Berikut ini adalah kesaksian iman dari salah seorang pengajar kami di Institute for Pastoral Theology, Ave Maria University. Dr. Lawrence Feingold, STD adalah seorang Doktor Teologi yang sangat luar biasa, bukan saja dalam hal mengajar, tetapi juga dalam kesehariannya sebagai seorang Katolik. Ia sangat mendalami ajaran St. Thomas Aquinas, sehingga dapat mengajarkan kepada kami dengan begitu sangat menyakinkan tentang keberadaan Allah, Yesus Kristus, dan tentu saja, Gereja Katolik dan pengajaran Gereja. Di balik semua kelebihannya mengajar, Dr. Feingold ini adalah sosok pribadi yang sederhana, sangat rendah hati dan juga murah hati. Sungguh, ia hidup sesuai dengan apa yang diajarkannya. Semoga kesaksian imannya ini menjadi berkat buat kita semua (Editor).
Saya dibesarkan sebagai seorang atheis. Ayah saya adalah seorang Yahudi, dan ibu saya seorang Protestan, tetapi keduanya tidak pernah mempraktekkan iman mereka, meskipun sesekali kami pergi ke kebaktian gereja Unitarian. Meskipun ayah saya melepaskan agama Yahudi setelah masa Bar-Mitzvah (umur 13 tahun), saya dibesarkan dengan identitas sebagai seorang Yahudi, bersamaan dengan keluarga dari pihak ayah saya. Istri saya, Marsha, juga seorang Yahudi, yang walaupun dibesarkan di lingkungan Yahudi, namun akhirnya melepaskan agama Yahudi setelah kuliah. Kesaksian ini saya buat, untuk menjelaskan bagaimana sampai akhirnya saya dapat berdoa, untuk pertama kalinya, saat saya berumur dua puluh sembilan tahun, saat saya dan Marsha tinggal di kota kecil di Italia, Tuscany, pada saat saya menjadi seniman pematung batu marmer. Sejak saat itu hati saya terus dipenuhi keinginan untuk mengenal Tuhan, yang akhirnya membawa saya ke pangkuan Gereja Katolik.
Tuhan tentu dapat memakai segala cara untuk membuat kita tunduk di hadapan-Nya dan berdoa. Namun, yang paling umum adalah melalui kesulitan dan masalah yang kita alami, yang mengingatkan kita pada Salib, yang melaluinya Yesus telah menebus dunia. Dalam hidup kami, salib itu bukanlah hal yang terlalu besar dan istimewa. Kuasa Tuhan sering kali dinyatakan dengan mendatangkan hal-hal yang besar melalui hal yang sederhana. Tuhan sesungguhnya telah mempersiapkan saya tentang hal ini melalui studi dan pekerjaan saya sebagai seniman, meskipun pada saat itu saya tidak menyadarinya…
Saya beruntung dapat belajar Art History dari Norris K. Smith, seorang professor di Universitas Washington. Beliau mengajarkan agar kami melihat seni sebagai ekspresi tentang Tuhan, manusia dan dunia. Setiap karya seni yang baik menyatakan bentuk yang indah, pandangan dunia, dan juga realitas alam yang baik. Karya-karya seni yang terbaik didukung oleh realitas alam dan kemanusiaan yang baik dan seimbang, sedangkan keburukan karya seni sering berhubungan dengan penurunan nilai-nilai di jaman itu. Di jaman modern ini, terjadi penurunan nilai kemanusian yang tidak lagi melihat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki martabat yang tinggi, dan hal ini terlihat dari karya seni jaman modern yang arahnya menunjukkan kesemerawutan atau kekosongan yang ekstrim. Tanpa saya sadari refleksi ini mengendap di dalam pikiran saya. Saya menjadi semakin sadar bahwa ‘dehumanization’ di dalam Art/ karya seni modern itu disebabkan oleh menghilangnya iman Kristiani di dalam masyarakat karena akibat sekularism.
Saya ingat pada waktu saya mengunjungi kapel Sistina (Vatican), sesaat sebelum saya bertobat, saya mengagumi lukisan ‘Penghakiman Terakhir’ di dalam kapel, padahal pada waktu itu saya masih seorang atheis! Saya (dan mungkin juga para turis lainnya) memandang lukisan tersebut tanpa mempertanyakan kebenaran yang dilukiskan di dinding kapel tersebut, seolah-olah lukisan itu hanyalah karya seni semata- mata. Harus saya akui, sedikit demi sedikit saya mulai mengagumi dan menyenangi karya seni Kristiani.
Namun demikian, kekagumanku akan karya seni Kristen tidak membuat saya bertobat, tanpa saya mengalami masalah pribadi. Pada tahun 1988, Marsha istriku mengandung anak kami yang pertama dan ia mengalami kecemasan-kecemasan yang di luar batas kewajaran tentang kehamilannya. Ia menjadi uring-uringan, dan pada suatu saat ia berkata pada saya bahwa ia tidak ingin hidup lagi. Saya tidak dapat memahami hal ini, dan saya mengalami bahwa saya tidak punya solidaritas di dalam hati saya terhadap kesulitan istriku ini. Hal tersebut membuat saya merenungkan akan keterbatasan kasih saya kepadanya, dan secara umum hal ini membawa saya menyadari akan terbatasnya kasih manusia. Betapa sesungguhnya manusia (dalam hal ini istri saya) merindukan untuk dikasihi sebagai mana adanya, dan saya sungguh hampir tidak dapat melakukannya!
Renungan ini membawa saya berpikir, bagaimana sampai kita sebagai manusia dapat mempunyai keinginan untuk dikasihi sampai sedemikian, jika tidak ada Tuhan? Jika tidak ada Tuhan yang dapat mengasihi kita seperti Bapa, maka kehausan kita untuk dikasihi dan mengasihi akan menjadi sia-sia dan percuma, sebab tidak akan dapat terpenuhi. Di sini pulalah saya menemukan arti kasih sejati sebagai pasangan, yaitu untuk melihat pasangan saya sebagai mana adanya, yang walaupun lemah namun layak dikasihi, dan hanya kasih sejati yang dapat melihat hal ini. Ya, istriku layak kukasihi, meskipun hal itu di atas kemampuanku untuk mengasihinya. Pemikiran ini membuat saya menyadari bahwa Tuhan harus ada, sebab hanya Tuhan saja yang dapat mengasihi setiap manusia sebagaimana adanya.
Jika Tuhan tidak ada maka keberadaan kita sebagai manusia tidak ada artinya. Tidak mungkin manusia itu hanya sebagai ‘produk kagetan’ yang dihasilkan oleh kebetulan yang buta, ataupun hasil ‘kecelakaan’ semata, seperti yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh atheis seperti Jean-Paul Satre. Jadi, manusia pastilah merupakan hasil dari kasih ilahi, dan manusia direncanakan untuk mengambil bagian dalam kasih ilahi itu, asalkan mau menanggapi panggilan tersebut.
Saya menjadi sangat yakin bahwa Tuhan itu sungguh ada di dalam kehidupan manusia. Saya menjadi sadar bahwa kemampuan untuk mengasihi sesungguhnya datang dari Tuhan. Dan untuk memperoleh kemampuan untuk mengasihi itu saya harus berdoa. Sungguh, sampai saat inipun saya tidak dapat menjelaskan bagaimana saya memperoleh keyakinan seperti itu, selain percaya bahwa hal itu disebabkan karena rahmat Tuhan. Oleh rahmat itu, saya disadarkan bahwa manusia diciptakan sesuai dengan gambaran Allah sehingga dapat mengambil bagian di dalam sifat Allah yang paling khas, yaitu mengasihi.
Dengan keyakinan ini saya mencoba berdoa untuk pertama kalinya di dalam hidup saya. Ketika saya naik kereta api ke Florence untuk berdoa di Duomo yang dibangun oleh Brunelleschi, saya tidak membayangkan agama Kristen, tetapi saya juga tidak menentangnya. Di sana saya hanya berdoa: “…Tuhan, ajarilah aku mengasihi, ajarilah aku menjadi terang buat orang lain….” Saya tidak tahu kenapa saya berdoa demikian, namun sampai sekarangpun saya masih menyukai doa tersebut.
Tuhan ingin agar kita berdoa, dan jika kita berdoa, Ia melimpahkan rahmat-Nya pada kita. Setelah berdoa demikian, saya teringat akan Mazmur 2 : “Engkau adalah Anak-Ku! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Meskipun saya seorang atheis, saya mengetahui Alkitab melalui kuliah Art dan studi perbandingan antar agama yang menjadi minat saya. Pada saat itu saya mengerti bahwa perkataan tersebut ditujukan oleh Tuhan Allah Bapa kepada Yesus PuteraNya, namun juga kepada saya (dan orang-orang lain) di dalam Kristus Putera-Nya, yang diangkat menjadi anak-anak angkat Allah.
Setelah berdoa demikian, saya tahu bahwa saya harus menjadi seorang Kristen. Sebelum saat itu, saya sesungguhnya sudah sangat menghormati figur Yesus, Kisah sengsara-Nya, ajaran Delapan Sabda Bahagia dan khotbahNya di bukit, tetapi saya tidak dapat memahami hubungan-Nya dengan saya secara pribadi, hubungan-Nya dengan seluruh umat manusia, dan apakah Dia itu sungguh-sungguh Tuhan. Saya rasa sikap saya ini mirip dengan sikap kebanyakan orang Yahudi yang kebetulan membaca Kitab Perjanjian Baru.
Namun setelah doa ini, hubungan saya dengan Yesus menjadi sangat berbeda. Saya seolah-olah diperkenalkan dengan misteri kasih Allah Bapa dan Allah Putera, yang sesungguhnya berkaitan dengan keinginan semua orang untuk dikasihi sebagai anak-anak Allah. Allah Putera sesungguhnya telah menjadi manusia yang berkebangsaan Yahudi, wafat di salib, sehingga semua orang, baik Yahudi maupun bangsa lain, dapat menerima karunia kasih-Nya dan diangkat menjadi anak-anak Allah. Meskipun pada saat itu saya belum mengerti sepenuhnya, namun kesadaran dan pengalaman saya bahwa kasih-Nya mengangkat saya menjadi anak-Nya, merupakan sesuatu yang tak terlupakan. Pengalaman tersebut menjadikan saya seperti ‘lahir baru’, membawa saya pada pertobatan akan dosa-dosa saya dan mendatangkan suka cita yang tak terlukiskan!
Saya membagikan pengalaman ini kepada istri saya, Marsha, dan kami sepakat untuk menjadi Kristen. Namun demikian, tidak jelas bagi kami saat itu, kami harus masuk ke Gereja mana. Keraguan kami berlangsung sampai 6 bulan. Pikiran saya terombang- ambing antara iman Gereja Katolik dan pendapat umum gereja Protestan yang menolak institusi Gereja, seperti yang sering saya dengar sejak kecil.
Lagi-lagi, seni dan kebudayaan Kristen membantu saya untuk membuat keputusan. Sekitar satu bulan setelah pengalaman awal pertobatan saya, saya mengikuti Misa kudus di paroki dekat kami tinggal. Homili pada waktu itu disampaikan oleh Archbishop dari Pisa, untuk menghormati Bunda Maria, yang lukisannya pada waktu itu dipajang di gereja. Homili tersebut menceritakan Bunda Maria sebagai Hawa yang baru, yang oleh ketaatannya memulihkan ketidaktaatan Hawa, dan karenanya membuka gerbang bagi Inkarnasi Tuhan Yesus. Inilah yang melahirkan devosi kepada Bunda Maria.
Namun, walaupun saya telah menerima rahmat dalam Misa tersebut, saya masih bergumul dengan kepercayaan saya terhadap kehadiran Yesus yang nyata di dalam Ekaristi. Tanpa saya sadari, pendapat gereja Protestan cukup mempengaruhi saya. Ada saatnya saya percaya pada pengajaran Gereja Katolik, dan hati saya dipenuhi oleh syukur dan suka cita, namun ada juga saatnya saya meragukannya, dan hati saya menjadi sangat sedih karena itu. Di satu sisi saya percaya bahwa Kristus tidak akan pernah meninggalkan Gereja dan membiarkannya disesatkan oleh manusia, namun harus kuakui saya kadang ragu, apakah penyertaan-Nya dinyatakan di dalam Ekaristi. Pergumulan saya ini terjadi berkali-kali: suka cita datang karena iman kepada Gereja Katolik, dan duka cita pada saat saya masih meragukan iman tersebut.
Demikianlah, meskipun dalam pergumulan, saya terus merasa bahwa melalui Gereja, Tuhan terus bekerja di dalam sejarah manusia. Lambat laun saya percaya bahwa karya Tuhan tersebut dinyatakan di dalam sakramen, terutama Ekaristi. Tanpa Gereja, dunia ini sudah ‘ditinggalkan’, karena Alkitab memang menceritakan tentang teladan Yesus dan segala perbuatan-Nya, namun kehadiran-Nya dan pengudusan-Nya secara nyata terdapat di dalam Gereja. Dengan keyakinan ini, akhirnya saya dan Marsha memutuskan untuk dibaptis, dan kami memilih dibaptis di gereja Anglikan. Kemudian saya menjajaki kemungkinan untuk menjadi imam/ pastor Anglikan atau Episkopalian.
Namun rupanya Tuhan berkehendak lain. Tak lama setelah dibaptis, saya datang ke British Library di Florence, dan saya melihat buku yang berjudul The Newman Reader, yaitu koleksi tulisan-tulisan Kardinal John Henry Newman. Begitu saya mulai membaca, saya langsung tertarik. Saya membaca autobiografi Kardinal Newman, Apologia pro vita sua, dan tulisannya yang terkenal, Essay on the Development of Christian Doctrine, yaitu tulisan yang menghantarkannya untuk beralih dari seorang pemeluk Anglikan menjadi seorang Katolik.
Pada saat itu, saya mulai mempelajari Katekismus Gereja Katolik, yang ditulis oleh Fr. Hardon. Dengan membaca kedua buku ini, saya berketetapan untuk menjadi seorang Katolik. Saya segera memberitahukan hal ini kepada Marsha. Ia cukup terkejut, namun akhirnya iapun setuju untuk bersama-sama masuk ke Gereja Katolik. Maka, saya menghubungi Pastor paroki kami di Long Island, pada tanggal 8 Desember 1988, yaitu hari raya Bunda Maria dikandung Tanpa Noda. Akhirnya kami resmi menjadi Katolik pada tanggal 25 Maret 1989, pada Perayaan Ekaristi Malam Paskah.
Orang mungkin bertanya, pernyataan Kardinal Newman yang mana yang membawa saya pada iman Katolik? Seingat saya adalah prinsip yang disebutnya sebagai “dogmatic principle” : bahwa terdapat kepenuhan kebenaran yang objektif yang datangnya dari Tuhan sendiri dan bukan dari manusia. Dan untuk sampai ke sana, kita tidak saja harus memohon dan berdoa dengan tekun, tetapi juga dengan menerimanya dengan ketaatan. Kedua, Kardinal Newman mengatakan bahwa Gereja perlu dibekali oleh otoritas dogmatik yang kelihatan agar dapat terhindar dari gerbang neraka dan serangan manusia yang skeptis dan yang mengikuti keinginan sendiri. Tanpa hal ini, karya Tuhan menjadi tidak lengkap, karena dengan sangat mudah Gereja akan terbawa arus jaman. Jika Tuhan sudah mau berpayah-payah menjadi manusia untuk menyatakan kebenaran-Nya yang menyelamatkan, dan wafat di salib untuk semua orang, tentunya Ia-pun mau berpayah-payah menjaga kehadiran-Nya di dunia, dan menjaga agar ajaran-Nya tidak disesatkan oleh manusia.
Lalu, otoritas mengajar yang mana yang ditetapkan Yesus? Hal ini tentu tidak sulit ditemukan, jika hati kita mau terbuka. Jika Tuhan mendirikan Gereja-Nya atas Petrus, maka otoritas mengajar ini diberikan kepada Petrus dan semua penerusnya; sebab Yesus berjanji, “Engkau adalah Petrus (batu karang), dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku, dan alam maut tidak akan menguasainya.” Organisasi mana yang dapat meng-klaim sebagai Gereja yang didirikan di atas Petrus? Hanya Gereja Katolik yang mempunyai klaim demikian, dengan bukti sejarah selama 2000 tahun, melalui rantai kepemimpinan Paus yang tak terputus, yang memimpin Gereja atas dasar iman para rasul. Hal ini hanya dimungkinkan oleh bantuan istimewa dari Allah sendiri.
Dan, jika Kristus telah mendirikan otoritas Gereja, apakah yang harus kita lakukan selain dari tunduk mentaatinya? Jika tidak demikian, bukankah artinya kita memberontak dari Allah dan menolak karunia terang iman dari Allah? Setelah memasuki Gereja Katolik pada tanggal 25 Maret 1989, dengan rahmat Tuhan, saya menjadikan perkataan Kardinal Newman sebagai perkataan saya sendiri:
Sejak saya menjadi Katolik, saya tidak punya lagi sejarah mengenai pendapat religius secara pribadi. Bukan berarti pikiran saya jadi berhenti, atau saya tidak lagi memikirkan hal-hal Theologis, tetapi saya tidak perlu merekam perubahan-perubahan ajaran, dan saya tidak lagi merasa gelisah karena apapun juga. Saya selalu ada dalam damai dan puas, karena saya tidak lagi merasa ragu…. Saya seperti kapal yang kembali ke pelabuhan setelah melalui badai di lautan; dan kebahagiaanku karenanya tetap tak terputuskan sampai pada hari ini.
Kedamaian di hati yang sedemikian dialami oleh semua orang yang memasuki atau yang kembali ke pangkuan Gereja Katolik, asalkan mereka terus berjuang memahami “dogmatic principle” tersebut. Kami memasuki Gereja Katolik karena yakin bahwa inilah Gereja yang didirikan oleh Tuhan sendiri. Kami percaya akan segala ajaran Gereja, karena Gereja mengajarkannya dengan otoritas penuh yang diberikan oleh Allah, dan karenanya, Gereja berbicara atas nama Tuhan, sebagai kelanjutan dari misi Kristus di dunia.
Kata orang, banyak orang Yahudi yang menjadi Katolik merasa sedih sebab mereka menganggap tradisi Yahudi sebagai suatu pengkhianatan terhadap Yesus. Kami tidak pernah mengalami hal ini. Sebaliknya, saya malah mengalami ketertarikan pada tradisi Yahudi yang tak pernah saya alami sebelumnya. Saya tidak pernah mempelajari bahasa Ibrani semasa kanak-kanak, namun sekarang, saya menikmatinya setelah saya menjadi Kristen, karena dengan bahasa Ibrani, bahasa yang digunakanoleh Bangsa Pilihan, saya dapat mendaraskan Kitab Mazmur.
Dalam tahun pertama setelah Pembaptisan saya, banyak orang bertanya, mengapa saya menjadi pemeluk Kristen Katolik, kenapa bukan agama Yahudi, Buddha, Islam atau Protestan. Pertanyaan demikian sesungguhnya ada dalam kerangka religious liberalism, seolah-olah agama hanya merupakan pilihan pribadi. Namun bagi kami, bukan karena kami yang memilih, namun Tuhan yang telah memilih untuk menyelamatkan kita melalui Inkarnasi dan Penebusan dosa oleh Yesus Kristus di kayu salib, yang kini diteruskan dan dihadirkan kembali di dalam Gereja Katolik. Tuhanlah yang memanggil kami untuk memasuki bahtera keselamatan-Nya tersebut. Kita semua yang telah diberikan rahmat untuk mendengar dan menerima Dia, tanpa jasa kita sendiri, memiliki tugas untuk berdoa bagi mereka yang belum memperoleh rahmat itu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar