8/03/2009

ORANG KECIL


Para pengikut Il Poverello (Si Miskin Kecil) dari Asisi mungkin merasa diri tergolong orang kecil. Akan tetapi, kalau dengan teliti mengukur diri, ternyata tidak gampang menentukan posisi. Soalnya, memang tergantung pada ukuran yang dipakai.

Orang kecil ada kalau ada orang besar, seperti halnya ‘wong cilik’ dalam masyarakat Jawa ada kalau ada golongan bangsawan dan priyayi. Dalam masyarakat desa di pedalaman tidak ada orang kecil, baru ada kalau ada bangsawan kota datang ke sana, mereka mungkin mulai dimasukkan dalam golongan orang kecil.

Untuk tahu apakah kita ini kecil atau besar, kita perlu menempatkan diri di depan orang lain, entah orang maupun bukan orang. Si pemazmur dalam Mazmur 8, menempatkan diri di tengah alam raya, waktu malam, ketika langit dihiasi bulan dan bintang-bintang, sementara bumi diliputi kesunyian, dan dalam keheningan malam, ia menengadah memandang langit yang megah itu (Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? – Mzm 8:2,4-5). Waktu itu, ia merasa dirinya merinding dan menciut. Heran, kagum, dan mungkin gemetar, sehingga ia bertanya : “Siapakah aku ini ? Apakah manusia sehingga Engkau mengindahkannya ?” Ia menemukan kekecilannya justru di tengah Keagungan Alam.

Pertanyaan yang serupa pernah juga keluar dari mulut Fransiskus. Waktu itu ia berada di Gunung La Verna, di gua baru karang yang kokoh kuat. Fransiskus mengalami dirinya berada di dalam lingkup kebesaran Tuhan dan dengan heran dan kagum, iapun bertanya : “Siapakah Engkau, Tuhan, dan siapakah aku ini ?” Ya, siapakah aku ini ? Fransiskus menemukan jawabannya, “Cacing kecil yang tak berguna”, ia menemukan kekecilannya.

Untuk menemukan diri sebagai orang kecil, ada religius yang memilih tinggal di tengah-tengah orang kecil. Orang kecil, katanya, menjadi guru yang paling baik dalam bidang itu, yaitu hal menjadi orang kecil. Sebaliknya, ada yang justru lebih merasa diri sebagai orang kecil kalau tinggal di tengah-tengah orang-orang besar, yang besar menjadi bahan kontras untuk merasakan kekecilan diri sendiri.

Mana jalan yang lebih efektif ? Tergantung, memakai manusia atau mahluk ciptaan lain sebagai patokan untuk mengukur kekecilan atau kebesaran diri, memang sifatnya amat relatif. Di tengah orang kecil, misalnya, seorang bisa belajar menjadi kecil, tetapi bisa juga sebaliknya. Ia bisa saja bermain jadi orang besar justru karena yang ada di sekitarnya semuanya kecil. Demikian juga, di tengah orang besar, seorang bisa merasa dirinya kecil, tetapi bisa juga sebaliknya. Ia mungkin bisa ketularan, dan ikut-ikutan merasa diri orang besar.

Si Pemazmur yang disebut tadi juga mengalami dua sisi pengalaman itu, sewaktu memandang ke langit yang megah dihiasi bulan dan bintang-bintang, ia merasa diri kecil, tetapi begitu ia kembali menempatkan diri di tengah hewan gembalaannya, ia merasa diri besar, malahan “hampir seperti Allah”.

Dengan membandingkan diri kita dengan manusia atau mahluk lainnya, tidak ada jaminan bahwa kita bisa menentukan kekecilan kita. Mungkin kita memang bisa merendah-rendahkan diri sebagai orang yang rendah hati dengan kata-kata seperti : ‘kami orang kecil saja, kami tak punya arti’ dan sebagainya, tetapi diam-diam, dalam hati, mungkin kita justru sedang mengangkat diri, dan mengharapkan orang lain mengangkat diri kita ke taraf orang besar, alias “kerendahan hati palsu”.

Maka, paling efektir kalau kita mau menempatkan diri di hadapan kebesaran dan keagungan Allah sendiri. Di hadapan Dia , hanya ada satu kemungkinan untuk kita, mengalami diri kita sebagai mahluk yang rapuh, cacing kecil yang tidak berguna. Pengalaman itu menjadi ungkapan iman, kalau selanjutnya, secara sadar dan aktif, kita mau hidup seperti itu, sesuai dengan status kita di hadapan Allah. Sebab, kata si Miskin Kecil dari Asisi, “Seperti apa nilainya seseorang di hadapan Allah, begitulah nilai orang itu dan tidak lebih.”

(Kuntum-Kuntum Kecil, Butir-Butir Permenungan Saudara Kelana)

Tidak ada komentar: