Oleh : Pastor Joseph Brioderick
Nyonya Grove mempunyai suatu perkawinan yang sulit, ia bertemu dengan suaminya di kelas Katekismus di sebuah paroki di sebelah utara Jepang. Mereka dibaptis, jatuh cinta, lalu menikah. Beberapa tahun kemudian, mereka pindah ke selatan, ke kota Kuwamoto dengan anak tunggal mereka, seorang putri.
Suaminya senang minum minuman beralkohol dan sebagai akibatnya ia tidak pernah cukup makanan maupun sandang untuk istri dan anaknya. Dalam keadaan mabuk ia sering memukul istrinya, dan Nyonya Grove selalu datang ke gereja sesering mungkin, tetapi suaminya telah meninggalkan gereja selama bertahun-tahun semenjak ia minum minuman beralkohol.
Pertama kali aku bertemu dengan Nyonya Grove adalah setelah putrinya menikah. Sang putri tak tahan atas perilaku ayahnya, jadi ia merasa senang karena dapat pindah secepat mungkin. Nyonya Grove adalah seorang wanita yang pendiam dengan wajah cantik dipenuhi kerut-kerut penderitaan. Ia akan datang ke Misa kalau ia tidak memar pada bagian matanya dan dapat berpenampilan yang pantas. Setelah itu ia akan pergi diam-diam sebelum seseorang dapat bercakap-cakap dengan dia.
Pada suatu Senin pagi, aku terkejut melihatnya di bangku belakang pada Misa, ia sedang menangis, aku tahu bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi, jadi setelah Misa aku langsung mendatanginya.
“Ada apa ?” aku bertanya, “Pastor, suamiku memukuli aku tanpa sebab kemarin malam, pasti ia mabuk, tetapi aku tidak dapat menahannya lagi. Aku akan meninggalkannya, aku menelpon kakakku di utara dan ia berkata supaya aku datang ke sana segera, aku datang ke sini pagi ini untuk memperoleh kekuatan.”
“Kedatanganmu bukanlah hal yang kebetulan,” aku berkata, “ingatkah kamu akan bacaan peratma pagi hari ini ?”
“Ya, sesuatu tentang Abraham yang meninggalkan rumahnya, betulkah itu ?”
“Ya, tentang Allah yang menyuruh Abraham untuk meninggalkan negrinya, keluarganya dan rumahnya, untuk menuju ke tanah yang akan Allah tunjukkan. Dan Allah berjanji akan memberkatinya di sana.”
Aku sedang dalam keadaan semangat yang tinggi sekarang, “Tidakkah anda pikir, bahwa Allah mempunyai rencana dengan anda untuk mengunjungi Misa pagi hari ini ? supaya anda juga dapat mendengar kata-kata itu dan seperti Abraham, meninggalkan semuanya dan pergi ke negeri yang Allah telah sediakan bagi anda, rumah kakak anda di utara ?”
“Tahukah Pastor ?” ia berkata, “ketika aku mendengar bacaan yang tadi dibacakan, aku memang merasakan seperti itu juga. Tetapi aku tidak tahu apakah itu sebuah interpretasi yang betul atau tidak.”
Masih dalam semangat yang tinggi, aku meyakinkan dia bahwa itu betul, dan tidak ada seorang istri yang dipukuli suaminya wajib tinggal bersama suaminya, dan tidak ada seorang suami yang memukuli istrinya sekejam itu, patut mempunyai istri yang tinggal bersamanya. Ia menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
“Aku akan pulang dan berkemas, lalu pergi.”
Setelah ia meninggalkan gereja, aku tetap duduk di bangku gereja, aku bersyukur kepada Allah dan untuk bacaan pertama pada hari itu, dan untuk membawa wanita itu ke gereja untuk mendengarkan firman itu dibacakan. Aku mohon, semoga Allah menyertai dia dalam perjalanannya dan dalam ketidak-hadiran wanita itu supaya Allah akan membawa sang suami pada pikiran sehatnya. Aku benar-benar merasa senang dan bersyukur karena aku dapat bercakap-cakap dengannya dan membantunya membuat keputusan. Hari itu aku merasa dekat dengan Allah, aku benar-benar merasa bahwa pikiran Allah yang terdalam dengan pikiranku adalah sama.
Tiga hari kemudian, aku terkejut melihatnya di gereja pada sore hari, mengunjungi Sakramen Maha Kudus.
“Anda tidak pergi ?” aku bertanya dengan heran, “apa yang terjadi ?”
“Oh Pastor, sangat senang bercakap-cakap dengan anda pada waktu itu, aku pulang dan berkemas, aku melihat dia tergeletak di tempat tidur. Ketika aku sedang berkemas, lalu aku melihat salib di dinding, ini sangat menyentuh hati saya, Pastor. Bukankah Yesus mati di kayu salib karena cinta-Nya kepada suami saya ? dan bukankah Yesus memintaku untuk mencintainya seperti Yesus telah mencintainya ?”
“Aku melihat sekali lagi kepada suamiku dan merasa kasihan padanya. Kalau aku pergi, siapa yang akan mengurus badut ini ? kalau ia membunuhku, apa ruginya ? kalau sesuatu terjadi padanya ketika aku sedang di utara di rumah kakakku, aku tidak akan pernah memaafkan diriku.”
“Aku datang hari ini untuk bersyukur kepada Tuhan, karena kekuatan yang diberikan-Nya kepadaku untuk tetap tinggal. Tentu Pastor terkejut, karena aku tetap tinggal sedangkan Pastor menyuruh aku pergi.”
Setelah ia pergi, aku tetap duduk di bangku, aku membisu karena melihat iman dan cinta yang ditunjukkan oleh Nyonya Grove. Aku malu dengan diriku sendiri, karena tidak menantang dia untuk berjalan di jalan salib. Aku bersyukur kepada Tuhan, karena Tuhan telah menunjukkan hal demikian kepadaku. Hari itu aku merasa amat rendah dan aku tahu bahwa hatiku dan hati-Nya adalah sama.
Mereka tetap bersama, suaminya sudah tidak minum minuman beralkohol lagi, hidup sederhana dan tidak lagi memukuli istrinya. Sekarang mereka seperti dua kacang polong dalam satu kulit.
“Aku senang aku tidak meninggalkannya,” ia berkata, “aku menikahi dia bukan untuk meninggalkannya, aku belum dapat mengembalikan dia kepada sakramen-sakramennya, tetapi ...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar