7/24/2008

BINATANG KONTEMPLATIF

Babi biasanya hidup terkurung di dalam kandang (kecuali di Irian, Flores dan Tapanuli Utara). Namun, ia kiranya tidak menjalankan hidup kontemplatif, sebab di dalam pagar itu ia hanya makan. Apa saja dilahapnya sampai tandas. Kalau kekenyangan, ia memang hening juga, tidak untuk bermeditasi, tetapi hanya tengkurap bermalas-malasan.

Anjing punya lebih banyak kelebihan, dia tidak hanya tahu makan, dia bisa menjadi teman manusia. Ia tahu bermain-main dan tahu memberi selamat datang dengan melolong, melompat dan melambaikan ekornya. Akan tetapi dia juga bukan binatang kontemplatif.

Pernah ada suster Klaris (kontemplatif) memaksa anjingnya untuk hidup dalam kerangkeng serupa dengan pagar biara kontemplatif mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak berhasil membuat anjing itu hidup bahagia dalam keheningan ketemplatif, anjing malahan frustasi karena terkurung terus dan akhirnya mati.

Mungkin kucing lebih pantas disebut binatang kontemplatif, ia tenang, suka tinggal dalam rumah, gerak geriknya halus dan terukur sesuai dengan tata aturan hidup sejumlah rubiah kontemplatif. Suaranya bisa lembut memelas, seperti koor para Klaris kontemplatif bila sedang membawakan Mazmur 142. Dilihat dari cara membawa diri secara lahiriah, kucing rupanya punya banyak bakat kontemplatif. Namun, sebenarnya ia pemain sandiwara yang genial, ia halus, sopan dan tenang, tetapi begitu ada kesempatan, ia loncat ke atas meja makan, tanpa membikin ribut dan mencuri apa saja yang paling enak. Tingkahnya yang halus dan suaranya yang memelas lebih untuk menarik perhatian dan mohon belas kasihan untuk dirinya sendiri, ia sendiri tidak akan menyumbangkan satu kepala ikan kepada anjing secara cuma-cuma.

Ayam mempunyai variasi bakat yang lebih besar, ia bisa duduk sepanjang hari dalam kandang, ia bisa juga jalan-jalan atau bermain kejar-kejaran dengan temannya di tanah atau di dahan-dahan pohon. Yang betina berkotek mewartakan keajaiban Tuhan setiap ia berhasil mengeluarkan sebutir telur, yang jantan menyanyikan semua mazmur ibadat fajar, ia tidak mau hanya membacanya dengan irama kilat khusus atau sambil tidur-tiduran, ia bermazmur membangunkan fajar, sementara para biarawan masih mendengkur di alam mimpi. Kalau seekor ayam minum, setelah tiap teguk ia menengadah ke langit untuk memuji dan mengucapkan syukur kepada Yang Mahabaik atas Saudari Air yang menghilangkan dahaga. Akan tetapi ayam jelas bukan spesialis untuk gaya hidup kontemplatif, ia memilih gaya hidup campuran, “Vita Mixta” kata orang-orang tua. Ia menampilkan gambaran ideal yang diimpikan pimpinan Fransiskan dewasa ini : bisa berkumpul menyanyikan Mazmur bersama-sama, bisa hidup di pertapaan jauh dari keramaian dunia, bisa juga menyusup masuk di tengah masyarakat ramai, pokoknya dalam segalanya, juga untuk seteguk air tetap memuji dan memuliakan Tuhan Allah melampaui segala-galanya.

Akhirnya SAPI, ia binatang kontemplatif sejati, Ia suka di kandang, kalau keluar merumput ia tetap tidak cepat pindah tempat.

Pandangan matanya tenang, redup, tak membelalak, tak berkedip. Tampaknya seperti terus menerus sedang merenungi sesuatu yang jauh dan dalam sekali.

Setiap helai rumput yang dimakannya, betul-betul dinikmatinya sebagai anugerah yang amat berharga. Ia mengunyahnya perlahan-lahan, menyimpannya untuk sementara dalam kantong cairan pelumas, lalu ia memamahnya lagi perlahan-lahan sambil tidur-tiduran dan merenung dalam-dalam. Hasilnya mengagumkan, rumput hijau berubah menjadi susu putih yang disumbangkannya untuk kesejahteraan umat manusia. Orang India begitu terkesan dengan binatang kontemplatif ini dan menyeganinya sebagai mahluk yang suci.

Biarawan kontemplatif belajar banyak dari sapi, Lectio Divina misalnya, salah satu acara pokok dalam hidup membiara, dipelajarinya dari sapi. Si kontemplatif adalah sapi, Firman Tuhan itu rumputnya. Firman itu dibaca, dikunyah perlahan-lahan, ditelan, dikunyah kembali perlahan-lahan sambil merenung dalam-dalam, asal tidak tertidur, hasilnya adalah, firman itu menjadi daging dan darah si biarawan kontemplatif. Ia hidup dari firman Tuhan dan tanpa firman itu, ia tidak bisa hidup (Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." Mat 4: 4), karena Firman itu adalah Allah (Yoh 1:1)

Sapi, binatang kontemplatif itu, mengajar kita bahwa hidup kontemplatif, tidak berarti sekedar hidup tersembunyi di balik tirai tembok, tetapi hidup yang tak henti-hentinya memamah firman Tuhan hingga menjadi darah dagingnya sendiri.

(Kuntum-Kuntum Kecil, Butir-Butir Permenungan Saudara Kelana)

Tidak ada komentar: