10/29/2008

MENGASIHI YANG SAKIT, MENGASIHI KRISTUS

Perempuan Eropa itu mengenakan kain sari, pakaian perempuan India, plus kerudung dengan salib kecil di dada sebelah kiri. Ia berjalan di sepanjang jalan daerah kumuh di Calcutta. Pemandangan di jalan itu memilukan, ia melihat seorang perumpuan yang sedang sekarat di tempat sampah. Tubuhnya sudah digerogoti tikus dan dikerubungi semut. Perempuan itu sudah lebih menyerupai “bangkai” dari pada manusia. Satu-satunya tanda kehidupan yang ada padanya hanyalah keluhan yang lemah dan hampir tidak terdengar. Ia berkata lirih, “Anak saya membuang saya di tempat ini.”

Perempuan Eropa dengan kain sari plus kerudung kebiaraan itu siapa lagi kalau bukan Ibu Teresa. Ia membungkuk dan mengangkat tubuh yang sudah setengah bangkai itu. Ia membopongnya dalam gendongannya dan mencari rumah sakit terdekat untuk minta bantuan. Ia memang sampai ke rumah sakit, tetapi jawabannya sudah bisa diduga, tidak ada tempat untuk mahluk malang itu, yang pasti tidak bisa melunasi ongkos perawatannya. Ibu Teresa bertahan, ia tidak mau beranjak mundur dari situ sebelum orang yang sedang sekarat itu diterima dan dirawat. Akhirnya, perempuan yang sedang sekarat itu diterima, meskipun nyawanya memang tidak bisa lagi diselamatkan.

Kejadian itu bukanlah satu-satunya, para gelandangan mati di jalan-jalan di Calcutta dan tidak ada satu hatipun yang terharu menyaksikannya. Akan tetapi, Ibu Teresa tak bisa tinggal diam, ia mengumpulkan mereke, tetapi di mana harus ditampung ? Rumah sakit tidak punya tempat untuk mereka itu yang betul-betul sakit. Ia pun menghadap Departemen Kesehatan Kota untuk meminta tempat penampungan. Pemerintah kota mengizinkan dia memakai satu ruangan kosong yang bergandengan dengan kuil Dewi Kali, dewi pelindung kota itu. Di situlah, orang-orang gelandangan yang sudah tidak mampu lagi yang hidupnya menggelandang ditampungnya. Ia memang yakin bahwa ia tidak mampu memulihkan nyawa semua orang itu, tetapi paling tidak, ia mau mendampingi mereka dengan “penuh kasih”, agar mereka dapat mati secara layak sebagai manusia dalam rangkulan seorang yang masih bisa terharu dan bergetar hatinya karena kasih akan mereka. Hanya itu yang mau diberikan oleh Ibu Teresa kepada mereka, yaitu “hati yang bergetar dan penuh kasih”.

Yang dikerjakan Ibu Teresa dari Calcutta bukanlah sekedar karya sosial kemanusiaan seperti yang bisa dikerjakan juga oleh pemerintah, atau oleh orang Hindu dan Budha, atau bahkan oleh para pembela hak-hak asasi manusia. Lebih dari itu, apa yang dibuatnya adalah “ibadat”, yaitu penghayatan iman.

“Waktu saya menyentuh anggota badan seorang kusta yang seluruhnya bernanah, saya yakin bahwa saya sedang menyentuh Tubuh Kristus, seperti ketika saya menyambut Sakramen Tubuh-Nya dalam Ekaristi. Saya yakin bahwa saya menyentuh Kristus dalam rupa seorang kusta, keyakinan itulah yang memberikan keberanian kepada saya.”

Kata-kata Ibu Teresa itu mengungkapkan “nilai” karyanya untuk orang sakit, sebagai pernyataan iman dan kasihnya kepada Kristus sendiri. Ia memilih orang yang paling miskin dan malang, yang tidak bisa diharapkan memberikan imbalan apapun. Dengan demikian, semakin nyatalah betapa ia membuat semuanya atas dasar kasih semata, bukan belas kasihan yang bisa amat egoistis, karena pihak yang memberi merasa diri jauh di atas pihak yang diberi. Yang diberikannya adalah kasih semata-mata, kasih Tuhan sendiri yang sifatnya selalu gratis, cuma-cuma. Ibu Teresa tampak bagaikan kasih Allah yang mempribadi, yang memberi hanya untuk memberi, melayani hanya untuk melayani, dan bukan memberi supaya diberi lagi, atau melayani untuk dilayani kembali.

Mungkin karena kasihnya yang total dan gratis, yang terungkap dalam menolong mereka yang paling malang di antara orang-orang malang, maka setiap kata dan perbuatannya terasa punya “daya kekuatan” yang “gaib”, setiap kata yang diucapkannya dan setiap perbuatan yang dilakukannya bergaung begitu kuat dan bergema begitu jauh. Getaran dan gaungnya melebihi getaran dan gaung yang dipancarkan dari semua rumah sakit “misi” yang serba lengkap dengan semua peralatan yang canggih sekalipun.

Pada abad XII, Fransiskus ditangkap oleh Kristus, ia menjawab panggilan itu antara lain dengan pergi ke tengah orang kusta dan membersihkan luka-luka mereka, dengan cuma-cuma, serta menyampaikan kasihnya untuk mereka, gratis !. Pada abad kita sekarang, Ibu Teresa ditangkap oleh Kristus yang sama, ia juga menjawab dengan membersihkan luka-luka orang kusta dan gelandangan, juga dengan cuma-cuma, dan membuat mereka semua merasa bahwa mereka dikasihi, dengan gratis !.

Banyak tarekat yang mempunyai berbagai klinik, bahkan rumah sakit yang cukup modern dan ternama. Memang baik, akan tetapi juga ada risiko, semakin hebat klinik dan rumah sakit kita, semakin banyak uang yang diperlukan untuk menjalankannya. Ekor selanjutnya adalah, semakin tinggi tarif untuk pasien, semakin jauhlah kita dari orang yang miskin. Dengan demikian, Wajah Yesus Kristus menjadi semakin kabur, meskipun mungkin di setiap sudut ada patung Hati Kudus Yesus dan di setiap ruangan bergantung salib Tuhan kita, Yesus Kristus.

(Kuntum-Kuntum Kecil, Butir-Butir Permenungan Saudara Kelana)

Tidak ada komentar: