalami masalah pribadi. Pada tahun 1988, Marsha istriku mengandung anak kami yang pertama dan ia mengalami kecemasan-kecemasan yang di luar batas kewajaran tentang kehamilannya. Ia menjadi uring-uringan, dan pada suatu saat ia berkata pada saya bahwa ia tidak ingin hidup lagi. Saya tidak dapat memahami hal ini, dan saya mengalami bahwa saya tidak punya solidaritas di dalam hati saya terhadap kesulitan istriku ini. Hal tersebut membuat saya merenungkan akan keterbatasan kasih saya kepadanya, dan secara umum hal ini membawa saya menyadari akan terbatasnya kasih manusia. Betapa sesungguhnya manusia (dalam hal ini istri saya) merindukan untuk dikasihi sebagai mana adanya, dan saya sungguh hampir tidak dapat melakukannya!

Renungan ini membawa saya berpikir, bagaimana sampai kita sebagai manusia dapat mempunyai keinginan untuk dikasihi sampai sedemikian, jika tidak ada Tuhan? Jika tidak ada Tuhan yang dapat mengasihi kita seperti Bapa, maka kehausan kita untuk dikasihi dan mengasihi akan menjadi sia-sia dan percuma, sebab tidak akan dapat terpenuhi. Di sini pulalah saya menemukan arti kasih sejati sebagai pasangan, yaitu untuk melihat pasangan saya sebagai mana adanya, yang walaupun lemah namun layak dikasihi, dan hanya kasih sejati yang dapat melihat hal ini. Ya, istriku layak kukasihi, meskipun hal itu di atas kemampuanku untuk mengasihinya. Pemikiran ini membuat saya menyadari bahwa Tuhan harus ada, sebab hanya Tuhan saja yang dapat mengasihi setiap manusia sebagaimana adanya.

Jika Tuhan tidak ada maka keberadaan kita sebagai manusia tidak ada artinya. Tidak mungkin manusia itu hanya sebagai ‘produk kagetan’ yang dihasilkan oleh kebetulan yang buta, ataupun hasil ‘kecelakaan’ semata, seperti yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh atheis seperti Jean-Paul Satre. Jadi, manusia pastilah merupakan hasil dari kasih ilahi, dan manusia direncanakan untuk mengambil bagian dalam kasih ilahi itu, asalkan mau menanggapi panggilan tersebut.

Saya menjadi sangat yakin bahwa Tuhan itu sungguh ada di dalam kehidupan manusia. Saya menjadi sadar bahwa kemampuan untuk mengasihi sesungguhnya datang dari Tuhan. Dan untuk memperoleh kemampuan untuk mengasihi itu saya harus berdoa. Sungguh, sampai saat inipun saya tidak dapat menjelaskan bagaimana saya memperoleh keyakinan seperti itu, selain percaya bahwa hal itu disebabkan karena rahmat Tuhan. Oleh rahmat itu, saya disadarkan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambaran Allah sehingga dapat mengambil bagian di dalam sifat Allah yang paling khas, yaitu mengasihi.

Dengan keyakinan ini saya mencoba berdoa untuk pertama kalinya di dalam hidup saya. Ketika saya naik kereta api ke Florence untuk berdoa di Duomo yang dibangun oleh Brunelleschi, saya tidak membayangkan agama Kristen, tetapi saya juga tidak menentangnya. Di sana saya hanya berdoa: “…Tuhan, ajarilah aku mengasihi, ajarilah aku menjadi terang buat orang lain….” Saya tidak tahu kenapa saya berdoa demikian, namun sampai sekarangpun saya masih menyukai doa tersebut.

Tuhan ingin agar kita berdoa, dan jika kita berdoa, Ia melimpahkan rahmat-Nya pada kita. Setelah berdoa demikian, saya teringat akan Mazmur 2 : “Engkau adalah Anak-Ku! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Meskipun saya seorang atheis, saya mengetahui Alkitab melalui kuliah Art dan studi perbandingan antar agama yang menjadi minat saya. Pada saat itu saya mengerti bahwa perkataan tersebut ditujukan oleh Tuhan Allah Bapa kepada Yesus PuteraNya, namun juga kepada saya (dan orang-orang lain) di dalam Kristus Putera-Nya, yang diangkat menjadi anak-anak angkat Allah.

Setelah berdoa demikian, saya tahu bahwa saya harus menjadi seorang Kristen. Sebelum saat itu, saya sesungguhnya sudah sangat menghormati figur Yesus, Kisah sengsara-Nya, ajaran Delapan Sabda Bahagia dan khotbahNya di bukit, tetapi saya tidak dapat memahami hubungan-Nya dengan saya secara pribadi, hubungan-Nya dengan seluruh umat manusia, dan apakah Dia itu sungguh-sungguh Tuhan. Saya rasa sikap saya ini mirip dengan sikap kebanyakan orang Yahudi yang kebetulan membaca Kitab Perjanjian Baru.

Namun setelah doa ini, hubungan saya dengan Yesus menjadi sangat berbeda. Saya seolah-olah diperkenalkan dengan misteri kasih Allah Bapa dan Allah Putera, yang sesungguhnya berkaitan dengan keinginan semua orang untuk dikasihi sebagai anak-anak Allah. Allah Putera sesungguhnya telah menjadi manusia yang berkebangsaan Yahudi, wafat di salib, sehingga semua orang, baik Yahudi maupun bangsa lain, dapat menerima karunia kasih-Nya dan diangkat menjadi anak-anak Allah. Meskipun pada saat itu saya belum mengerti sepenuhnya, namun kesadaran dan pengalaman saya bahwa kasih-Nya mengangkat saya menjadi anak-Nya, merupakan sesuatu yang tak terlupakan. Pengalaman tersebut menjadikan saya seperti ‘lahir baru’, membawa saya pada pertobatan akan dosa-dosa saya dan mendatangkan suka cita yang tak terlukiskan!

Saya membagikan pengalaman ini kepada istri saya, Marsha, dan kami sepakat untuk menjadi Kristen. Namun demikian, tidak jelas bagi kami saat itu, kami harus masuk ke Gereja mana. Keraguan kami berlangsung sampai 6 bulan. Pikiran saya terombang- ambing antara iman Gereja Katolik dan pendapat umum gereja Protestan yang menolak institusi Gereja, seperti yang sering saya dengar sejak kecil.

Lagi-lagi, seni dan kebudayaan Kristen membantu saya untuk membuat keputusan. Sekitar satu bulan setelah pengalaman awal pertobatan saya, saya mengikuti Misa kudus di paroki dekat kami tinggal. Homili pada waktu itu disampaikan oleh Archbishop dari Pisa, untuk menghormati Bunda Maria, yang lukisannya pada waktu itu dipajang di gereja. Homili tersebut menceritakan Bunda Maria sebagai Hawa yang baru, yang oleh ketaatannya memulihkan ketidaktaatan Hawa, dan karenanya membuka gerbang bagi Inkarnasi Tuhan Yesus. Inilah yang melahirkan devosi kepada Bunda Maria.

Namun, walaupun saya telah menerima rahmat dalam Misa tersebut, saya masih bergumul dengan kepercayaan saya terhadap kehadiran Yesus yang nyata di dalam Ekaristi. Tanpa saya sadari, pendapat gereja Protestan cukup mempengaruhi saya. Ada saatnya saya percaya pada pengajaran Gereja Katolik, dan hati saya dipenuhi oleh syukur dan suka cita, namun ada juga saatnya saya meragukannya, dan hati saya menjadi sangat sedih karena itu. Di satu sisi saya percaya bahwa Kristus tidak akan pernah meninggalkan Gereja dan membiarkannya disesatkan oleh manusia, namun harus kuakui saya kadang ragu, apakah penyertaan-Nya dinyatakan di dalam Ekaristi. Pergumulan saya ini terjadi berkali-kali: suka cita datang karena iman kepada Gereja Katolik, dan duka cita pada saat saya masih meragukan iman tersebut.

Demikianlah, meskipun dalam pergumulan, saya terus merasa bahwa melalui Gereja, Tuhan terus bekerja di dalam sejarah manusia. Lambat laun saya percaya bahwa karya Tuhan tersebut dinyatakan di dalam sakramen, terutama Ekaristi. Tanpa Gereja, dunia ini sudah ‘ditinggalkan’, karena Alkitab memang menceritakan tentang teladan Yesus dan segala perbuatan-Nya, namun kehadiran-Nya dan pengudusan-Nya secara nyata terdapat di dalam Gereja. Dengan keyakinan ini, akhirnya saya dan Marsha memutuskan untuk dibaptis, dan kami memilih dibaptis di gereja Anglikan. Kemudian saya menjajaki kemungkinan untuk menjadi imam/ pastor Anglikan atau Episkopalian.

Namun rupanya Tuhan berkehendak lain. Tak lama setelah dibaptis, saya datang ke British Library di Florence, dan saya melihat buku yang berjudul The Newman Reader, yaitu koleksi tulisan-tulisan Kardinal John Henry Newman. Begitu saya mulai membaca, saya langsung tertarik. Saya membaca autobiografi Kardinal Newman, Apologia pro vita sua, dan tulisannya yang terkenal, Essay on the Development of Christian Doctrine, yaitu tulisan yang menghantarkannya untuk beralih dari seorang pemeluk Anglikan menjadi seorang Katolik.

Pada saat itu, saya mulai mempelajari Katekismus Gereja Katolik, yang ditulis oleh Fr. Hardon. Dengan membaca kedua buku ini, saya berketetapan untuk menjadi seorang Katolik. Saya segera memberitahukan hal ini kepada Marsha. Ia cukup terkejut, namun akhirnya iapun setuju untuk bersama-sama masuk ke Gereja Katolik. Maka, saya menghubungi Pastor paroki kami di Long Island, pada tanggal 8 Desember 1988, yaitu hari raya Bunda Maria dikandung Tanpa Noda. Akhirnya kami resmi menjadi Katolik pada tanggal 25 Maret 1989, pada Perayaan Ekaristi Malam Paskah.

Orang mungkin bertanya, pernyataan Kardinal Newman yang mana yang membawa saya pada iman Katolik? Seingat saya adalah prinsip yang disebutnya sebagai “dogmatic principle” : bahwa terdapat kepenuhan kebenaran yang objektif yang datangnya dari Tuhan sendiri dan bukan dari manusia. Dan untuk sampai ke sana, kita tidak saja harus memohon dan berdoa dengan tekun, tetapi juga dengan menerimanya dengan ketaatan. Kedua, Kardinal Newman mengatakan bahwa Gereja perlu dibekali oleh otoritas dogmatik yang kelihatan agar dapat terhindar dari gerbang neraka dan serangan manusia yang skeptis dan yang mengikuti keinginan sendiri. Tanpa hal ini, karya Tuhan menjadi tidak lengkap, karena dengan sangat mudah Gereja akan terbawa arus jaman. Jika Tuhan sudah mau berpayah-payah menjadi manusia untuk menyatakan kebenaran-Nya yang menyelamatkan, dan wafat di salib untuk semua orang, tentunya Ia-pun mau berpayah-payah menjaga kehadiran-Nya di dunia, dan menjaga agar ajaran-Nya tidak disesatkan oleh manusia.

Lalu, otoritas mengajar yang mana yang ditetapkan Yesus? Hal ini tentu tidak sulit ditemukan, jika hati kita mau terbuka. Jika Tuhan mendirikan Gereja-Nya atas Petrus, maka otoritas mengajar ini diberikan kepada Petrus dan semua penerusnya; sebab Yesus berjanji, “Engkau adalah Petrus (batu karang), dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.” Organisasi mana yang dapat meng-klaim sebagai Gereja yang didirikan di atas Petrus? Hanya Gereja Katolik yang mempunyai klaim demikian, dengan bukti sejarah selama 2000 tahun, melalui rantai kepemimpinan Paus yang tak terputus, yang memimpin Gereja atas dasar iman para rasul. Hal ini hanya dimungkinkan oleh bantuan istimewa dari Allah sendiri.

Dan, jika Kristus telah mendirikan otoritas Gereja, apakah yang harus kita lakukan selain dari tunduk mentaatinya? Jika tidak demikian, bukankah artinya kita memberontak dari Allah dan menolak karunia terang iman dari Allah? Setelah memasuki Gereja Katolik pada tanggal 25 Maret 1989, dengan rahmat Tuhan, saya menjadikan perkataan Kardinal Newman sebagai perkataan saya sendiri:

Sejak saya menjadi Katolik, saya tidak punya lagi sejarah mengenai pendapat religius secara pribadi. Bukan berarti pikiran saya jadi berhenti, atau saya tidak lagi memikirkan hal-hal Theologis, tetapi saya tidak perlu merekam perubahan-perubahan ajaran, dan saya tidak lagi merasa gelisah karena apapun juga. Saya selalu ada dalam damai dan puas, karena saya tidak lagi merasa ragu…. Saya seperti kapal yang kembali ke pelabuhan setelah melalui badai di lautan; dan kebahagiaanku karenanya tetap tak terputuskan sampai pada hari ini.

Kedamaian di hati yang sedemikian dialami oleh semua orang yang memasuki atau yang kembali ke pangkuan Gereja Katolik, asalkan mereka terus berjuang memahami “dogmatic principle” tersebut. Kami memasuki Gereja Katolik karena yakin bahwa inilah Gereja yang didirikan oleh Tuhan sendiri. Kami percaya akan segala ajaran Gereja, karena Gereja mengajarkannya dengan otoritas penuh yang diberikan oleh Allah, dan karenanya, Gereja berbicara atas nama Tuhan, sebagai kelanjutan dari misi Kristus di dunia.

Kata orang, banyak orang Yahudi yang menjadi Katolik merasa sedih sebab mereka menganggap tradisi Yahudi sebagai suatu pengkhianatan terhadap Yesus. Kami tidak pernah mengalami hal ini. Sebaliknya, saya malah mengalami ketertarikan pada tradisi Yahudi yang tak pernah saya alami sebelumnya. Saya tidak pernah mempelajari bahasa Ibrani semasa kanak-kanak, namun sekarang, saya menikmatinya setelah saya menjadi Kristen, karena dengan bahasa Ibrani, bahasa yang digunakanoleh Bangsa Pilihan, saya dapat mendaraskan Kitab Mazmur.

Dalam tahun pertama setelah Pembaptisan saya, banyak orang bertanya, mengapa saya menjadi pemeluk Kristen Katolik, kenapa bukan agama Yahudi, Buddha, Islam atau Protestan. Pertanyaan demikian sesungguhnya ada dalam kerangka religious liberalism, seolah-olah agama hanya merupakan pilihan pribadi. Namun bagi kami, bukan karena kami yang memilih, namun Tuhan yang telah memilih untuk menyelamatkan kita melalui Inkarnasi dan Penebusan dosa oleh Yesus Kristus di kayu salib, yang kini diteruskan dan dihadirkan kembali di dalam Gereja Katolik. Tuhanlah yang memanggil kami untuk memasuki bahtera keselamatan-Nya tersebut. Kita semua yang telah diberikan rahmat untuk mendengar dan menerima Dia, tanpa jasa kita sendiri, memiliki tugas untuk berdoa bagi mereka yang belum memperoleh rahmat itu…

(Sumber : http://katolisitas.org)

Read more .....

8/27/2008

SUKA CITA

oleh Dr.Douglas Lowry

Ada adegan di film Christmas Carol versi buatan Alistair Sim, yang menggambarkan bagaimana perasaan saya ketika diterima menjadi Katolik. Adegan film waktu si Kikir selesai dikunjungi oleh tiga roh Natal. Si Kikir berdiri di depan cermin dan tertawa pada dirinya sendiri, heran bahwa dia masih hidup dan punya kesempatan untuk mulai awal yang baru. Dia menyisir rambutnya dan terus bergumam tentang betapa lucunya perasaannya yang sukacita saat itu. Aneh rasanya bagi dirinya untuk memiliki perasaan baik seperti itu, tapi dia betul-betul merasa demikian!

Saya merasakan seperti itu. Pada tanggal 7 Februari 1993, saya dan istri saya Margaret mengambil langkah terakhir dari perjalanan ziarah 30 tahun menuju Roma. Melalui langkah ini kami telah menemukan suatu sukacita yang terus menerus, lucu dan mengherankan, tetapi sungguh-sungguh suatu sukacita.

Selama lebih dari 27 tahun saya adalah seorang pendeta Gereja Presbiterian di Kanada. Dari 1975 - 1992 saya melayani sebagai satu diantara tiga Pelayan Sidang Umum. Seorang Pelayan membuat peraturan, memberi nasihat pembuatan prosedur, membuat notulen, dan membantu memecahkan situasi konflik. Pada suatu ketika saya mulai mengeluh akan sikap ketidak-bersatuan yang seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari denominasi kami. Menjadi nyata bahwa setiap konflik di kongregasi dan setiap manufer politik di komite dan dewan gereja berakar pada kegagalan untuk patuh pada Alkitab. Mengapa kita tidak menaruh prioritas pada hal-hal yang memberi kedamaian dan persatuan? Dapatkah kita sebagai suatu denominasi setuju pada perintah untuk mengasihi satu sama lainnya? Saya menyaksikan, dan mendengar, dan berdoa.

Kekhawatiran-kekhawatiran ini akhirnya membawa pada keputusan untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Ini adalah satu-satunya jalan keluar atas rasa haus akan persatuan. Hasilnya....beban yang terangkat, dan perayaan, dan sukacita.

Tulisan ini ditulis untuk memberi semangat pada orang-orang, khususnya kaum klerus, yang sedang mempertimbangkan untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Dinding penghalang begitu besar ... mungkin suatu kebutuhan untuk penyesalan diri atas penghakiman yang keras (terhadap Gereja Katolik) di masa lalu, rasa khawatir akan menyakitkan hati mereka yang kita kasihi (keluarga dan teman-teman yang masih Protestan), rasa tidak nyaman atas keasingan kita dengan cara-cara Katolik, ketidak-pastian bagaimana kita akan bertahan, dan bagi sebagian dari kita, masalah mencari nafkah (karena kehilangan pekerjaan sebagai pendeta). Meskipun penghalang-penghalang ini begitu besar, sebagian dari kita tetap tertarik untuk bergabung dengan Gereja Katolik.

Alasan-alasan kami untuk mempertimbangkan Gereja Katolik bervariasi. Istri saya paling tertarik terutama pada Ekaristi. Bagi saya, motif terutama adalah kepatuhan pada perintah untuk menjadi satu. Apapun alasan dan kumpulan alasan yang membawa kami pada jalur ini, tujuannya hanyalah satu: yang mana kami merasa berada di rumah sendiri di antara keluarga Allah.

Sukacita bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka yang melakukan perjalanan menuju Gereja Katolik. Tetapi ketika sampai pada tujuan, saya mendapatkan suatu kualitas sukacita yang telah diperkaya. Rasa sukacita ditaruh dalam suatu dimensi yang baru. Dimensi yang baru ini datang langsung dari rekonsiliasi dengan Gereja. Ini adalah beberapa perspektif tentang sukacita Kristiani seperti yang telah saya alami dalam hidup saya. Lalu saya ingin menunjukkan mengapa sukacita itu telah menjadi sempurna.

Ada sukacita dalam rasa terima kasih, suatu kapasitas untuk menerima suatu pemberian. Rasa terimakasih adalah fondasi suatu perkawinan yang bahagia. Saya dan istri saya telah belajar sejak semula untuk saling menerima satu sama lain sebagai karunia dari Allah. Perkawinan kami selama 34 tahun telah ditandai dengan rasa terkesima, suatu rasa percaya bahwa Allah telah sangat bermurah hati kepada kami.

Ada sukacita dalam melayani. Pemahaman ini datang pada saya melalui ribuan jam sebagai sukarelawan mobil ambulan. Kelompok yang beranggotakan 40 orang ini bangga dalam melayani masyarakat. Kami terus menerus dilatih supaya kami bisa melayani lebih baik lagi. Bagi saya, sumber inspirasi adalah Mother Theresa, yang menemani orang-orang yang paling membutuhkan, dan melayani setiap orang seolah-olah setiap orang itu adalah Yesus sendiri. Memantau tanda-tanda vital seseorang pasien yang mengalami serangan jantung, berbicara lembut kepada seorang anak kecil yang sangat ketakutan setelah ditabrak mobil, dengan cekatan membalut, merawat, mendengarkan, melihat .. kadang kala kami bisa melihat rasa takut yang memudar dan digantikan oleh rasa damai meskipun di tengah-tengah rasa sakit.

Entah bagaimana di tahun-tahun awal saya terdorong untuk membaca buku Praktek Kehadiran Allah, buku klasik yang dipenuhi dengan pemahaman bruder Lawrence. Dalam memahami spiritualismenya, saya mulai belajar merasakan sukacita kehadiran Allah. Allah tidak terikat di lingkungan gereja. Allah secara aktif terlibat di pasar, di manajemen, lewat komputer, dan segala keterlibatan dalam segala hal dengan orang-orang lain. Allah datang pada kita dengan solusi yang kreatif terhadap persoalan-persoalan, dalam kekuatan untuk melakukan apa yang benar dan dalam berhadapan dengan hal yang salah, dalam orang-orang yang dipenuhi oleh Kristus, dan bahkan ditengah-tengah kesulitan yang terbesar sekalipun. Allah ada disana. Kita hanya perlu melihat dan mendengarkan. Dalam menemukan Dia, selalu ada sukacita.

Sukacita adalah bagian yang normal dari pengalaman hidup Kristiani, hasil dari pilihan kita. Sukacita tidak tergantung apakah kita adalah Presbiterian, Metodis atau Katolik. Tetapi saya menemukan bahwa sukacita itu sekarang menjadi lebih dalam dan diperkaya setelah saya dan istri saya menjadi bagian dari keluarga Allah yang utuh. Perayaan persatuan Tubuh Kristus menambah suatu dimensi baru pada sukacita.

Mengapa sukacita yang lebih besar ini? Karena saya tidak harus menimbang-nimbang atas keputusan Gereja Katolik, Kitab Suci, atau bahkan diri saya sendiri. Bukan tugas saya. Berjuta-juta orang selama periode dua ribu tahun telah merefleksikan iman kita yang kudus. Mestikah saya menambahkan paduan pemahaman mereka seperti telah disampaikan kepada kita lewat Magisterium Gereja? Mestikah saya menaruh sekian puluh tahun melawan berjuta-juta orang dan tahun? Tidak!

Sungguh tidak! Saya terlalu sibuk merayakan. Dan Misa harian adalah pusat perayaan itu. Saya dikelilingi oleh orang-orang baik. Saya bersama-sama mereka berkata: "Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya. Tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh." Dan nantinya dalam perayaan itu, rasa terkesima, masih baru setiap kalinya: "Inilah Tubuh-Ku....bagimu." Bagi saya? Ya, bagimu. Tidak ada simbol. Sekarang adalah realitas. Realitas yang agung dan membuat rendah hati karena boleh menjadi bagian dari Gereja-Nya dan karena menerima hidup-Nya hari demi hari. "Ambil...dan makanlah."

Apakah sulit untuk dapat masuk ke Gereja Katolik ? Ya, saya tidak bisa dengan ringan mengenyampingkan pelayanan saya sebagai wakil dari Gereja Presbiterian di Kanada dan dari banyak orang lain disana yang saya kasihi selama ini. Akan tetapi panggilan untuk menjadi satu dan kepada Ekaristi secara bertahap lebih memberatkan ketimbang pelayanan yang bisa saya berikan kepada mereka.

Proses perjalanan saya ke Gereja Katolik sangat publik - foto saya bersama Paus Yohanes Paulus II muncul di sampul muka majalah denominasi Presbiterian. Pres sekuler ikut-ikutan meramaikan saran yang muncul dari kaum fanatik soal pengadilan bidaah (terhadap saya). "Apakah sang Pelayan Sidang tidak tahu bahwa Sri Paus adalah Anti-Kristus?" Hingga kini masih ada kaum Presbiterian yang suka memperdebatkan keputusan yang saya telah ambil; Mungkin di surga kita nanti punya waktu (kalaupun topiknya masih relevan disana). Tetapi pada umumnya telah timbul rasa pengertian, sikap menerima. Khotbah selamat tinggal saya pada Sidang Umum 1992 diterima secara baik-baik.

Apakah ada rasa penyesalan dalam diri saya ? Tidak sama sekali. Semoga anda juga banyak diberkati seperti saya dan istri. Hidup ini digenapi. Dalam kerja saya yang baru, berbagi pengalaman hidup Kristus dengan mahasiswa jurusan bisnis di Universitas Fransiskan, saya menemukan sukacita yang tak terukur. Ada rasa terkesima karena telah tiba di rumah dan dalam kedamaian.

Bagi saudara-saudari non-Katolik yang mengasihi Kristus dan sedang menimbang-nimbang untuk menjadi Katolik, pesan saya mudah saja: "Ayo masuk...airnya tenang." Ini adalah tempat persatuan dengan seluruh bagian Tubuh Kristus. Inilah tempat perayaan kita. Inilah sukacita.

Sumber: buku Journey Home, oleh Marcus Grodi
Alihbahasa oleh Jeffry Komala

Read more .....