11/12/2008

DOSA STRUKTURAL

Memang begitulah keadaan manusia dalam sejarah yang sesungguhnya, karena kerasnya hidup, dalam kenyataannya manusia terikat dalam dirinya sendiri. Tanpa menghendakinya, ia menjadi serakah, tidak adil, ia membela hartanya sendiri secara mati-matian. Tentu saja hal itu tidak hanya dihasilkan oleh kejahatan perorangan, tetapi juga disebabkan oleh keadaan budayanya dalam arti luas, oleh keadaan sosial manusia dalam sejarah.

Itu merupakan dosa yang terjalin dalam sistem kehidupan, dalam mentalitas, dalam ide-ide yang diterima, yaitu : cara berada dan cara hidup yang oleh Kitab Suci disebut “dunia” dalam arti negatif, dimana di balik kata-kata yang bagus, orang mengutamakan kepentingan sendiri, merasa perlu menguasai orang lain, membalas dan memerangi supaya tidak harus mengalah. Keadaan konflik itu memang tidak kita pilih, namun kenyataannya kita tidak dapat menghindarinya.

Keadaan manusia yang oleh Paulus sendiri dilukiskan secara amat dramatis memang benar. Kalau kita memperhatikannya baik-baik, kita melihat bahwa kita sendiripun berada dalam keadaan seperti itu. Banyak ide yang kita terima seperti dengan sendirinya sebenarnya dihasilkan oleh mentalitas seperti itu, demikianpun banyak pilihan yang kita adakan secara naluri yang sebenarnya dipengaruhi oleh mentalitas tersebut. Kalau kita menyelidiki sejarah masa lampau, kita menjadi heran akan adanya beberapa pilihan, juga dalam sejarah Gereja, misalnya penyiksaan dan peperangan. Kita harus memahami, bahwa orang-orang itu hidup menurut ide-ide yang mereka terima. Bagi mereka tidaklah mungkin untuk melepaskan diri dari mentalitas tertentu yang dapat membawa mereka kepada tindakan tidak adil. Memang sudah termasuk bagian perjalanan manusia dalam sejarah bahwa ia hidup terikat oleh mentalitas zamannya dan mengadakan pilihan-pilihan yang tak disengaja, yang sesudah satu dua abad tampaknya keliru, namun sekarang kita melakukannya secara naluri.

Paulus mencela dosa sturktural, yaitu dosa yang terjalin dalam kehidupan sosial, ekonomi dan mentalitas. Itu memang termasuk salah satu segi kenyataan, namun meskipun mencelanya, Paulus juga menegaskan, bahwa di dalam lubuk hati manusia juga ada mentalitas yang bertolak belakang, yaitu keterbukaan kepada Allah.

Sebenarnya manusia sudah terbuka kepada Allah sebelum ia menjadi tertutup kepada-Nya, namun dalam kenyataan sejarah, ketertutupan kepada Allah itulah yang tampil dan tampak dalam keadan-keadaan tertentu.

Keselamatan yang diberikan Allah kepada manusia berarti menemukan kembali kemungkinan keterbukaan asali itu dan menghayatinya oleh rahmat dan belas kasihan Allah, di dalam pertemuan dengan Kristus yang sepenuh-penuhnya. Adapun keterbukaan asali itu menciptakan mentalitas akan yang baik dan kebudayaan yang positif.

Manusia tidak dapat mengenal kembali semuanya itu, jika sebelumnya ia tidak menyaksikan yang jahat. Maka pengenalan akan yang jahat itu tidak boleh menjadi sumber pesimisme yang sistematis. Itu memang suatu kenyataan yang menyebabkan kita dapat menilai realitas secara benar.

Uraian tentang dosa struktural dan tentang keterlibatan kita di dalamnya itu dapat diterangkan lebih jelas dengan mengambil suatu contoh dari hidup Yesus. Ketika Yesus berada di Betania, di rumah Simon si kusta, dan sedang duduk makan, datanglah seorang perempuan membawa suatu buli-buli pualam berisi minyak narwastu murni yang mahal harganya. Setelah dipecahkannya leher buli-buli itu, dicurahkannya minyak itu ke atas kepala Yesus. Ada orang yang menjadi gusar dan berkata seorang kepada yang lain: "Untuk apa pemborosan minyak narwastu ini? Sebab minyak ini dapat dijual tiga ratus dinar lebih dan uangnya dapat diberikan kepada orang-orang miskin." Lalu mereka memarahi perempuan itu. Tetapi Yesus berkata: "Biarkanlah dia. Mengapa kamu menyusahkan dia? Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku.” (Mrk 14:3-6)

Di sini ada penilaian tentang suatu tindakan tertentu. Yesus dan perempuan itu berada dalam posisi sendirian. Orang yang mengelilingi mereka berdua dipengaruhi oleh pertimbangan naluri dan mempersalahkan tindakan perempuan itu. Mereka tidak mampu memahami tindakan perempuan itu. Di situ terjadi sesuatu yang khas, sesuatu yang dipengaruhi oleh kekuatan mentalitas yang disalurkan oleh yang satu kepada yang lain dan tidak memungkinkan keterbukaan kepada kebenaran suatu tindakan yang mempunyai arti kenabian. Mereka bertindak atas dasar keyakinan umum yang tampaknya sesuai dengan akal sehat. Dengan demikian mereka semua melawan Yesus, Yesus tinggal seorang diri.

Paulus merasa dirinya solider dengan dunia dan menghayati di dalam dirinya mentalitas itu secara nyata sepenuhnya, katanya : “Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?” (Rm 7:24). Dengan kata lain : tak mungkin aku menghindar dari kenyataan ini. Ia segera menambahkan : “Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (Rm 7:25).

Dalam kebutaannya, Rasul menyelam ke dalam kegelapan manusia sampai ke dasarnya, jauh lebih dalam dari pada yang dapat dialami manusia umumnya. Dengan demikian ia dapat memahami kuasa cahaya Kristus dan menyelami kemampuan Kristus untuk membuat kembali suatu dunia baru.

Dengan mengalami kegelapan, ia menangkap kuasa penerangan pembaptisan. Maka dengan suka rela ia mau menerima pembaptisan itu melalui tangan Ananias. Dengan demikian, dalam Gereja dan dari Gereja, ia menerima kuasa keselamatan.

Ensiklik Dives in misericordia (kaya dalam belas kasih) berbicara tentang ketidak-senangan dan tentang sumber ketidak-senangan itu begini : “Tentu saja di dasar ekonomi dewasa ini dan kebudayaan materialis ada suatu kesalahan dasar, atau lebih tepat suatu kompleks berbagai kesalahan, yaitu suatu mekanisme yang salah. Kebudayaan materialis itu tidak memungkinkan keluarga umat manusia melepaskan diri dari keadaan yang jelas-jelas tidak adil itu.” (No.11). Paus menerapkan pada keluarga umat manusia ketidak-mampuan yang oleh Paulus diterapkan pada manusia : aku melihat, aku menghendaki, tetapi aku tidak bisa. Dengan demikian realitas dosa struktural yang dialami oleh manusia di dalam dasar dirinya sendiri diperluas ke struktur umat manusia pada umumnya.

(Le Confessioni di Paulo, oleh Mgr.Carlo Maria Martini, Uskup Agung Milano, diterjemahkan oleh : Frans Harjawiyata OSCO)

Tidak ada komentar: