2/16/2009

HIDUP DI ANGIN


Beberapa “Perantau dan Musafir”, salama beberapa waktu berkelana di suatu daerah yang agak asing. Mereka pergi tanpa motivasi yang tinggi-tinggi. Mereka hanya mau menikmati kebebasan dan keleluasaan bergerak. Bebas dari jam dan bunyi weker, bebas dari dering telepon, bebas dari bunyi lonceng dan segala jenis tanda pengatur tata tertib acara. Malahan mereka mau bebas dari tembok, ubin dan kamar mandi.

Karena itu, mereka pergi tanpa arloji, penunjuk waktu mereka adalah matahari, bulan dan bintang-bintang serta binatang siang dan binatang malam. Pengatur acara lonceng-lonceng dalam tubuh sendiri. Misalnya kalau cacing-cacing mendendangkan lagu keroncong, para musafir itu tahu bahwa “kampung tengah” minta diisi. Kalau cacing-cacing itu meniup terompet dan sangkakala, sebaliknya kantong itu minta dikosongkan. Untuk berteduh pada malam hari, mereka membawa kain kemah yang bisa dipasang dan dibongkar setiap kali.

Selama pengembaraan itu, mereka memang bebas. Ah, istilah itu barangkali kurang tepat, bisa menimbulkan salah sangka. Mereka tidak bebas dari Tuhan dan hati nurani, tetapi mereka merasakan keleluasaan dan kelonggaran untuk bergerak. Hidup sehari-hari – yang rupanya menjadi padat dan beku dalam gerak-gerak rutin – terasa mencair dan meleleh. Acara harian yang tertib menjadi relatif dan longgar. Yang terasa akhirnya ialah kesegaran.

Mereka segar untuk masuk kembali ke dalam jaringan hidup rutin yang membatasi gerak mereka. Di situ semuanya mungkin akan kembali menjadi beku dan kaku, tetapi tidak bisa dihindari, hanya bisa dijalani begitu rupa agar tidak menjadi belenggu.

Fransiskus dan para pengikutnya yang pertama rupanya amat cepat dan leluasa dalam bergerak. Dengan kaki telanjang, tahu-tahu mereka sudah ada di Spanyol, Perancis, Inggris, Jerman, Maroko, dan Tanah Suci. Mereka lebih leluasa lagi karena tidak membawa kemah seperti para “perantau dan musafir” modern. Yang mereka bawa hanya buku Ibadat Harian yang diikat dengan tali dan digantungkan di leher, karena mereka tidak membawa tas dan kantong plastik dan saku jubah terlalu kecil untuk buku itu (kata-Nya kepada mereka: "Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju. Dan apabila kamu sudah diterima dalam suatu rumah, tinggallah di situ sampai kamu berangkat dari situ. – Luk 9:3-4).

Mereka mengembara bukan agar mereka merasa lapang dan longgar untuk sesaat terhadap hidup rutin dalam rumah dan di proyek kerja. Yang dicari bukanlah bebas dari ini dan dari itu untuk sesaat, tetapi mereka memang betul-betul tidak diikat oleh apapun. Semuanya sudah mereka tinggalkan dan kini mereka seperti hidup di angin, ke arah mana angin (dan ANGIN) bertiup, ke sanalah mereka terbawa (Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh." – Yoh 3:8). Mereka sebetulnya tidak bergerak sendiri, tetapi mereka bebas UNTUK DIGERAKKAN ke mana saja sesuai dengan arah yang dikehendaki Si Penggerak (Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh – Gal 5:25).

Untuk itu mereka harus memenuhi satu syarat : jangan berakar dalam pekerjaan dan tempat tinggal dari beton, tetapi sebagai musafir dan perantau cukuplah sediakan kemah yang mudah dipasang dan dibongkar..

Kita perlu menjadwalkan kembali karya-karya kita agar lebih sesuai dengan tuntutan kharisma kita serta kebutuhan orang kecil, demikian bunyi laporan diskusi dalam suatu sidang tarekat. Lebih lanjut diberi contoh karya-karya tertentu yang seharusnya ditangani. Namun, kesimpulan pembicaraan sudah bisa diduga, para peserta sidang itu bagaikan satu koor besar, mengulangi refrein yang selalu terdengar. Kita tidak punya tenaga, ada peningkatan anggota, tetapi semua sudah diserap di sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit kita (yang selalu bertumbuh semakin besar dan megah sehingga tenaga tidak pernah mencukupi).

Rasanya, kita sebagai “Perantau dan Musafir”, bukan lagi sebagai orang-orang yang hidup di angin (dan di ANGIN). ANGIN memang berhembus, tetapi kita tidak terhembuskan. ANGIN bertiup keras, tetapi kita tetap berdiri kokoh kuat. Kita telah menancapkan akar dalam hidup dan karya kita yang mapan dan kita mengira bahwa itulah kesempurnaan, tetapi sementara itu kita tidak mau lagi digerakkan.

Nabi Elia memerlukan angin sepoi-sepoi untuk bisa bergerak lagi (1 Raj 19:12), yang kita perlukan adalah angin badai dan puting beliung yang mampu mencabut akar-akar kita, agar kita BEBAS UNTUK DIGERAKKAN.

(Kuntum-Kuntum Kecil, Butir-Butir Permenungan Saudara Kelana)

Tidak ada komentar: