7/13/2009

PENGKHOTBAH : KESIA-SIAAN


Dengan menampilkan diri sebagai putra Daud (Salomo), Pengkhotbah menyampaikan pengajaran tentang pencarian makna kehidupan manusia. Salomo adalah seorang raja yang kaya raya dan bijaksana (tidak ada batas dalam kekayaan dan hikmat), sehingga segala kemungkinan yang terbuka bagi manusia dapat dicobanya.

Ia terus mencoba menemukan makna kehidupan dalam kesenangan dan kenikmatan dalam mengumpulkan kekayaan dan melaksanakan pembangunan (Pkh 2:1-11). Tetapi tidak menemukan sesuatu yang dapat disebut “makna kehidupan” yang tahan uji, karena semua itu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin (Ketika aku meneliti segala pekerjaan yang telah dilakukan tanganku dan segala usaha yang telah kulakukan untuk itu dengan jerih payah, lihatlah, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin; memang tak ada keuntungan di bawah matahari. – Pkh 2:11)

Selanjutnya ia mencoba menemukannya dalam bidang lain, yakni dalam hikmat yang menurut ajaran klasik sekolah kebijaksanaan merupakan sesuatu yang paling berharga dan paling bermakna di dunia ini. Ia menyelidiki kebijaksanaan dalam hubungannya dengan kebodohan dan kebebalan (Lalu aku berpaling untuk meninjau hikmat, kebodohan dan kebebalan, sebab apa yang dapat dilakukan orang yang menggantikan raja? Hanya apa yang telah dilakukan orang. - Pkh 2:12). Kebijaksanaan memang lebih utama dari pada kebodohan, seperti terang melebihi kegelapan (Pkh 2:13).

Tetapi usaha inipun (dan usaha-usaha yang disebut pada Pkh 2:1-11) sia-sia (Maka aku berkata dalam hati: "Nasib yang menimpa orang bodoh juga akan menimpa aku. Untuk apa aku ini dulu begitu berhikmat?" Lalu aku berkata dalam hati, bahwa ini pun sia-sia. – Pkh 2:15), karena orang bijak akan mati seperti orang bodoh dan keduanya akan dilupakan (Dan, ah, orang yang berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh! – Pkh 2:16). Dengan adanya kematian segala jerih payah akan diambil alih oleh orang lain. Kalau orang meninggal dunia, ia tidak membawa apa-apa, ia harus melepaskan semuanya itu (Pkh 2:18-19).

Kegagalan manusia untuk mencari makna kehidupan itu juga terjadi karena Allahlah yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu, pikiran manusia sangat terbatas dayanya untuk memahami Allah, kehendak-Nya, serta karya-Nya (Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir. – Pkh 3:11 ; Sebagaimana engkau tidak mengetahui jalan angin dan tulang-tulang dalam rahim seorang perempuan yang mengandung, demikian juga engkau tidak mengetahui pekerjaan Allah yang melakukan segala sesuatu. - Pkh 11:5).

Segala sesuatu adalah sia-sia (Pkh 1:2)

Pengarang Kitab Pengkhotbah mengawali kitabnya dengan seruan “kesia-siaan belaka”. Untuk memberi tekanan seruan ini diulangi dan untuk menguatkan ucapannya ia berkata : “Segala sesuatu adalah sia-sia”

“Kesia-siaan” adalah terjemahan tradisional dari kata Ibrani “hebel” yang sebenarnya berarti hembusan, napas. Kata ini menjadi sebuah gambar atau kiasan (seperti air, bayang-bayang, asap, dsb) yang dalam persajakan Ibrani dipakai untuk menekankan kerapuhan dan kefanaan manusia. Tetapi dalam Pengkhotbah kata itu sudah kehilangan arti asli dan konkretnya. Kata ini dipakai oleh Pengkhotbah untuk menyingkapkan betapa sia-sia dan hampa segala sesuatu, sehingga hanya menipu dan mengecewakan.

Yang dimaksudkan dengan segala sesuatu di sini bukanlah alam semesta, melainkan segala aktivitas kehidupan : segala sesuatu “yang dilakukan di bawah matahari” seperti yang dikatakan pada ayat 3. Pengarang memandang bahwa segala sesuatu dalam pengalaman hidup manusia di bumi ini (di bawah matahari) adalah tidak bermakna dan tidak bernilai dalam dirinya sendiri.

Kesia-siaan hikmat (Pkh 2:21).

Pada ayat 2:21 ini Pengkhotbah menunjukkan suatu hal yang dipandangnya sebagai kesia-siaan, bahkan kemalangan besar. Yang disebut sebagai kesia-siaan pada ayat ini adalah bila orang “berlelah-lelah dengan hikmat pengetahuan dan kecakapan”.

Hikmat merupakan seni hidup, suatu pemahaman praktis yang sedikit banyak dapat menjamin kebahagiaan dan keberhasilan masing-masing oang. Melalui peribahasa, pepatah dan sebagainya hikmat itu disampaikan dari angkatan ke angkatan.

Hikmat berperan besar dalam pendidikan kaum muda, bapa keluarga mendidik anak-anaknya melalui peribahasa, pepatah, nasihat dan wejangan yang diterimanya sendiri dari ayah dan kakeknya. Di istana, rajalah yang terutama menjadi “sekolah kebijaksanaan”. Para putra raja dididik oleh para pengasuhnya, orang-orang berhikmat, calon pegawai kerajaan dibina dengan pengalaman dan pengamatan dari angkatan yang sebelumnya. Selain memakai peribahasa, wejangan dan sebagainya yang diterimanya dari nenek moyang, guru-guru kebijaksanaan juga menciptakan peribahasa, pepatah, dan sebagainya untuk mendidik para murid mereka.

Hal yang berlaku bagi hikmat juga berlaku bagi pengetahuan dan kecakapan, yang diperoleh dari pengalaman dan pengamatan yang terus menerus, dipelajari dan dilatih, dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Menurut Pengkhotbah, segala usaha untuk mencari hikmat, pengetahuan, dan kecakapan ini adalah sia-sia. Dikatakan sia-sia karena sekalipun ia harus berusaha keras untuk mendapatkannya, ia harus meninggalkannya untuk orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu.

Dengan melihat konteks dekat dari ayat ini, dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘orang yang tidak berlelah-lelah untuk itu’ adalah ‘orang yang datang sesudah aku’ (Pkh 2:18). Pada ayat 18 Pengkhotbah menyatakan bahwa segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari (antara lain usaha mencari hikmat, pengetahuan, dan kecakapan) harus ditinggalkannya bagi ‘orang yang datang sesudah aku’. Dengan kata lain, segala usaha dan jerih payah yang dilakukan selama hidupnya, setelah ia mati harus ditinggalkan untuk orang yang hidup sesudah dia. Orang-orang ini dikatakan ‘tidak berlelah-lelah untuk itu’, karena mereka tinggal mewarisi atau menerimanya saja, sementara ia harus berusaha keras mendapatkan hikmat, pengetahuan dan kecakapan itu.

Kesia-siaan usaha dan keinginan hati manusia (Pkh 2:22-23)

Segala fanatisme dalam mengejar suatu hasil, dan segala usaha sebagai seorang workerholic, dinilai oleh Pengkhotbah sebagai tanpa manfaat apapun, sia-sia. Ia memandang hal itu sebagai kesia-siaan karena selama hidup manusia, dan segala pekerjaannya adalah ‘kesedihan’ dan ‘kesusahan hati’. Hal ini berarti bahwa seluruh kehidupan manusia dan segala pekerjaannya hanya menghasilkan kesedihan dan kesusahan hati (langsung atau tidak langsung). Bahkan pada waktu malam, jiwanya tidak beristirahat dan pikirannya terus mempersoalkan urusan pekerjaannya. Usaha manusia tidak menghasilkan nikmat atau kegembiraan riil, bahkan dalam tugas pekerjaan sehari-hari yang dipilhnya sendiri, sebab selalu ada sengsara dan gangguan, yang terus menerus harus dipikirkannya.

Kekayaan dan kemakmuran sering kali dianggap dapat membawa manusia kepada kebahagiaan hidup. Orang yang berlimpah harta dipandang sebagai orang yang sudah memperoleh kebahagiaan itu. Karena kekayaan yang mereka miliki, mereka mendapat derajat dan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Derajat dan kedudukan ini membuat mereka dihormati dan juga membuat mereka dapat menentukan kebijakan-kebijakan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, orang yang miskin, yang tidak memiliki kekayaan, mendapat tempat yang paling bawah dalam masyarakat atau di pinggiran kehidupan masyarakat. Tidak ada yang menghormati mereka, mereka dianggap rendah, dijauhi bahkan disingkirkan. Kenyataan ini mendorong orang untuk berusaha sekeras mungkin untuk menumpuk kekayaan.

Yang juga dipandang dapat membuat kebahagiaan bagi manusia adalah kebijaksanaan. Hikmat merupakan hasil pengamatan dan pengalaman yang terus menerus dan turun menurun. Pengalaman dan pengamatan yang lama itu bagi orang yang mau berpikir menyatakan bahwa dalam dunia manusia terdapat aturan dan hukum tertentu. Dan hal-hal tertentu biasanya terjadi menurut aturan dan hukum yang tetap. Misalnya, orang malas biasanya menjadi miskin, orang yang suka marah biasanya terlibat dalam banyak percekcokan. Orang yang berhikmat tentu menyesuaikan tingkah lakunya dengan aturan dan hukum itu. Dengan jalan itu ia mendapat hidup dengan tenteram, aman, bahagia, dan sukses. Karena itu, orang belajar berusaha untuk memperoleh kebijaksanaan.

Tetapi kenyataan kematian menyangkal anggapan bahwa kekayaan dan kebijaksanaan dapat menjamin kebahagiaan hidup manusia. Kematian membuat segala usaha untuk memperoleh harta dan kebijaksanaan itu menjadi kesia-siaan. Harta dan kebijaksanaan itu hanya ada gunanya selama pemiliknya masih hidup di dunia. Tidak ada sedikitpun dari segala yang dimilikinya itu dibawa mati, semuanya ditinggalkan.

Dalam Injil Lukas, Yesus memberi nasihat kepada mereka yang ingin berbagi warisan supaya waspada terhadap segala ketamakan (Kata-Nya lagi kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu." – Luk 12:15)

(Sumber : Lembaga Biblika Indonesia)

Tidak ada komentar: