1/14/2015

MISTERI DAMSYIK

Marilah kita melihat bagaimana Rasul Paulus sendiri melukiskan kejadian di Damsyik. Yang mengherankan kita pertama-tama ialah, bahwa ia melukiskannya sedikit saja. Kejadian yang memang mendasar baginya dan yang diolahnya dalam semua suratnya seakan-akan tidak ia bicarakan. Itu memang suatu kejadian yang di saat kematiannya diingatnya dengan jelas. Meskipun begitu, ia hampir tidak pernah membicarakannya secara langsung, padahal ia termasuk orang yang banyak bicara tentang riwayat hidupnya.

Manakah teks yang membicarakan hal itu ?
Di antara surat-surat besar, satu-satunya teks dasar yang melukiskan pertemuan di Damsyik adalah surat kepada jemaat di Galatia : “Tetapi waktu Ia yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi...” (Gal 1:15-16). Ada empat kata kerja yang dipakai untuk membicarakannya : memilih aku... memanggil aku... berkenan menyatakan... supaya aku memberitakan. Di antara keempatnya itu hanya yang ketiga saja menunjuk secara langsung pada pertobatan. Lain-lainnya menempatkan pertobatan dalam rangka penyelenggaraan Ilahi : memilih aku, berkenan, artinya berkeputusan, berkemauan menyatakan kepadaku. Jadi pengalaman tersebut dilukiskan pada hakikatnya sebagai pernyataan Anak kepadanya (menurut teks Yunani : “dalam” dia) dan sebagai perutusan.
Dalam suatu kalimat di surat kepada jemaat di Roma, Paulus mengalihkan hal yang dialaminya sendiri ke lingkup lukisan yang berlaku secara umum : “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” (Rm 8:29-30).
Dalam surat pertama kepada jemaat di Korintus, ada singgungan singkat sekali dalam suatu konteks polemik. “Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas? Bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan kita?” (1 Kor 9:1) .Kejadian di Damsyik dilukiskan sebagai “melihat Tuhan”. Lebih lanjut dalam surat yang sama ia menulis, “Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya. Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah.” (1 Kor 15:8-9). Oleh Paulus yang tadinya menganiaya jemaat, kejadian di Damsyik dilukiskan sebagai penampakan “kepadaku yang paling hina”. Memang ada pertobatan moral, tetapi kejadiannya ialah : Yesus menampakkan Diri.
Masih ada nas lain yang penting, meskipun tidak membicarakan kejadiannya, nas itu melukiskan cara Paulus menghayatinya. “Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat. Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan. (Flp 3:4-9).
Keadaan sebelumnya dan keadaan sesudahnya dilukiskan sebagai milik dan kemiskinan, Kristus dilihat sebagai milik baru. Tetapi lukisan tentang semua yang dimilikinya sebelumnya mengajak kita berpikir. Dalam surat kepada umat di Korintus ia menulis, “Aku yang paling hina” (menurut bahasa kita, itu berarti “aku orang berdosa”). Sekarang ia melihat dirinya sebagai orang yang “dalam mentaati hukum Taurat......tidak bercacat.” (Flp 3:6). Jadi tidaklah mudah untuk menggunakan pengertian “orang berdosa” atau “pemfitnah” bila kita bicara tentang Paulus.
Jika ia tidak bercacat, lalu apanya yang berubah ? “Apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus.” (Flp 3:7). Dalam diri Paulus terjadi perubahan mutlak dalam cara menilai seluruh dunianya. Yang tadinya dianggapnya penting, sekarang menjadi nol dan tidak penting sama sekali. Yang tadinya tak mungkin dilepaskannya, sekarang menjadi sampah, sebab pengenalan akan Kristus mendapatkan prioritas mutlak dan mampu memenuhi segalanya. Pertemuan dengan Kristus, pengenalan akan Kristus dan kepenuhan Kristus mengubah sama sekali cara penilaiannya.
Teks lain juga penting, Sebab Allah yang telah berfirman: "Dari dalam gelap akan terbit terang!", Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus. (2 Kor 4:6). Sebenarnya kalimat itu diberlakukan bagi tiap rasul, tetapi kalau diterapkan pada pertobatan Paulus, kalimat itu mempunyai suatu kekuatan khusus. Allah pencinta bercahaya dalam hatinya dan meneranginya untuk membuatnya memahami kekayaan Kristus, kehidupan-Nya.
Kalimat terakhir di bawah ini memang merupakan suatu kalimat yang paling mudah mengundang kita untuk menafsirkan pertobatan Paulus secara moral. Tidaklah tepat jika kita mengesampingkannya, meskipun dari segi bahasa ada berbagai problem. “Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku -- aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas.” (1 Tim 1:12-13a).
Kalau begitu, apakah tadinya ia seorang penghujat dan seorang yang ganas ? Ia seorang yang tak bercacat, seperti ditulisnya kepada umat di Filipi, ataukah seorang berdosa, juga secara moral ?
Ia melanjutkan, “tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman. Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Perkataan ini benar dan patut diterima sepenuhnya: "Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa," dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Tetapi justru karena itu aku dikasihani, agar dalam diriku ini, sebagai orang yang paling berdosa, Yesus Kristus menunjukkan seluruh kesabaran-Nya. Dengan demikian aku menjadi contoh bagi mereka yang kemudian percaya kepada-Nya dan mendapat hidup yang kekal. (1 Tim 1:13b-16). Jelaslah bahwa pertobatan tersebut memang suatu misteri yang amat kaya yang seluruhnya tidak terpahami.
Jadi, kejadian di Damsyik adalah jauh lebih kompleks dari pada suatu pertobatan moral belaka atau suatu perubahan mentalitas melulu. Kejadian itu demikian kaya, sehingga kita harus mendekatinya dangan rendah hati dan penuh hormat, karena kita yakin, bahwa kita hanya memahaminya sedikit saja, kita hanya mengertinya sedikit saja, tetapi kita akan dapat mengetahuinya jauh lebih banyak berkat rahmat Allah. Kalau begitu, kita juga akan lebih memahami diri kita sendiri, perjalanan hidup kita dan pertobatan kita.
Sekarang pertanyaan bagi kita, dengan mengajukan suatu pertanyaan mendasar yang sejalan dengan renungan kita : kapankah aku sendiri bertobat ?
Adakah dalam hidupku suatu “saat” pertobatan yang dapat kupandang sebagai suatu saat bersejarah ? Kalaupun tidak ada suatu “saat” dalam waktu, tentunya telah kualami sata-saat perubahan, pergolakan, krisis, yang membawa aku ke permahaman baru akan misteri Allah.
Jika kita tidak pernah menyadari sampai mendasar perubahan mentalitas yang sungguh hakiki bagi hidup kristen itu, sesungguhnya kita belum menangkap apa sebenarnya kebaharuan perjalanan kristen itu, yaitu kembali mengambil arah yang bertolak belakang.
Jika aku tidak mengerti baik hal-hal yang dikatakan tentang Paulus, barangkali aku juga sulit memahami apa yang terjadi dalam diriku. Kalau begitu, aku harus mempercayakan diriku kepada Allah melalui doa sebagai berikut :
“Tuhan, buatlah aku mengenal jalan-Mu. Semoga, seperti dikatakan oleh Yeremia, aku dapat menaruh tonggak-tonggak di masa lampauku. ‘Lihatlah kembali masa lampau, tempatkanlah tonggak-tonggak penunjuk’. Tolonglah aku memahami tahap-tahap rencana-Mu, saat-saat terang dan saat-saat gelap, saat-saat cobaan, bahkan sampai pada batas ketahananku. Perkenankan daku mengetahui pada titik mana aku berada dalam perjalanan itu, dan di mana seharusnya aku berada. Aku mohon ini demi Kristus Tuhan kami. Amin.
(“Le Confessioni di Paulo”, karya Kardinal Mgr. Carlo Maria Martini, Uskup Agung Milano – Kesaksian Santo Paulus, diterjemahkan oleh Frans Harjawiyata OSCO)

 - Kasih Yesus

Tidak ada komentar: