Di lorong-lorong rumah sakit yang besar itu ada satu pemandangan yang biasa, yaitu orang didorong, ada yang duduk di kursi roda, ada yang terbujur di tempat tidur. Mereka sakit, dan perawat mendorong mereka, mungkin ke kamar bedah atau dari kamar bedah kembali ke ruang perawatan, mungkin ke baboratorium atau kembali dari sana.
Satu per satu didorong oleh orang lain karena mereka sakit dan lemah, dan tidak mampu berjalan sendiri ke tempat yang dituju, mereka tidak berdaya melangkah. Puncaknya ialah ketika seseorang didorong ke kamar mayat, waktu itu kita menyaksikan mungkin bukan sekedar kerapuhan manusia, tetapi satu jawaban terdalam atas pertanyaan siapakah manusia itu. Jawaban itu berbunyi “manusia adalah mahluk yang didorong”.
Dari sudut pandang tujuan dan asal usulnya, jawaban atas pertanyaan siapakah manusia pasti lain. Tetapi dari sudut pandang dinamika dan gerak langkahnya manusia adalah mahluk yang didorong. Ia bergerak maju karena didorong dari belakang. Masa awal hidupnya ketika ia masuk ke dunia dan saat akhir ketika dia meninggalkan dunia ini, mengungkapkan secara paling jelas bahwa manusia maju menuju sasaran karena didorong oleh kekuatan lain dan bukan oleh kekuatannya sendiri.
Ketika Fransiskus merenungkan dinamika gerak langkahnya sendiri, ia mulai mengambil jarak terhadap dirinya, dan mengamati bagaimana dirinya itu melangkah maju. Ia tidak melangkah kalau tidak didorong dengan kuat. Dengan rasa humor yang tinggi ia menyebut dirinya “Saudara Keledai”. Ia malas, tukang menggerutu dan berontak, maka perlu disepak dari belakang dan dicambuki dengan disiplin dan penitensi yang keras. Kemudian Fransiskus merasa perlu meminta maaf kepada “Saudara Keledai” karena ia telah memperlakukannya terlalu keras.
Apakah yang oleh Fransiskus dialami sabagai “keledai” yang malas dan manja itu seluruh diri Fransiskus ? atau hanya beban dan daging yang menjadi sarang dorongan-dorongan yang memusat pada diri sendiri ? Tentu saja Fransiskus tidak boleh dipenggal-penggal. Tetapi ketika dia berbicara tentang “Saudara Keledai”, kita melihat ada Fransiskus “kusir” yang memacu dan mendorong, dan ada Fransiskus “keledai” yang dipacu dan didorong. Roh memang kuat, tetapi daging itu lemah (Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan; roh memang penurut, tetapi daging lemah. – Mrk 14:38). Rupanya roh yang kuat itu menguasai Fransiskus dan menjadi daya dorong bagi si keledai.
Sabagai manusia sejati, Yesus sendiripun ditampilkan sebagai mahluk yang didorong untuk melangkah masuk ke peristiwa-peristiwa besar dalam hidup-Nya. Di sungai Yordan Ia dibaptis, Roh Kudus turun ke atas diri-Nya dan Ia dimaklumkan oleh Allah sebagai Anak-Nya yang terkasih dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa, terbukalah langit (dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: "Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan." – Luk 3:21-22).
Setelah peristiwa “pelantikan” itu, Roh yang mendorong Yesus ke padang gurun (Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun - Luk 4:1). Di sana Ia berdoa dan berpuasa dan mengalahkan godaan-godaan si jahat. Dari sana Roh mendorong Dia kembali ke Galilea (Dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea – Luk 4:14). Di kampung halaman-Nya sendiri Roh Tuhan yang memenuhi diri-Nya mendorong Dia untuk memaklumkan program hidup dan karya-Nya, yang kemudian terlaksana dalam tiga tahun. Yesus bukan keledai yang rewel, tetapi yang jelas bahwa Ia pun perlu didorong oleh daya Ilahi yang disebut Roh Kudus.
Renungan ini membawa kita ke pertanyaan ini “apakah manusia bisa memimpin dirinya sendiri ? “ Pertanyaan itu bernada pesimistis, meragukan kemampuan manusia. Kalau dijawab “tidak bisa”, mungkin kita meremehkan dan merendahkan manusia, tetapi kalau dijawab “bisa”, kita berhadapan dengan seribu satu contoh kegagalan dan kesesatan yang dialami oleh mereka yang merasa diri mampu memimpin diri sendiri.
Fransiskus yang telah mengenal dirinya sedalam-dalamnya, yakin bahwa keledai yang malas harus didorong, dan kuda yang emosional harus terus dipacu dan dikendalikan dengan kekang. Dan daya pendorong itu hanya satu, yaitu “Roh Tuhan”. Maka kesimpulan dan pesan Fransiskus ialah : “Hendaknya saudara hanya ingin memiliki Roh Tuhan di atas segala-galanya, dan membiarkan Dia berkarya di dalam dirimu.” Dorongan Roh Tuhan dihayatinya melalui ketaatan, sampai matinya ia mau menjadi bawahan seorang guardian, malahan ingin menjadi bawahan semua orang dan semua mahluk. Suara mereka ditaatinya sebagai dorongan dari Roh Tuhan sendiri, Roh Tuhan itu disebut Fransiskus sebagai “minister jenderalnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar