11/12/2008

DOSA DASAR

Paulus masuk lebih dalam lagi. Dengan mengikuti ajaran Yesus, ia mencela dosa dasar yang menjadi akar semua dosa lainnya. “Dan karena mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah, maka Allah menyerahkan mereka kepada pikiran-pikiran yang terkutuk, sehingga mereka melakukan apa yang tidak pantas.” (Rm 1:28).

Itulah salah satu segi dosa akar. Manusia punya kecenderungan ke situ, kita masing-masing condong secara mendalam ke situ dan tertarik secara tak terelakkan olehnya, kecuali kalau kekuatan Allah datang menolong kita.

Bagaimana sebenarnya dosa dasar itu ?

Dapat diungkapkan dengan cara bermacam-macam. Kita masing-masing harus bertitik tolak dari pengalaman kita sendiri. Itulah “dosa” yang dibicarakan oleh Yohanes dalam Injil keempat dengan hampir selalu menggunakan kata “dosa” itu dalam bentuk tunggal. Pada dasarnya, itu berarti tidak mau mengakui Allah sebagai Allah, itulah dosa yang menjadi akar pemberontakan setan, tidak mengakui, bahwa hidup kita hanya ditentukan oleh mendengarkan Firman Allah semata-mata.

Bagi apa yang disebut “Laicisme” pun akarnya terdapat di situ secara tercembunyi sehingga tidak mudah ditampilkan ke permukaan. Di sini kita tidak berhadapan dengan suatu kecenderungan yang jelek, seperti misalnya dalam hal orang yang mencuri, bertindak tidak adil atau menipu. Dosanya terletak dalam berkata bahwa tidak perlu mendengarkan Allah, bahwa bukannya Firman Allah yang harus menentukan hidupku, melainkan akhirnya pilihan kita sendiri.

Itulah dosa dasar yang mengalirkan semua dosa lainnya, dari situlah asal semua kekurangan manusia. Bagi Paulus, yang menjadi dasar pemutar-balikan ialah tidak mengakui Allah Injil, kecondongan untuk menyangkal, bahwa manusia diciptakan untuk mendengarkan Allah dan untuk hidup dari Firman Allah. Itu merupakan penolakan naluriah dan setani, karena tidak rasional, suatu penolakan untuk membiarkan diri dicintai dan diselamatkan oleh Allah dan untuk hidup dari kasih Allah. Seperti dalam diri Paulus, penolakan itu dapat berkedok semangat, membanggakan tradisinya, kehormatannya, namun sebenarnya ia menolak belas kasih Allah sebagai penentu hidupnya.

Itu memang dosa yang benar-benar perlu disembuhkan dalam diri manusia, agar disembuhkanlah akar pekerjaan-pekerjaan daging. Kelaliman, kejahatan, keserakahan, kebusukan, dengki bukanlah kerapuhan dan kelemahan semata-mata, melainkan berasal dari sumber yang lebih dalam.

Manusia sesungguhnya tidak puas sama sekali dengan diri sendiri. Ketidak-puasannya itu terungkap dalam bentuk-bentuk paradoksal yang tidak normal. Pada akarnya, ketidak-puasan akan diri sendiri itu berarti menolak untuk dicintai, untuk membiarkan diri dicintai. Manusia begitu berpegang kuat-kuat pada otonominya sehingga membuat dirinya suatu berhala. Adapun akibatnya ialah adanya segala reaksi kesusahan dan keputus-asaan dan segala macam kekejaman, ketidak-adilan yang merupakan puncak kejahatan manusia. Hanya dengan begitulah kita dapat menerangkan pembantaian masal yang terjadi dalam sejarah, juga dalam sejarah modern, pembunuhan-pembunuhan kejam di masa lampau dan di masa kini yang terjadi pada waktu ada pergolakan politik atau sosial, di mana terlampiaskan keputus-asaan yang terdapat di dalam batin manusia. Yang tidak puas tentang dirinya akan bertindak kejam terhadap orang lain.

Syukur kepada Allah, bahwa hanya jaranglah kita menjumpai dalam hidup kita kejadian-kejadian ekstrim itu. Meskipun begitu kejadian-kejadian itu kita jumpai, kejadian itu ada dan membuat sejarah. Hal yang terjadi di kamp-kamp konsentrasi di zaman Hitler tidak dapat diterangkan selain oleh menculnya penolakan setani akan Allah seperti diuraikan di atas.

Tatkala bicara tentang dosa tersebut, Paulus membuat kita sedih , sebab ia menghubungkan itu dengan dirinya sendiri dan dengan setiap orang sambil menekankan bahwa dosa itu tak terkalahkan.

“Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa. Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku. Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” (Rm 7:14-19)

Memang suatu ketidak-mampuan manusia yang benar-benar ada, misterius, paradoksal, bahkan absurd. Manusia menginginkan apa yang baik, namun ia sadar bahwa ia tidak mengerjakannya. Dipengaruhi oleh berbagai kejadian, ketegangan, kesulitan, perlawanan yang harus diatasinya, manusia menjadi keras. Dengan menjadi keras, ia menutup diri, terjerat oleh kesulitan. Ia menutup diri dalam sikap bermilik dan berbela diri. Dengan demikian ia menolak ketergantungan pada Allah, pada Firman-Nya, pada belas kasih-Nya.

Dalam keadaan yang lebih parah, manusia terkapar dan menyangkal transendensi Allah. Dalam keadaan yang lebih baik, ia berhasil hidup mendua, yaitu pada saat yang baik tampaknya ia condong untuk mendengarkan Firman, namun kemudian jika terdesak oleh keadaan, terutama keadaan yang tidak baik, misalnya kepahitan, kekecewaan, kebencian, perlawanan, jika mengalami ketidak-adilan dan ingin membalasnya, ia membela diri mati-matian, melawan yang lain dan lebih-lebih tidak lagi ambil pusing akan Firman Allah.

Ketika bicara tentang “dosa yang ada di dalam aku”, Paulus menyentuh kesengsaraan manusia yang amat dalam, yang sulit dimengerti namun benar-benar dirasakan dalam hasil-hasilnya, dalam akibat-akibatnya, dalam situasi-situasi yang benar terjadi.

(Le Confessioni di Paulo, oleh Mgr.Carlo Maria Martini, Uskup Agung Milano, diterjemahkan oleh : Frans Harjawiyata OSCO)

Tidak ada komentar: