Berfirmanlah Ia kepada Musa: "Naiklah menghadap TUHAN, engkau dan Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel dan sujudlah kamu menyembah dari jauh. (Kel 24:1). Peristiwa-peristiwa Kitab Suci yang paling penting kadang dikisahkan sangat singkat. Di kaki Gunung Sinai dimeteraikan Perjanjian yang akan mengatur kehidupan Israel.
Dua skenario menggambarkan perayaan Perjanjian itu, pertama-tama, Musa dan para panatua Israel menyaksikan kemuliaan Tuhan di atas Gunung Sinai. Kemudian pada waktu Musa kembali, umat memeteraikan Perjanjian dengan suatu kurban agung.
Perjanjian adalah sesuatu yang luar biasa penting, sehingga tidaklah patut bila komitmen umat dijamin hanya oleh pengalaman-pengalaman rohani dari Musa sendiri. Tujuh puluh saksi bisa mengisahkan apa yang mereka lihat sendiri. Mereka mendaki gunung yang mengagumkan dalam kesendiriannya, langit biru yang bening, matahari yang cemerlang, semuanya ini mempersiapkan mereka untuk melihat kemuliaan Allah. Tuhan hadir dan mereka sepertinya melihat Dia, sejauh manusia bisa berjumpa dengan Allah yang hidup, “Yang belum pernah dilihat oleh siapapun” (Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya. - Yoh 1:18)
Sesuai dengan kebiasaan pada zaman itu, kedua pihak yang membuat perjanjian selalu diperciki dengan darah dari kurban-kurban (Kemudian Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: "Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini." – Kel 24:8). Karena mezbah melambangkan kehadiran Tuhan, maka mezbah mendapat recikan darah mewakili Allah (Sesudah itu Musa mengambil sebagian dari darah itu, lalu ditaruhnya ke dalam pasu, sebagian lagi dari darah itu disiramkannya pada mezbah itu. – Kel 24:6). Recikan ini perlu diingat apabila kita membaca, bahwa pada Perjamuan Akhir Yesus bersabda : “Inilah darah-Ku, darah Perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang” (Mrk 14:24).
Dengan loh-loh batu, umat akan melestarikan kenangan akan perjumpaan di Sinai. Bersama dengan kenangan lain, semasa mereka tinggal di padang gurun, kenang-kenangan ini akan disimpan dalam sebuah wadah yang terbuat dari kayu yang mahal, yang disebut Tabut Perjanjian.
Namun, setelah beberapa waktu, umat Israel akan “melupakan komitmen” yang menjadi asal usul loh-loh batu yang bertuliskan Hukum itu. Mereka akan menganggap Tabut Perjanjian sebagai “benda ajaib” yang menjamin, bahwa mereka selalu akan mendapat perlindungan dari Allah (Ketika tentara itu kembali ke perkemahan, berkatalah para tua-tua Israel: "Mengapa TUHAN membuat kita terpukul kalah oleh orang Filistin pada hari ini? Marilah kita mengambil dari Silo tabut perjanjian TUHAN, supaya Ia datang ke tengah-tengah kita dan melepaskan kita dari tangan musuh kita." Kemudian bangsa itu menyuruh orang ke Silo, lalu mereka mengangkat dari sana tabut perjanjian TUHAN semesta alam, yang bersemayam di atas para kerub; kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas, ada di sana dekat tabut perjanjian Allah itu. - 1 Sam 4:3-4).
Oleh karena itu, Tabut akan kehilangan “arti aslinya”, dan karena sering ragu akan Allahnya, manusia hanya bersandar pada “jimat keberuntungan”, dan Allah tidak mempedulikan Tabut Kudus itu, Ia tidak menolong suatu bangsa yang tidak bertanggung-jawab, sebaliknya Allah ingin mendidik mereka dengan menyebabkan mereka membayar ketidak-patuhan mereka. Dengan alasan inilah, Allah tidak menanggapi mereka, dan membiarkan Tabut Kudus itu hilang di tengah-tengah bencana nasional (Lalu berperanglah orang Filistin, sehingga orang Israel terpukul kalah. Mereka melarikan diri masing-masing ke kemahnya. Amatlah besar kekalahan itu: dari pihak Israel gugur tiga puluh ribu orang pasukan berjalan kaki. Lagipula tabut Allah dirampas dan kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas, tewas. – 1 Sam 4:10-11).
Menurut kisah yang tertua, Musa menulis di atas loh-loh batu itu sementara Allah mendikte (Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman. - Kel 34:28). Kisah-kisah kemudian memberi tambahan pada peristiwa itu, seperti biasa, dengan mengatakan bahwa loh-loh batu itu ditulis oleh Allah sendiri (Dan TUHAN memberikan kepada Musa, setelah Ia selesai berbicara dengan dia di gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu, yang ditulisi oleh jari Allah. - Kel 31:18 ; Kedua loh itu ialah pekerjaan Allah dan tulisan itu ialah tulisan Allah, ditukik pada loh-loh itu. – Kel 32:16)
Pertentangan ini hendaknya tidak mengejutkan kita, melainkan harus membantu kita dalam memahami apa artinya “inspirasi Allah” dalam Kitab Suci. Kita tahu bahwa Kitab Suci adalah Sabda Allah, namun sekaligus juga karya mereka yang menulisnya, masing-masing menggunakan gayanya sendiri, sesuai dengan kebudayaan dan wataknya. Kita telah melihat banyak rincian yang aneh, gagasan asli yang menjadi kekhasan suatu zaman dari suatu kebudayaan. Pernyataan di suatu kitab harus diimbangi oleh pernyataan di kitab yang lain. Ajaran yang sah pada suatu waktu akan dibetulkan apabila umat telah melangkah lebih maju. Allah bertanggung-jawab atas kitab secara keseluruhan, tetapi tidak untuk setiap rincian secara sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar