8/06/2009

FERNAND SI PEMBAWA USUNGAN DI LOURDES


Di stasiun kereta apilah untuk pertama kalinya aku melihatnya mendorong pasien dalam kursi rodanya. Aku sempat berpikir apakah Fernand sedang berpura-pura saja. Jika ada seseorang yang membutuhkan sebuah kursi roda, seharusnya Fernandlah orangnya. Fernand berkacamata, dagunya berjanggut, tubuhnya pendek, dan ia pincang. Kakinya bengkok pada tulang keringnya.

Kenyataannya, Fernand tidak memakai kursi roda, dan ia tidak sedang berpura-pura. Dia adalah seorang sukarelawan pembawa usungan Notre Dame de Lourdes bersetifikat, bahkan dia adalah salah satu yang terbaik.

Aku mengamatinya saat ia sedang melakukan tugasnya dan terkagum-kagum dibuatnya. Bagaimana dia dapat mempertahankan keseimbangannya, bagaimana dia berhasil mendorong kursi baja biru itu, mengangkat pasien keluar dari kursi rodanya dan perlahan-lahan meletakkannya pada usungan ? Suatu pekerjaan berat bahkan untuk orang yang tidak mempunyai cacat fisik, yang bisa dia kerjakan sungguh suatu misteri.

Dia bergerak, sepanjang yang dapat kulihat, dengan gerakan tak peduli jatuh. Kakinya yang bengkok, dengan tulang-tulang yang tidak begitu baik bersembungan, bergerak putar-putar menimbulkan kesan gerak sok jagoan. Semua bagian dari bentuk kaki yang tidak serasi itu, sendi, tempurung lutut, tulang kering, pergelangan kaki, kura-kura kaki sebegitu rupa menggerakkannya melewati lantai. Dalam tiap langkahnya, dia tampak di ambang kehilangan keseimbangan dan akan jatuh. Akan tetapi, hal itu tidak terjadi, kaki bengkoknya tiap kali menemukan pijakkannya ke tanah. Tidak sekalipun, dalam tujuh hari aku bekerja bersamanya dia terjatuh.

Fernand mempunyai tinggi badan yang sedang-sedang saja, sekitar 5 kaki, 8 atau 9 inci, tetapi kaki bengkoknya mengurangi tinggginya. Dia berjalan tegak dengan daya tenaga dan keyakinan yang kuat, yang membuatnya agak lebih tinggi dari pada yang sesungguhnya. Tubuhnya kurus dengan lengan yang berotot, tangan yang kuat, dan jemari yang tebal. Punggungnya lebar dan pinggangnya kecil. Wajahnya biasa-biasa saja, aku tidak akan memperhatikannya kalalu saja dia bukan seorang yang cacat. Fernand tidak suka bergaul dan ia hanya bicara hal-hal yang perlu saja. Selama waktu istirahat, dia hanya menyendiri. Tidak ada seorangpun yang menaruh perhatian padanya walaupun kami menghabiskan waktu dan bekerja bersama-sama.

Selama masa bekerja, yang kadang2 sangat melelahkan, seorang kawan dari Perancis akan berteriak dengan gembira satu sama lain, “Ca va” (Apakah semuanya baik-baik saja). Akan tetapi, tak ada satupun yang mengatakan sesuatu kepada Fernand. Dan Fernand akhirnya tidak berbicara juga. Dia akan datang atau pergi seperti sebuah bayangan. Keterkejutanku karena melihat orang cacat ini mendorong pasien membuatku lebih memperhatikannya.

Pada malam Jumat, aku mempunyai kesempatan untuk mengetahui sesuatu tentang diri Fernand. Kami telah mulai bekerja di stasiun kereta pada pukul 6 pagi. Dan sekarang telah pukul 9.30 malam dan kami masih ada dan bekerja di sana. Kami harus bekerja sepanjang hari kecuali pada saat istirahat 10 menit waktu pagi dan 10 menit lagi malam hari. Ratusan pasien telah kami antarkan dan pada pukul 9.30 malam kami benar-benar kehabisan tenaga.

Kami berdiri di peron stasiun itu, lemas karena kelelahan. Namun, itu belum berakhir. Rombongan peziarah yang sakit diharapkan kedatangannya dari Rumah Sakit Notre Dame yang berlokasi di dalam Tempat Suci sendiri. Ini berarti dua jam atau lebih bekerja dalam kepanasan, kesumpekan, bercampur dengan bau-bau dari mobil ambulans. Bahkan, petugas yang bekerja di dalam mobil ini harus bekerja lebih keras lagi.

Fernand telah menghabiskan seluruh waktunya bekerja di salah satu mobil ambulans ini. Dalam pandanganku, aku telah melihatnya memikul, mondar-mandir memegang pegangan usungan itu dengan pasien yang berat di atasnya. Aku tahu itu semua berat baginya, berat juga untuk kami semua. Malam itu begitu panas, udara terasa pengap, bahkan untuk bernapaspun sulit.

Akhirnya, peziarah yang sakit datang dari rumah sakit. Kami melihat lampu mobil tidak juga dimatikan. Biarpun begitu, kami harus tetap bekerja. Kami bekerja di dalam lorong yang sempit dengan penerangan yang kurang memadai, tiap kali kami betubrukan dan jatuh. Jelas hal itu tidak menyamankan pasien yang kami bawa, namun mereka sangat bergantung pada kami untuk membawa mereka ke dalam ambulans dengan selamat.

Seperti biasanya, kami diatur dalam kelompok yang terdiri atas tujuh orang. Tiga petugas bekerja di peron, empat petugas lainnya bekerja di dalam mobil. Petugas yang bekerja di peron bertugas mengangkat dan membawa pasien kepada petugas yang bekerja di dalam mobil. Petugas di dalam mobil membawa pasien dalam usungan melewati lorong yang panjang dan gelap menuju ambulans, mencari tempat tidur,dan meletakkan pasien itu di sana.

Fernand merasa senang bekerja di bagian dalam. Sekali lagi, aku kagum padanya. Bagaimana dia mengatur dirinya di lorong yang begitu sempit, mengangkat orang yang benar-benar cacat, terutama saat dia harus mengangkat pasien yang berat ke tempat tidur bagian atas yang terdapat di mobil ? Sungguh suatu hal yang tidak bisa diterangkan. Pekerjaan itu cukup berat, bahkan untuk orang yang punya kekuatan lebih sekalipun.

Malam itu, Fernand telah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia kelelahan. Mungkin karena dia terlalu banyak tersandung. Aku mendengar beberapa orang mengeluh, “Mengapa kau tidak beristirahat dulu ?” atau, “Mengapa kau tidak bekerja di peron saja ? Pekerjaan itu jauh lebih mudah.” Namun, Fernand diam saja dan terus bekerja. Aku bisa melihat keringatnya mengucur di wajah dan lehernya.

Tepat pada waktu itu, aku ditugaskan bekerja di bagian lain peron dan aku tidak bergabung dengan “team” ku sampai satu jam kemudian. Saat aku kembali, aku terkejut melihat Fernand berdiri, bersembunyi di balik sebuah pos. Di sebelahnya berdiri seorang pria jangkung yang kuketahui adalah seorang Yugoslavia. Saat aku mendekatinya, aku lebih terkejut lagi karena Fernand sedang menangis, air mata mengalir di pipinya. Ia memegang kaca mata di tangan satunya dan tangan lainnya memegang sapu tangan untuk mengusap air matanya.

Orang Yugoslavia itu (aku tidak ingat siapa namanya) mengangkat bahu dan berkata kepadaku, “Dia sedih karena orang itu menyuruhnya keluar dari tim,” katanya dalam bahasa Inggris. Kemudian, dia menambahkan, “Mereka takut dia akan melukai dirinya sendiri atau bahkan melukai pasien.” Fernand yang tidak bisa bahasa Inggris terus mengatakan bahwa ia sanggup melakukan pekerjaan itu, “Aku sanggup melakukannya !” Orang Yugoslavia itu menepuk-nepuk bahunya. Aku juga ikut menenangkannya dengan bahasa Perancisku yang terpatah-patah. “Kamu lebih baik membiarkannya sendirian,” lanjut orang Yugoslavia itu, “Dia akan tenang kembali.”

Fernand memang menjadi tenang kembali, beberapa saat kemudian, aku menanyainya, apakah ia mau bekerja bersamaku. Dia mengatakan, “Oui”. Kemudian, kamipun bekerja bersama, air matanya mengering dan mata cokelatnya bersinar kembali di balik kacamatanya. Kami membawa usungan satu demi satu dari tangan yang lainnya. Sepanjang waktu, Fernand berdiri di atas kaki bengkoknya, tanpa bantuan, mengangkat pasien. Keringat bercucuran membasahi tangan dan wajahnya. Dia bahagia, akupun merasa bahagia. Tuhan telah menyentuh kami berdua.

“Ya Allah, terima kasih atas karunia yang Kau berikan kepada kami untuk mengatasi kesedihan dan keputusaan saat semuanya berjalan begitu buruk.”

(Dari terjemahan “EXPERIENCING LOURDES An Intimate View of the Miraculous Shrine and Its Pilgrims”, by Stephen Grosso - Penerbit Kanisius)

Tidak ada komentar: