Kekecilan, kedinaan, minoritas, semua punya hubungan erat dengan ketelanjangan. Paling tidak itulah yang tampak dalam hidup Fransiskus. Orang kudus itu suka main telanjang-talanjangan. Pada awal peristiwa pertobatannya yang menghebohkan ialah soal telanjang-telanjangan itu. Di depan Uskup Asisi, Bapak Pietro Bernardone menuntut agar anaknya mengembalikan harta miliknya yang diboroskan untuk orang miskin.
Tanpa banyak bicara, Fransiskus maju ke depan, lalu ia menanggalkan semua pakaiannya dan mengembalikannya kepada bapanya. Ia berdiri telanjang di depan semua orang. Uskup lalu merangkulnya dan menutupi tubuhnya dengan mantel yang dipakainya sendiri. “Tindakan itu mengandung misteri”, pikir Uskup. Fransiskus merasa bebas dari segalanya, juga dari Bapak Pietro Bernardone. Ia berdiri polos di hadapan Bapa Surgawi dan ia merasa cukup begitu. Semua bisa diurus Bapa di surga. “mulai sekarang aku dengan leluasa dapat berkata ‘Bapa kami yang ada di surga’, bukan ‘bapak Pietro Bernadone...’ aku mau melangkah telanjang menuju Tuhan.”
Peristiwa itu ternyata bukan hanya satu kejadian sesaat, tetapi langkah awal satu pgrogram hidup. Karena itu, Uskup merasa bahwa tindakan orang muda itu mengandung misteri.
Pada akhir hidupnya, ketika “Saudara Keledai” (yaitu tubuhnya) sudah kehabisan tenaga, Fransiskus masih dua kali bermain telanjang-telanjangan. Waktu itu, dia merasa makin bebas, makin lepas dari dunia ini. Ia mau mengungkapkan itu dengan tubuhnya, ia minta dibaringkan, telanjang, di tanah yang telanjang, karena katanya pada saat-saat terakhir itu, ia tetap mau bergulat dengan musuh bebuyutannya, yaitu si setan atau si ular yang selalu takut pada keluhuran kemiskinan dan tidak mau berkawan dengan orang-orang miskin. Ketelanjangan menjadi ungkapan kemiskinan luhur yang pasti membuat si musuh itu lari terbiri-birit.
Dua hari kemudian ia berpesan lagi kepada saudara-saudaranya demikian : Bila kamu melihat saat akhirku sudah tiba, baringkanlah aku, telanjang, di atas tanah, seperti kamu lihat kemarin dulu. Biarkanlah aku berbaring demikian sesudah kematianku, selama rentang waktu yang diperlukan orang untuk berjalan dengan santai sejauh satu mil. Program hidupnya dilaksanakan hingga akhir, sebagai orang telanjang ia mau melangkah menuju Tuhan.
Tidak hanya pada awal dan akhir Fransiskus mau menelanjangi diri. Ada banyak peristiwa lain dalam hidupnya di mana ia main telanjang-telanjangan. Ia pernah berkhotbah di depan umat dengan pakaian minim. Untuk mengalahkan godaan, ia pernah menanggalkan pakaiannya dan “menyerbu” masuk ke semak berduri, yang tentu saja melukainya. Pada kesempatan lain, waktu tergoda untuk berkeluarga, ia juga menanggalkan pakaiannya lalu merebahkan diri dalam salju yang tebal. Kemudian, ia membuat orang-orangan dari salju : satu istri, empat anak, dan dua pembantu. Lalu katanya kepada dirinya, “Berikanlah pakaian kepada mereka semua agar tidak mati kedinginan. Kalau ternyata hal itu saja sudah merepotkan dirimu, berusahalah melayani Allah saja.” dan setanpun lari.
Semua hal itu diceritakan dengan wajar saja, rupanya tidak ada pikiran bahwa bertelanjang badan bisa porno dan membahayakan kemurnian. Malahan waktu ada godaan kontra kemurnian, Fransiskus justru memeranginya dengan main telanjang. Seluruh hidupnya seperti satu rangkaian “tari telanjang”. Ia mau tetap kecil, mau terus menjadi sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, ia terus menari di hadapan Tuhan sambil terus menerus menanggalkan lapisan-lapisan yang membungkus dirinya, sampai akhirnya ia berdiri telanjang dan polos di hadapan Bapa Surgawi, tidak munafik, tidak berpura-pura, sederhana, ya TELANJANG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar