8/12/2010

SANTA CLARA

Setiap tanggal 11 Agustus gereja sejagat memperingati pesta seorang kudus pencinta kaum miskin, dialah Santa Clara.
Minggu Palma 27 Maret 1211, Clara bersama dengan gadis-gadis lain dan wanita-wanita Asisi berada di Katedral, Gereja San Rufino, di mana Uskup akan memimpin upacara Perayaan pada hari itu.

Setelah bacaan, Kidung dan pemberkatan, Uskup mulai dengan pembagian palma, mula-mula kepada para rohaniawan, kemudian kepada umat yang sambil berlutut menerima daun palma dari Uskup sambil mencium tangan Uskup. Gadis-gadis adalah yang paling akhir maju ke depan dengan sopan dan khidmat untuk menerima daun palma.
Ketika tiba giliran Clara, ia tidak bergerak, ia tetap duduk dengan kepalanya tertunduk, kemudian Uskup mengarahkan pandangannya kepada Clara, tetapi Clara tidak melihatnya. Umatpun mengikuti pandangan Uskup, mereka sedikit keheranan dan jengkel. Akhirnya Uskup bangkit dari atas kursinya, turun dari panti imam menuju Clara yang tetap tidak bergerak. Ia memberikan daun palma kepadanya dan memberkatinya, sementara seluruh isi gereja mengikuti kejadian itu dengan keheran-heranan. Setelah itu Uskup kembali ke altar, Uskup melanjutkan upacara, Clara tetap duduk di kursinya dengan daun palma pada dadanya, menatap ke atas, tenggelam dalam semacam pesona.
Santa Clara adalah seorang gadis Italia yang berasal dari keluarga bangsawan. Ketika pada suatu kesempatan ia mendengar kotbah santo Fransiskus Asisi, ia merasakan suatu getaran istimewa dalam bathinnya untuk mengikuti Yesus secara istimewa dengan meneladani cara hidup Fransiskus dalam kesederhanaan dan kemiskinan.
Pintu Kematian
Hampir semua rumah di Asisi mempunyai pintu keluar ke jalan dengan tangga. Pintu yang biasa adalah dengan anak tangga yang rata-rata lebar, sedangkan pintu yang lain adalah lebih kecil dan sempit dengan anak tangga yang agak tinggi, kedua pintu itu berdekatan, tetapi tidak setangkup di dinding karena berbeda bentuk dan letaknya.
Pintu yang sempit itu dinamakan “Pintu Kematian”, karena hanya dibuka hanya untuk mengangkut jenazah keluar dari rumah dengan kaki lebih dahulu. Siapa yang keluar melalui pintu itu, tidak pernah akan kembali lagi. Sesuai dengan adat istiadat zaman itu, yang sudah barang tentu berdasarkan tahyul, maka dipandang tidak pantas untuk seorang yang mati diangkut dari rumah melalui dari pintu yang biasa dipakai untuk orang-orang yang masih hidup, di lain pihak tidak ada satupun orang hidup pernah menggunakan “pintu kematian” itu.
Nah, pada Minggu Palma malam itulah, ketika semua penghuni rumah tidur nyenyak, Clara keluar dari kamarnya dan berjalan sambil berjingkat dengan mengangkat tumitnya menuju “pintu kematian” itu. Ia ingin pergi dengan diam-diam.
Di depan pintu itu didapatkannya penuh dengan timbunan barang-barang rongsokan dan barang bekas, lalu timbunan itu dengan pelan-pelan dan hati-hati disingkirkannya. Namun pasak-pasak penutup pintu agak susah dibuka, karena sejak ayahnya meninggal dan jenazahnya diusung keluar, pintu itu tidak pernah dibuka lagi. Clara berlutut dengan tangannya pada pasak bawah dan kemudian dia berdoa sejenak, lalu ia berdiri lagi diperkuat oleh kemauan kerasnya untuk pergi, akhirnya pintunya sedikit demi sedikit terbuka.
Di bawah sana ada jalan yang disinari rembulan, dan di salah satu sudut, yang terlindung dalam kegelapan, sudah menunggu teman karibnya, Pacifica Di Guefuccio. Clara beristirahat sejenak di dekat pintu, lalu tanpa menoleh ke belakang dan dengan lompatan kecil ia tiba di jalan. Pintu kematian telah dilaluinya, sekarang ia berpisah dari kaum kerabatnya, dan keputusan ini tidak dapat ditarik kembali, Clara seakan-akan sudah hilang dan sudah mati, Clara beralih ke cara hidup yang lain.
Hidup Baru
Sebagaimana Fransiskus yang meninggalkan kegemerlapan harta kekayaannya, Clarapun pada malam itu melarikan diri dari keluarganya dan mempersembahkan dirinya bagi Tuhan dalam sebuah kapela kecil di luar Asisi, yaitu kapela Santa Maria Degli Angeli (Ratu Para Malaikat). Pakaian sulamannya ditanggalkan dan sepatu beludrunya dicopot, lalu ia diberi jubah kasap berwarna coklat yang diikat dengan tali mengelilingi pinggangnya. Dengan berpakaian demikian dan tidak berkasut, Clara dihantar memasuki gereja kecil bergaya gothik itu.
Bagaikan orang yag dihukum mati Clara disuruh berlutut di kaki altar, Fransiskus mengambil gunting dan mendekati Clara menggunting rambutnya, kemudian rambutnya yang segar jatuh di sekitar altar, lalu Fransiskus menaruh di atas kepala yang gundul itu sehelai kain bulu domba yang kasap.
Keluarganya berusaha dengan berbagai cara untuk membujuknya kembali ke tengah mereka, namun usaha mereka tetap saja sia-sia.
Tak berapa lama, adiknya yang kemudian hari juga menjadi seorang kudus, St. Agnes serta beberapa gadis lain, menggabungkan diri untuk menjadi mempelai Yesus Kristus, mengabdikan diri untuk hidup dalam kemiskinan tanpa ketergantungan pada uang dan harta duniawi. Clara serta gadis lainnya itu tak mengenakan sepatu, tidak makan daging serta hidup dalam rumah yang sederhana, menciptakan dan mempertahankan keheningan. Namun demikian mereka semuanya merasa amat berbahagia karena Tuhan ada dan hadir di tengah mereka.
Allah tak hanya ada dan hadir di tengah mereka, tetapi Ia juga bekerja bersama mereka. Suatu saat sekelompok serdadu datang menyerang Asisi dan berencana untuk pertama-tama menghancurkan biara tersebut sebelum menyerang kota. Saat itu, kendatipun sangat lemah karena menderita sakit, Santa Clara membawa serta Sakramen Maha Kudus dan menempatkannya di jendela yang terbuka ke arah lapangan yang dapat dilihat secara jelas oleh para serdadu anti Kristen tersebut. Di sana ia berlutut dan berdoa : “Aku mohon kepada-Mu Ya Tuhan, semoga Engkau berkenan melindungi suster-suster yang papa ini dan jangan Engkau biarkan mereka jatuh ke dalam tangan laskar yang ganas dan kejam itu, aku mohon kepada-Mu Ya Tuhan, supaya Engkau sudi menjagai kota ini dan semua orang baik, yang demi cinta kasih kepada-Mu telah membantu kami dan melengkapi kebutuhan-kebutuhan kami” Dari Monstran perak yang berhiaskan gading itu, terdengar suara merdu seperti seorang kanak-kanak berkata : “Oleh karena cinta kasihmu, maka Aku menjagai kalian dan mereka semua.” Dan pada saat yang sama para serdadu tersebut diliputi ketakutan yang luar biasa dan mereka lari menyelamatkan diri masing-masing. Tuhan sungguh melindungi umat pilihan-Nya.
Santa Clara walau harus menahan penderitaan yang berat untuk jangka waktu yang panjang, namun ia mengatakan bahwa ia sama sekali tak merasa sakit. Ia menemukan kebahagiaan dan kegembiraan dalam melayani Tuhan lewat sesamanya. Suatu hari ia berkata : “Begitu banyak orang mengatakan, bahwa kami amatlah miskin. Namun dapatkah sebongkah hati yang dipenuhi oleh kerahiman Allah yang tak terbatas bisa disebut miskin ?”
Santa Clara ketika berhadapan dengan musuhnya, ia selalu berdoa di depan Sakramen maha kudus. Setiap hari kitapun harus berhadapan dengan musuh iman kita, yaitu setan yang yang berkeliaran bagai singa lapar itu. Di saat yang demikian marilah kita juga berdoa di hadapan Sakramen Maha Kudus : “Tuhan, selamatkanlah aku dari segala musuh yang menyerang jiwa maupun ragaku. Amin”
(Rangkaian Kuntum-Kuntum Kecil Santa Clara – oleh Piero Bargellini)

Tidak ada komentar: