6/27/2008

Imam Yang Tunggal Dan Satu-Satunya

Kitab Ibrani bab 8 meyakinkan orang, bahwa Yesus telah menggantikan imam-imam umat Allah, dan bahwa dengan “imamatnya” ini hubungan kita dengan Allah diubah. Kitab Ibrani Bab 9 membandingkan kultus yang dirayakan dalam kenisah Yerusalem dengan kultus baru yang dirayakan oleh Kristus-Imam.
Korban yang dipersembahkan oleh Kristus, kematian-Nya, tidak sama dengan kurban-kurban lama untuk menenangkan murka Allah. Kematian-Nya merupakan kesaksian final dan cara Ia menaburkan di antara umat manusia apa yang tidak mau mereka terima, dengan kesaksian ini, Ia menyerahkan diri-Nya ke dalam tangan Bapa.
Dengan mengetahui siapa pengarang surat ini (kitab Ibrani) dan kepada siapa surat ini dialamatkan, kita mengerti bahwa ia menghubungkan “darah” Yesus dan kematian-Nya dengan darah kurban yang dipersembahkan dalam kenisah, karena bagi sidang pembaca waktu itu kurban-kurban ini sangat penting, tetapi sekarang kita mempunyai hak untuk menghubungkan darah dan kematian Kristus dengan kematian orang-orang tidak bersalah yang terbunuh (supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah - Mat 23, 35) dan darah mereka yang suci.
Yesus adalah imam yang unik, dan kita berbicara tentang imam-imam dalam Gereja. Marilah kita melihat segala sesuatu secara jelas, khususnya ketika imamat, hampir di mana-mana berada dalam krisis.“sacerdos” yang berarti baik imam yang melayani dewa-dewa Romawi maupun imam-imam bangsa Yahudi. Ketika Gereja mulai terbentuk, tidak sesaatpun kita berpikir tentang imam semacam ini, yaitu orang-orang suci yang mempunyai hak istimewa mendekati Allah untuk membawa kurban.
Kristus sendiri adalah “sacerdos” dan semua yang dimiliki Gereja adalah “presbyter” yang berarti kaum tua-tua, gelar yang sama yang dipergunakan bangsa Yahudi untuk mereka yang bertanggung jawab atas umat. Sementara seorang “presbyter” telah menjadi imam, suatu sebutan yang menghidupkan kembali makna istilah kuno “sacerdos” yang sebetulnya sudah dibuang.
Ini bukan suatu kebetulan, sejak abad keempat Gereja telah mengadopsi istilah “sacerdos” untuk dikenakan kepada orang-orang yang terpilih dari antara orang suci dan ditahbiskan. Mengapa ada langkah mundur ? Salah satu sebabnya yaitu karena waktu telah berubah, Gereja Katakombe telah berkembang menjadi Gereja Kristen yang diakui oleh pemerintah, dengan populasi orang Kristen yang terbagi dalam kelompok-kelompok seperti yang diasuh oleh organisasi “klerus”
Tetapi ada juga alasan-alasan mendalam lainnya, kita tahu bahwa Gereja bukanlah suatu masyarakat manusiawi belaka dan bahwa organisasinya harus mencerminkan tata aturan yang berlaku dalam Allah. Dengan demikian para uskup harus mengejewantahkan kewenangan para rasul yang dipilih oleh Yesus. Mereka pada gilirannya merupakan saksi-saksi resmi Kristus dan memimpin Gereja tanpa harus “tunduk kepada kehendak mayoritas”, dengan demikian mereka tetap mempertahankan di dalam Gereja prinsip kebapakan (Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya. - Ef 3, 14-15).
Selain itu Gereja memandang tahbisan imam dan uskup sebagai sakramen, mereka bukanlah fungsionaris yang menjalankan tugas untuk masa jabatan tertentu, tetapi mengembannya seumur hidup, seperti yang kiranya tercermin dalam kata “pelayan”. Tanggung jawab mereka kepada Kristus dan persembahan diri mereka kepada pribadi Kristus.
“Pelayan-pelayan” pengganti para rasul adalah imam dalam arti tertentu, tetapi sulit mengawinkan dua istilah yang tampaknya sangat bertentangan ini. Penting bagi mereka untuk memiliki kewenangan rohani tetapi tidak mentolerir tanda-tanda lahiriah yang ditolak baik oleh Yesus maupun oleh para rasul. Dalam mengambil keputusan, mereka harus tetap waspada untuk tudak membiarkan kewenangan mereka yang diakui orang itu terpengaruh oleh pertimbangan kepentingan manusiawi kita. Juga keputusan yang diambil tidak boleh didasarkan atas pertimbangan, sekadar lain dari yang lain atau untuk dilayani orang lain. Mereka harus menjadi “panutan” iman, tetapi tidak mengambil keputusan untuk orang lain, menjadi pemimpin tetapi tidak berkewajiban menjadi perantara antara Allah dan orang yang dibaptis.
Semua yang kelihatan tidak mungkin ini, hanya mungkin terjadi dengan satu syarat, meneladani Kristus, yaitu menyangkal diri bahkan sampai mati.

Tidak ada komentar: