“Katakan padaku, siapakah Allah itu?” tanya seorang anak perempuan kecil yang baru berusia 6 tahun kepada mamanya. Matanya berbinar setiap kali mendengar tentang Allah dan hampir kepada setiap orang ia bertanya, “Katakan padaku, siapakah Allah itu?”
Anak perempuan kecil ini lahir tanggal 15 Juli 1747 di Aruzzo, sebuah kota di Italia dan dibaptis dengan nama Anna Maria. Keluarga Redi adalah keluarga bangsawan yang saleh, sehingga Anna Maria kecil tumbuh dalam lingkungan rohani Katolik yang kental. Bahkan ayahnya sendirilah yang menjadi pembimbing rohani Anna. Lebih-lebih ketika ia disekolahkan di sekolah Benediktin di Firenze (Florence), ia banyak belajar berdoa dan mengikuti retret yang diadakan di sekolahnya. Semua itu membuatnya sejak kecil sudah mencintai Hati Kudus Yesus, Ekaristi, dan Bunda Maria.
Tujuh belas tahun adalah usia yang indah, masa seorang gadis mulai beranjak dewasa. Dan pada umurnya yang indah inilah Anna Maria masuk Biara Karmel, mempersembahkan hidupnya hanya untuk Tuhan semata. Tahun 1765 di usianya yang ke-18, ia menerima jubah Karmel dengan nama biara Sr. Teresa Margareta dari Hati Kudus Yesus. Namun, ketika hampir berusia 23 tahun ia jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 7 Maret 1770. Walaupun hanya sebentar saja hidup dalam biara, kesucian gadis belia ini telah menjadi berkat bagi sesamanya, sehingga akhirnya pada tahun 1934 Paus Pius XI mengkanonisasi dan menggelarkannya sebagai santa.
Dibakar oleh kehausan akan cinta kasih Allah
Sr. Teresa Margareta hidup tersembunyi dalam kesunyian dan keheningan biara Karmel. Ia tak pernah melakukan hal-hal yang spektakuler, juga tak pernah populer semasa hidupnya. Kehidupannya, hatinya, pemikirannya, semua sangat sederhana. Ia tak pernah belajar teologi yang sulit-sulit, namun ia mampu memasuki kebenaran-kebenaran dogma yang tinggi dengan iman yang murni.
Jiwa Teresa Margareta adalah jiwa yang kontemplatif. Ia dapat selalu melihat kehadiran Allah dalam segala peristiwa, dalam alam semesta, dalam diri sesamanya, dalam seluruh kesehariannya. Bunda Maria adalah pribadi yang dicintai dan diteladaninya. Seperti Bunda Maria yang hidup tersembunyi dan berjiwa kontemplatif, demikianlah Teresa Margareta menjalani kesehariannya dalam ketersembunyian dan kontemplasi.
Hidupnya adalah hidup tanpa dokumen-dokumen doktrinal, tanpa teori-teori tinggi tentang Allah, namun ia memiliki pengenalan yang mendalam akan Allah. Teresa mengenal Allah bukan dari teks-teks atau buku-buku melainkan dari keintimannya dengan Tuhan. Dari waktu ke waktu ia selalu menyadari kehadiran Allah dengan hidup di hadirat-Nya, dan saat itulah Tuhan menanamkan kebenaran-kebenaran akan perkara-perkara ilahi di hatinya. Jiwanya senantiasa dibakar oleh kehausan akan cinta kasih Allah sehingga Ia pun menenggelamkan hati Teresa ke dalam Hati-Nya yang Mahakudus, yang penuh dengan cinta kasih. Di sinilah Teresa mengajarkan kepada kita, bahwa Allah tak dapat digapai dengan akal budi tetapi hanya dapat dicapai dengan cinta.
Teresa Margareta menjadi saksi yang hidup bagi Spiritualitas Karmel. Ia mengajarkan kedalaman Spiritualitas Karmel bukan dengan menjadi seorang guru melainkan dengan menjadi seorang saksi. Ia tidak mengajar dengan kata-kata tetapi dengan hidupnya sendiri. Fr. Ildhephonse seorang imam yang menjadi pembimbing rohaninya mengatakan bahwa Teresa membawa orang-orang di sekitarnya ke dalam keheningan jiwanya. Ia menjalani hidupnya dengan mengkontemplasikan kehidupan Yesus sebagai manusia, Sang Sabda yang berinkarnasi, hingga sampai kepada pengalaman-pengalaman yang dalam dari kehidupan ilahi-Nya.
St. Teresa Margareta sangat mencintai Hati Kudus Yesus. Hati Kudus Yesus adalah sumber cinta kasih. Walaupun berada dalam pangkuan Bapa, Sang Sabda terus mengalirkan kasih-Nya yang abadi kepada manusia, sehingga sudah sejak di bumi ini kita dapat mengasihi Dia yang bertahta di surga. Kita mengasihi Dia dengan mengalirkan kembali kasih-Nya yang telah dicurahkan kepada kita. Inilah yang dihayati secara mendalam oleh St. Teresa Margareta dari Hati Kudus Yesus, yaitu “Kasih yang mengalir kembali kepada Sumber Kasih – Hati Kudus Yesus.” Dengan demikian, Teresa menjadikan panggilan Karmel sebagai suatu panggilan keintiman dengan Allah, suatu pertukaran cinta yang membuat terjalinnya persahabatan antara jiwa dengan Allah. Inilah panggilan kontemplatif Teresa.
Putaran cinta kasih ilahi yang terus mengalir dari Hati Kudus Yesus kepada Teresa dan sebaliknya itu, membawa Teresa ke dalam keadaan batin Yesus yang tersembunyi ketika Ia hidup sebagai manusia di dunia ini. Di sinilah Teresa menyelami misteri Sang Sabda yang berinkarnasi menjadi manusia.
Dalam kesaksiannya Fr. Ildephonse mengatakan, “Dalam iman Teresa dipanggil untuk menyerupai Kristus, baik kehidupan-Nya yang terlihat maupun yang tak terlihat, isi hati-Nya, kehendak-Nya, pikiran-Nya, perasaan-Nya, dan segala sesuatu yang ada dalam diri Yesus. Ia sungguh dipanggil ke dalam persatuan yang mesra tak terpisahkan dengan Yesus.”
“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Fil. 2:5)
Persatuannya yang dalam dengan Yesus membuat Teresa dapat berseru gembira, “Kebenaran ilahi yang tertinggi adalah bersemayamnya Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus di dalam hati kita!” Dengan kesukaan yang besar ia menikmati apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri, “Sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk. 17:21) dan St. Paulus, “…Bait Allah adalah kudus dan Bait Allah itu ialah kamu.” (1Kor. 3:17)
Kasih yang tersembunyi bagi dunia yang luas
Ketika membaca “Allah adalah Kasih” (1Yoh. 4:16), Teresa mengatakan bahwa Allah menyatakan kasih-Nya kepada manusia dengan kasih yang sama dengan kasih-Nya untuk Diri-Nya sendiri dalam keabadian. Kasih-Nya yang abadi ini adalah kehidupan-Nya dan nafas-Nya, yang tidak lain adalah Roh Kudus. Oleh karena itu, siapa yang tinggal di dalam kasih berarti tinggal di dalam kehidupan Allah ini dan Allah tinggal di dalam kehidupannya.
Sadar akan hal ini, Teresa memohon kepada Tuhan untuk senantiasa membakar jiwanya dan mencurahkan cinta kasih-Nya ke dalam hatinya. Cinta kasih yang tak dapat diciptakan ini begitu berkobarnya di dalam diri Teresa sehingga membangkitkan semangat apostolis juga di dalam dirinya. Ia banyak berdoa untuk Gereja serta mempersembahkan banyak doa dan kurban untuk jiwa-jiwa.
Pada mulanya, Teresa merasakan dalam dirinya suatu kerinduan untuk menjawab cinta kasih Tuhan kepadanya. Segera kerinduan itu dijawab Tuhan dengan kobaran cinta kasih ilahi yang menggebu di dalam jiwanya, yang menghanyutkan dirinya ke dalam putaran cinta kasih yang tak berkesudahan antara hatinya dan Hati-Nya. Fr. Ildephonse mengatakan bahwa jiwa Teresa telah tertransformasi secara sempurna ke dalam cinta kasih Allah. Hal ini tampak dari keindahan jiwa Teresa yang dipenuhi dengan pelbagai kebajikan dan cinta kasih. Kasih yang melimpah di hati Teresa menjadikannya sebagai pribadi yang rendah hati. Ia selalu siap menolong orang lain, lembut penuh kasih, melupakan dirinya sendiri, dan mengerjakan hal-hal yang dihindari orang dalam komunitasnya. Ia bekerja dengan senyum yang selalu terkulum di bibirnya, menyembunyikan penderitaan dan beban apa pun yang ada di dalam dirinya. Ini semua dilakukannya sebagai tindakan cinta kasih yang nyata bagi Tuhan maupun sesama. Hatinya peka terhadap kebutuhan sesama susternya, seolah ia memang diciptakan hanya untuk orang lain. Inilah kesempurnaan cinta kasih yang sejati, yaitu hati dan jiwa dibakar oleh cinta kasih kepada Tuhan dan sesama.
Pada tahun-tahun terakhir sebelum meninggal, Teresa mohon kepada pembimbingnya untuk dapat hidup tersembunyi. Ia ingin menghidupkan ketersembunyian hidup Yesus di dalam dirinya. Ia rindu untuk tidak dikenal, tidak diperhatikan, bahkan sampai batas-batas tertentu ia ingin pula untuk tersembunyi bagi dirinya sendiri. Artinya, ia ingin mati terhadap dirinya sendiri, tak memperhatikan lagi segala sesuatu yang ingin dinikmati oleh tubuhnya, tak mencari penghiburan-penghiburan bagi dirinya. Dikuburkannya di dalam Kristus segala pikirannya dan segala permenungannya tentang dirinya sendiri. Dan Tuhan pun memenuhi kerinduannya ini dengan membiarkannya masuk ke dalam kekeringan yang luar biasa dalam jangka waktu yang cukup lama.
Kekeringan jiwa yang menjadi penderitaannya mencapai puncaknya ketika ia juga harus menderita sakit yang cukup parah. Puncak penderitaannya terjadi pada saat-saat sebelum ia meninggal. Delapan belas jam lamanya ia sangat kesakitan namun dilaluinya secara heroik dengan cinta yang luar biasa kepada Allah. Hingga akhirnya tepat pk. 14.00 tanggal 7 Maret 1770, Teresa menghembuskan nafas terakhir dengan kepala tersandar pada salib kesayangan yang dipeluknya. Wajahnya sesudah meninggal lebih memancarkan damai sejati dari pada kesakitan, karena sesungguhnyalah setiap kesakitan dalam hidupnya dilaluinya dengan hati penuh kasih dan damai di dalam Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar