1/11/2012

KEGELAPAN MANUSIA PAULUS

Dalam renungan ini kita akan mendalami suatu segi yang terdapat dalam kejadian di Damsyik, yaitu “kebutaan” yang terjadi langsung sesudah pertobatan. Kegelapan, bukan hanya kegelapan “Paulus sejarah”, melainkan kegelapan Paulus sebagai manusia yang menghayati saat kegelapan itu.

Tema ini sulit, sebab menyangkut kegelapan yang ada dalam diri kita masing-masing. Sebenarnya kita tidak pernah mau menghadapinya,. Tema ini memang tema tobat. Marilah kita memohon rahmat Roh Kudus untuk memasukinya dengan benar dan dengan hati terbuka :
“Ya Tuhan, Engkau menyelami dan mengenal kami. Engkau tahu betapa kami tidak mampu memahami misteri-Mu dan misteri kami. Engkau tahu bahwa kami tidak mampu membicarakan hal itu dengan benar. Kami mohon kepada-Mu ya Bapa, dalam nama Yesus, utuslah kepada kami Roh-Mu yang menyelami kedalaman manusia, yang tahu apa yang ada di dalam diri kami. Semoga Ia membuat kami mampu mengenal diri kami seperti diri kami Engkau kenal dalam kedalaman kejahatan kami, dengan cinta dan belas kasih. Semoga kami memandang dengan mata yang benar segala sesuatu dalam diri kami yang memberatkan, yang mengaburkan atau melawan Dikau. Semoga kami mampu memandangnya dalam terang belas kasih yang datang dari kamatian dan kebangkitan Putra-Mu, Yesus Kristus, Tuhan kami, yang bersama Roh Kudus hidup dan berkuasa sepanjang masa, Amin.”
Memang penting bahwa kita merumuskan pertobatan Paulus sebgai “pernyataan dan penerangan”. Sekarang kita bertanya diri bagaimana mungkin Paulus menjadi buta sesudah pertobatannya. Kenyataan itu digaris-bawahi dan ditekankan dalam cerita Kisah Para Rasul, “Saulus bangun dan berdiri, lalu membuka matanya, tetapi ia tidak dapat melihat apa-apa; mereka harus menuntun dia masuk ke Damsyik. Tiga hari lamanya ia tidak dapat melihat dan tiga hari lamanya ia tidak makan dan minum” (Kis 9:8-9). Dapat dikatakan bahwa penerangan Kristus bukannya memenuhi dia dengan kegembiraan, terang dan kejelasan, melainkan malahan memukulnya, seakan-akan ia ditimpa sakit keras, ia tidak dapat melihat, tidak dapat makan dan perlu dituntun.
Hal yang sama diceritakan lagi kemudian, “Dan karena aku tidak dapat melihat oleh karena cahaya yang menyilaukan mata itu, maka kawan-kawan seperjalananku memegang tanganku dan menuntun aku ke Damsyik.” (Kis 22:11). Ia baru dapat melihat lagi ketika Ananias mendatangi dia sambil berkata : ”Saulus, saudaraku, bukalah matamu dan melihatlah!” Dan seketika itu juga aku melihat kembali dan menatap dia. (Kis 22: 13).
Mengapa Paulus menjadi buta sesudah ia menerima pernyataan misteri Kristus yang gilang gemilang ? Di dalam Kitab Suci kebutaan dihubungkan secara jelas dengan dosa, kehilangan arah, sempoyongan tanpa mampu menemukan arah. Kebutaan merupakan suatu hukuman, Elimas dari Siprus menjadi buta sebagai hukuman. Tetapi Saulus, juga disebut Paulus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap dia, dan berkata: "Hai anak Iblis, engkau penuh dengan rupa-rupa tipu muslihat dan kejahatan, engkau musuh segala kebenaran, tidakkah engkau akan berhenti membelokkan Jalan Tuhan yang lurus itu? Sekarang, lihatlah, tangan Tuhan datang menimpa engkau, dan engkau menjadi buta, beberapa hari lamanya engkau tidak dapat melihat matahari. (Kis 13:9-11). Sehubungan dengan yang terjadi pada Elimas, itu arti lambang kebutaan diterangkan baik sekali. Ia harus berhenti membalikkan jalan yang diarahkan Oleh Tuhan, ia harus berhenti melawan gambar sejati Allah dengan caranya bertindak. Jadi kebutaannya itu melambangkan orang yang tidak mampu menemukan jalan benar, orang yang dibelenggu oleh kekuatan setan, “anak iblis, musuh tiap kebenaran”, “penuh dengan rupa-rupa tipu muslihat dan kejahatan”. Jelas itu gambaran dosa, itu menggambarkan “tipu muslihat dan kejahatan” yang dalam dosa datang dari dalam, itu menggambarkan “anak iblis” yang datang dari luar, dan sebagai akibatnya, “musuh tiap kebenaran”.
Sebaliknya, tentang kebutaan Paulus tidaklah mudah memberikan jawaban, sebab Kisah Para Rasul tidak menjelaskannya, tetapi hanya melukiskan kejadiannya saja, padahal tampaknya Rasul sendiri tidak pernah memberi tekanan pada kejadian itu dalam surat-suratnya. Dengan mencoba merefleksikan dan memasuki jiwanya, kita dapat melihat adanya dua motif.
Kebutaan sebagai pantulan kecemerlangan Allah.
Pertama, kita berhadapan dengan suatu motif yang sering dijumpai dalam Kitab Suci. “Manusia tidak dapat melihat Allah tanpa mati.” Melihat Allah memang merupakan terang, tetapi bagi manusia yang bersifat daging, melihat Allah menakutkan dan membuat manusia sadar akan seluruh kegelapan di mana ia berada. Berkontak dengan Allah sebagai terang, manusia mengakui dirinya sebagai kegelapan. Dengan demikian Paulus menghayati jalan pertobatan yang sebelumnya tak pernah ia mampu menghayatinya. Pengenalan akan kemuliaan Kristus terpantul dalam pengenalan akan kegelapannya sendiri. Paulus menghayatinya dengan lambang, suatu lambang yang nyata, sampai firman Gereja, firman Ananias memberi dia keyakinan bahwa dia diterima dalam Gereja dan bahwa dia dengan aman menempuh jalan Allah.
Kebutaan memantulkan secara negatif kemuliaan Allah yang baru saja dinyatakan kepadanya. Sungguh khas dalam pertobatan Kristen, bahwa orang berhasil mengenal diri sendiri jauh lebih banyak dan menjadi takut akan kegelapannya sendiri bila ia mengenal terang Allah dari pada bila ia mengadakan pemeriksaan ketat seperti mengadakan psikoanalisis atas kedalamannya sendiri. Manusia menyadari dirinya sebagai kegelapan oleh kontaknya dengan wajah Kristus.
Kebutaan jalan pertobatan
Motif kedua yang dapat menerangkan kebutaan Paulus adalah keikut-sertaan Paulus dalam dosa dunia, keterjalinannya dalam umat manusia yang berdosa.
Marilah kita bertanya diri, bagaimana ia menghayatinya dan bagaimana itu menampilkan diri kepadanya.
Kita tidak perlu bekerja dengan fantasi, sebab Paulus sendiri telah mendapatkan berbagai kesempatan untuk mengungkapkan pandangannya tentang tubir kegelapan yang selalu tersembunyi di dalam diri kita masing-masing. Itu hanya dapat dikalahkan oleh kekuatan Allah, tetapi ia masih dapat muncul lagi tiap saat jika Allah tidak terus menerus menang. Bila kekuatan Allah itu ditolak atau dikaburkan oleh kita, maka tampillah kembali apa yang oleh Paulus disebut “dosa yang dipribadikan”.
Mengadakan refleksi tentang kegelapan yang ada dalam hati manusia tidaklah semata-mata mengadakan meditasi yang melukiskan sesuatu yang jauh dari kita, tetapi itu adalah realitas yang ada dalam diri kita, atau yang tersembunyi di dalam hati kita. Berdasarkan pengalaman pahit yang ada pada kita masing-masing, kita tahu bahwa yang tersembunyi itu kadang-kadang secara mendadak dan tak terduga sebelumnya dapat berubah menjadi kenyataan. Itu memang suatu pokok tidak menyenangkan yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari.
Kita selalu diombang-ambingkan antara dua sikap. Di satu pihak kita sering meratapi kejahatan manusia, bila kita menyaksikan kejadian-kejadian yang menggoncangkan. Yang dimaksud misalnya tindak kekerasan, bentuk-bentuk kekejaman di penjara-penjara, pembunuhan di antara para tahanan, masih ditambah suasana neraka di mana orang saling membenci meskipun mereka sama-sama menjalani hukuman yang sama. Kita sendiri masih sangat digemparkan oleh pembunuhan liar yang terjadi di dekat kita, baik dalam waktu maupun dalam tempat. Di lain pihak kita menghibur diri dengan pikiran akan orang yang berkehendak baik, semua punya kehendak baik, semua cukup baik.
Kita tak pernah berhasil mencapai kedua pendapat itu sampai ke dasarnya dan menunjukkan keduanya. Kita terombang-ambingkan antara sikap moralitas yang meratapi dan sikap longgar yang mau memahami semua orang. Sering kali kita tidak memiliki pandangan yang mampu melihat kejahatan manusia dengan belas kasih, dan bukan hanya dengan ratapan pesimis.
Manakah sebenarnya tingkat-tingkat kegelapan yang dibicarakan oleh Paulus dalam surat-menyuratnya pada waktu ia memikirkan kembali apa yang dialaminya pada saat pertobatannya ?
Kita dapat mengungkapkannya menurut tiga tingkat yang berbeda-beda, yaitu :
· tingkat dosa pribadi
· tingkat dosa dasar
· tingkat dosa struktural
(Le Confessioni di Paulo, oleh Mgr.Carlo Maria Martini, Uskup Agung Milano, diterjemahkan oleh : Frans Harjawiyata OSCO)

Tidak ada komentar: