8/06/2008

IA TAK DAPAT MENYELESAIKAN KATA ITU ...

Hari itu tanggal 8 Juni 1975, di ruang lokomotif jarum speedo meter dengan getaran menunjuk angka 70. Rel kereta api yang merentang antara kota-kota Bavaria di sebelah atas yaitu antara Schaftlachdan Warngau menyerupai tangga raksasa yang tergeletak.

Telah beberapa hari hujan, ramalan katak-katak cuaca dan mahluk berkulit hijau lainnya bagaikan ahli cuaca yang meramal ramalan cuaca ternyata betul. Angin kencang tapi masih normal yang datang dari timur dan menyapu awan yang tergantung di langit biru.

Sekarang ketika matahari dengan segala keagungannya pelan-pelan mendekati horizon barat, beberapa orang yang bergembira sedang berjalan pulang setelah mengunjungi teman atau sehabis rekreasi.

Orang-orang yang bepergian ini mengambil keuntungan dari hari yang cerah ini untuk melarikan diri dari lembah di kota besar Munich. Mereka sedang memikirkan tentang jam-jam yang menyegarkan yang akan mereka alami dari rekreasi ini. Beberapa dari mereka tentunya sudah mempertimbangkan dalam pikiran mereka tentang masalah-masalah yang sedang menunggu mereka dalam minggu yang mendatang di tempat-tempat usaha mereka.

Pintu dorong dari salah satu ruang kereta dibuka, seorang kondektur yang gemuk muncul, memakai selempang merah berkilap di atas dadanya. Dengan membawa alat pembolong tiket ia berjalan melalui gang-gang sempit di antara tempat duduk dengan mengulang-ulang : “Tolong tiketnya, tolong tiketnya !”.

Seorang pemuda melihat ke atas dari balik buku teka-teki silangnya dan menunjukkan tiketnya, janggutnya pirang, keriting dan panjang sebahu, mengingatkanku kepada potret diri dari seorang yang termasyur, Albrect Durer.

“Di mana aku meletakkan tiketku ?” seorang wanita tua yang duduk di seberang Durer bertanya pada dirinya sendiri, ia lalu mulai mengaduk-aduk tasnya.

“Jangan buru-buru” kata kondektur itu dengan manis.

Segala macam barang muncul, sapu tangan, kaca mata, serenceng kunci, surat-surat keterangan pribadi, dan akhirnya sebuah dompet dengan tiket di dalamnya. Pada saat yang sama sebuah rosario jatuh ke lantai, sebuah salib dari eboni dihubungkan ke rangkaian butir-butir manik-manik itu, manik-manik Bapa Kami terbuat dari perak dan manik-manik lainnya terbuat dari mutiara biru putih.

Si pemuda membungkuk dan memungut manik-manik itu, “Ketika aku kecil, aku mempunyai maskot kecil seperti ini”, ia berkata sembil membandingkan Rosario dengan jimat-jimat bodoh dan potongan barang yang membawa keuntungan yang banyak dipakai orang. Ia melanjutkan : ”Siapakah di dunia ini yang masih akan memakai ros......” Ia tak dapat menyelesaikan kalimatnya, pada saat itu kereta api dengan kecepatan penuh menabrak kereta api lainnya yang melaju dari arah yang berlawanan.

Tabrakan yang menyeramkan itu merubah suasana dalam dari kereta api itu menjadi suatu daerah bencana, ada jeritan, suara tabrakan, gemuruh, ledakan dan kaca-kaca jendela yang pecah memekakkan telinga. Rak-rak tempat barang dan tiang-tiang penyangga saling bertumpuk, mengkait, dsb ini seperti segala sesuatunya akan dihancurkan dan digilas sampai hancur berkeping-keping.

Ketika kereta terhenti, tubuh-tubuh korban tergeletak di sana-sini, mereka telah dikirim pada perjalanan panjang di mana tak ada jalan untuk kembali lagi.

Ketika terbangun dari pingsan sejenak, si pemuda merasa dadanya sakit tertusuk, darah mengalir dari luka terbuka yang menganga di wajahnya. Ia mendengar suara-suara jeritan dari mereka yang selamat dan terluka, ia sendiri tak dapat melepaskan diri dari ketakutan, yaitu ketakutan bahwa ia akan mati. Tangannya masih memegang rosario milik wanita tua tadi, baru beberapa menit yang lalu ia mengolok-olok rosario itu sebagai maskot yang menggelikan, sekarang ia membutuhkannya, ia mulai berdoa.

Tiga puluh sembilan orang tewas dalam kecelakaan kereta api pada tanggal 8 Juni 1975, di antara mereka, si pemuda itu tidak termasuk di dalamnya.

Empat minggu kemudian ia baru keluar dari rumah sakit, si pemuda tersebut baru sembuh dari gegar otak dan luka-luka dalam. Ia tidak tahu apakah wanita tua itu masih hidup atau sudah meninggal, tetapi ia mulai mencari informasi mengenai wanita tua itu dan berusaha untuk mencarinya. Akhirnya ia menemukan dia di rumah sakit Munich.

Pemuda itu sekarang sudah bertobat, ia mengembalikan rosario itu kepada wanita tua itu dengan mengucapkan banyak terima kasih.

(Diceritakan oleh : Pastor P.Karl Maria Harrer)

Tidak ada komentar: