11/25/2008

DIA ADALAH PENOLONGMU SELAMANYA

Oleh : Romo Reinhard B.Stump, CSSR

Ketika taksi berhenti di tempat pemberhentian, penumpang yang sendirian itu membuka pintu dan keluar. Ia melihat ke arah sebuah rumah dengan jendela-jendela putih dan teras berpilarkan batu bata. Aneh, pikirnya, bagi seorang laki-laki untuk datang ke rumahnya sendiri sebagai seorang asing, seorang yang terbuang karena kehendaknya sendiri, tetapi sekarang pulang kembali.

Ia teringat kepulangan yang sama enam bulan yang lalu, dan ia berharap kali ini akan berbeda. Pada hari itu, sekarang sepertinya sudah berabad-abad yang lalu, ia menyentuh bel pintu rumahnya sendiri. Ketika pintu dibuka, di sana ia berdiri menatap istrinya sendiri. Bukankah suami dan istri akan jatuh dalam pelukan masing-masing, dalam pelukan sehati dan sejiwa pada saat berkumpul kembali setelah suatu perpisahan ? Tetapi Helen hanya berdiri saja di sana menatap dia, tidak dingin tetapi berjarak. Sepertinya api cinta sudah dipindahkan jauh-jauh, jauh masuk ke dalam jiwanya. Wally tahu hanya ada alasan untuk itu, itu adalah dinding pemisah yang dibangunnya sendiri, akhirnya ia memintanya masuk.

Ia ingat duduk dengan kaku di sofa, sepertinya bukan miliknya. Ia telah membeberkan kasusnya, permohonan untuk penerimaan kembali ke dalam hati istrinya yang berharga. Ia akan membuang kebiasaan minum, berumpah untuk tidak mengulanginya lagi. Jawaban Helen bukan merupakan penerimaan maupun penolakan. “Aku gembira melihatmu dalam keadaan demikian baik,” ia telah mencoba menghindari tatapan matanya, “keadaan terbaik yang kulihat dalam waktu yang lama. Kau sepertinya telah beristirahat dengan baik.”

“Aku tak pernah minum setetespun atu masuk ke bar selama satu bulan.” Kata Wally.

“Sayang...” inilah kata-kata penuh kasih yang pertama, dan ia memperhatikan bagaimana Helen menggigit bibirnya ketika mengucapkannya. Ya, cinta itu masih ada di sana, jauh dalam lubuk hatinya. “Sayang, aku akan sangat bahagia untuk membawa kamu kembali, tapi bagaimana aku dapat merasa pasti bahwa cinta kita tak akan berakhir. Kau tahu kita telah mencoba sebelumnya, aku sangat ingin untuk melupakan segalanya, tetapi bagaimana aku tahu bahwa kau mau ? Ingatlah, kaulah yang meninggalkan aku, keberapa kalikah sekarang ? selalu kalau kau kembali, pintu selalu sudah dibukakan.”

Semua terlalu baik, Wally ingat, bagaimana ia tak dapat menatap matanya, bagaimana ia menundukkan kepalanya, betapa sesal telah menyapunya seperti ombak. Semuanya salahnya, ia tidak dapat menyangkal apapun, kata demi kata ia ingat apa yang dikatakan istrinya. “Wally, kau tak pernah aku lupakan, aku cemas di mana kau berada, apa yang kau lakukan, apakah kau sedang memikirkan aku ? apakah kau sakit ? Aku berdoa rosario setiap hari sambil berlutut di hadapan gambar Bunda Penolong Abadi yang tergantung di dinding.”

Ia tak perlu melihat, ia tahu bahwa gambar itu selalu ada di sana, tergantung di dinding ruang keluarga. “Aku mau Bunda Maria menyertaimu selalu.”

Jaminannya lemah, tetapi matanya yang basah pasti mengatakan sedikit kepada Helen, tentang betapa dalamnya kesedihan dalam jiwanya. “Aku juga berdoa beberapa doa.”

“Wally, kau datang meminta supaya aku menerima kamu kembali, tetapi bagaimana aku dapat merasa pasti kali ini ? berapa kalikah sudah kulakukan sebelumnya, dan kau pergi lagi ? Tiap kali kau bersumpah untuk tidak minum lagi, dan aku mengampunimu, bagaimana kutahu kalau kali ini rasa sakit hatiku tidak akan terulang lagi ?” Wally bahkan ingat akan keheningan itu, bagaimana suara Helen makin lama makin lemah, dan kemudian ia tiba-tiba mengeraskan dirinya sendiri.

“Tidak, Wally kali ini akan menjadi suatu kepastian, kau harus memutuskan sekali ini untuk selamanya, apakah kau lebih menginginkan cintaku atau nafsumu untuk minum. Kalau kau memilih aku dan cintaku, kau harus membuktikan dirimu sebagai laki-laki bagiku, laki-laki yang sama pada saat kunikahi dahulu.”

Ketika ia bangkit akan pergi, Helen menyerah “Oh Wally,” ia menangis, “aku merasa begitu kejam, aku merasa seperti mengusirmu keluar, aku tak seharusnya berkata seperti itu.”

Wally merasa sedu-sedan menggoncangkan Helen, ketika ia memeluknya dan mencium dengan lembut di dahinya. Aku ingin membuat diriku berharga bagimu, bagaimana aku melaksanakannya aku tak tahu, tetapi aku mau. Ia ingat menciumnya lagi “Ingatlah selalu, kau adalah kekasihku, selamanya.”

Bagaimana ia dapat membuka pintunya ? pintu rumahnya sendiri dengan cintanya dan kehangatannya yang sudah tertutup baginya, sekali lagi dengan kemauan bebasnya sendiri. Itu terjadi enam bulan yang lalu.

Ia telah mengikuti praktek harian Helen, berdoa rosario kepada Bunda Penolong Abadi. Ia menjadi orang yang sering terlihat berlutut di altar sesudah jam kerja di gereja, di sudut jalan rumah kostnya. Lalu lintas pada jam-jam sibuk bergemuruh di luar, tetapi di dalam sangat tenang, kala ia mencari pertolongan kepada Bunda Maria. Ia ingat akan Romo Stephen, sang imam, ia telah menyemangati dia, mempercakapkan keperluan tentang memelihara jiwa yang kuat untuk menyangkal diri untuk mengalahkan ketergantungan yang telah merampok dirinya sendiri dari semua harta yang tak ternilai dalam hidupnya.

“Sebenarnya, Wally,” romo berkata kepadanya, “kamu telah mementingkan dirimu sendiri, hadapilah ini, kamu hanya memikirkan dirimu sendiri dan sedikit kepuasan yang kau dapati dari minuman. Apa yang harus kau lakukan adalah mula-mula menjernihkan pikiranmu, taruh sesuatu di sana, sesuatu yang berharga, cinta istrimu, cinta Allah. Ingatlah akan barang-barang berharga dari hidup, tidak datang dengan mudah. Kamu harus mengalahkan perbudakan minuman keras itu. Ada banyak suka cita yang hebat yang dapat kau miliki di sini di dunia ini dari cinta orang lain terhadapmu, dan terutama cinta Allah bagimu. Romo memberimu gambar Bunda Maria Bunda Penolong Abadi, dialah yang akan mengangkatmu menjadi orang yang kau inginkan bagi istrimu. Ia adalah penolongmu tanpa akhir. Dia akan selalu berada bersamamu kalau kau menginginkan dia, simpanlah gambar ini dalam sakumu.”

Ujian terberat telah datang ketika ia mengatakan “Tidak, teman-teman !” kepada teman-temannya, dengan siapa ia telah membuang waktu berjam-jam dan membuang-buang uang. “Hebat” adalah suatu pernyataan yang kurang tepat bagi panggilan keberanian yang dibutuhkan untuk menatap tatapan mereka yang aneh ketika mereka menyadarai perubahan yang telah terjadi padanya.

Pikiran baja dibutuhkan untuk menolak permintaan mereka yang patut dikasihani kepada “Joe yang baik” atau “Hanya satu gelas saja.” Setelah beberapa penolakan yang sukar, mereka mulai meninggalkan dia sebagai teman sesaat dan teman minum.

Tetapi itu bukan yang terberat, ada yang lebih berat lagi, ketika di mana ia ingin berlari kembali ke pelukan Helen, untuk menyerukan bahwa ia telah mengalahkan dirinya sendiri. Ada perasaan was-was dalam dirinya dan ia tetap berdoa, dan ia ingin menunjukkan gambar Bunda Penolong Abadi yang ada dalam sakunya.

Tetapi sekarang tibalah waktunya, sekarang ia sedang dalam perjalanan pulang. Di sana ada pintu di hadapannya, apakah ini khayalan ? Satu tangan ada di sakunya ketika Wally menyeberang jalan, lalu menaiki tangga menuju pintu. Ia belum lagi memencet bel, saat itu pintu terbuka lebar-lebar dan Helen yang berbinar-binar terbang ke dalam pelukannya.

“Aku melihatmu datang,” ia menangis, air matanya adalah air mata sukacita, “aku tahu kau akan kembali, betapa aku telah menunggumu.”

Selagi Helen memeluknya seperti tidak akan melepaskannya lagi, dari pundaknya Helen, Wally menatap gambar Bunda Maria Penolong
Abadi
, Wally bebisik “Terima kasih” kepada Bunda Maria Penolong Abadi sambil tangannya membelai-belai rambut Helen, Helen berpikir bahwa bisikan tersebut diperuntukkan baginya, tetapi itupun baik juga.

Tidak ada komentar: