Saat itu malam yang terang, bulan bersinar terang benderang dan bersinar di atas salju yang baru saja jatuh. Bintang-bintang bagaikan permata di langit yang jernih, sehingga jalan kaki ke kapel sudah cukup untuk berinspirasi untuk menulis syair. Di tempat bersalju biasanya pada malam hari bisa terang seperti siang hari karena salju.
Tiba-tiba aku melihat seseorang di samping semua yang terang itu, sedang meraba-raba jalannya melalui jalan yang kosong, dengan memakai tongkat. Sambil menunjuk ke orang tua itu, aku bertanya kepada pastor paroki, siapakah orang itu. Pastor paroki itu menjawab : “Dia adalah orang buta yang tnggal sendirian di gunung, setiap pagi ia datang dari gubuknya yang kecil untuk menghadiri Misa Kudus, meskipun untuk itu ia harus berjalan selama 2 jam untuk pergi dan pulangnya. Ia telah menghadiri misa setiap pagi, ia mungkin tinggal di desa, mungkin di tempat orang-orang yang berjualan makanan dan minuman”.
Lalu dengan penuh minat aku bertanya : “Dapatkah aku bertemu dengannya, Romo ? Aku biasa bekerja di antara orang-orang buta ketika aku baru saja ditahbiskan. Sejak itu, mereka selalu mendapat tempat khusus di dalam hatiku”. “Pasti !” jawab pastor paroki, “kita akan pergi ke toko makanan dan minuman Tuan Sommer besok malam, karena aku merasa pasti bahwa ia tinggal di situ”.
Keesokan malamnya kami pergi ke toko Tuan Sommer, belum lagi kami menyapanya, orang tua buta itu datang kepadaku dengan tangan kanannya terulur untuk bersalaman dan berkata : “Anda pasti romo yang membimbing retret, benarkah begitu ?”
“Bagaimana bapak tahu bahwa akulah dia ?” aku bertanya dengan heran.
“Dari suaramu !” jawabnya.
Lalu aku memperhatikan, bahwa tangan yang terulur itu hanya mempunyai jempol saja, keempat jarinya telah hilang. Mencium rasa keheranan saya, ia berkata dengan sederhana : “Aku kehilangan jari-jariku pada saat yang sama keitika aku menjadi buta.”
“Jadi bapak bukan buta sejak lahir ?”
“Tidak, aku kehilangan penglihatanku ketika aku berusia 40 tahun dan sekarang aku sudah 60 tahun lebih.”
“Pastilah bapak merasa berat sekali.”
Dengan perlahan dan berat ia menjawab : “Tidak, tidak juga, sejak Tuhan mengambil penglihatanku, Dia memberiku penglihatan yang lebih baik, Terang Iman ! aku telah melihat cukup tentang dunia ini.”
Karena ia sepertinya tidak keberatan berbicara tentang kemalangannya, aku tertarik untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya, jadi aku bertanya lagi : “Bagaimana terjadinya bapak kehilangan penglihatan dan jari-jarimu ?”
Dengan kata-kata yang sederhana ia bercerita kepadaku : “Kira-kira 20 tahun yang lalu, aku biasa bekerja pada lobang tambang, pada waktu itu aku memang agak ceroboh tidak memperhatikan apa-apa. Pada kejadian itu, sebuah dinamit tidak meledak, sambil sedikit memaki-maki aku pergi melihat apa yang salah pada dinamit itu, dan tiba-tiba dinamit itu meledak dekat wajahku, potongannya jatuh pada tanganku. Aku tidak sadarkan diri selama 2 hari, ketika aku sadar, aku terbaring di rumah sakit dengan 4 orang dokter mengelilingiku. Mereka mengatakan bahwa mereka akan mengamputasi tanganku. Tapi aku mencengkeram pergelangan tangan kananku dengan tangan kiriku, dan berkata kepada mereka : tidak, tuan-tuan, anda boleh memotong keempat jari-jariku karena mereka tak dapat digunakan lagi, tapi tinggalkan jempolnya, itu masih baik. Dan bagaimana nanti aku dapat membuat tanda salib ?”
“Baiklah romo. para dokter berbisik-bisik dan berkonsultasi, tapi pada akhirnya mereka setuju untuk meninggalkan jempolku, demikianlah sejak itu bukan saja aku membuat Tanda Salib dengan jempol, tapi juga memotong kayu, memasak makananku dan menambal baju-bajuku, aku tak dapat memotong atau mengigit jari-jariku.” Demikian jawabnya sambil tersenyum.
Semangatnya yang penuh suka-cita membuatku terharu, dan bertanya lagi : “Tidakkah bapak merasa kesepian berada dalam kegelapan sepanjang waktu ?”
Sepertinya ia ingin berusaha untuk menghiburku, karena itu ia berkata sambil menghibur : “tidak, bagiku selalu berdoa dan bekerja, tidur sore-sore dan bangun pagi-pagi, lalu perlu waktu 2 jam bagiku untuk pulang dan pergi ke Misa Kudus harian, aku jarang gagal, kalau aku gagal mengikuti Misa Kudus, orang-orang desa tahu bahwa aku sakit. Jadi salah seorang dari mereka akan datang menjenguk dan menolongku. Lalu sebagai ganti membaca, aku mendengarkan khotbah hari Minggu dengan teliti dan itu sudah cukup bagiku untuk merenungkan sepanjang minggu itu. Secara jujur, aku tak mau menukar keadaanku dengan keadaan orang lain, semua orang telah begitu baik padaku dan dalam kegelapan, Allah sepertinya memegang tanganku.”
Pastor paroki dan aku berjalan pulang dalam keheningan, akhirnya ia berkata : “Orang itu selalu membuatku merasa sangat rendah.”
“Aku tahu apa yang anda maksudkan. Tuhan, biarlah aku melihat, karena dialah yang sungguh melihat ! dan sebenarnya kitalah yang buta !”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar