Waktu yang berlangsung antara saat ia diberi kabar oleh malaikat Tuhan dan saat ia melahirkan Yesus, itu bagi Maria suatu masa sukacita penuh ketenangan dan kerinduan.
Yesus sudah dikandungnya, tetapi ia ingin, agar anaknya bertumbuh dan berkembang dan dapat memperlihatkan Diri-Nya kepada ibu-Nya. Maria ingin melihat “dari muka ke muka” yang dikandungnya, “perlihatkanlah wajahmu, perdengarkanlah suaramu” (Kidung Agung 2:14).
Masa Adven Maria
Tidakkah keadaan Maria itu agak mirip dengan keadaan kita ? Dengan menantikan anaknya, Maria menjadi teladan yang baik bagi kita dan bagi setiap orang Kristen. Apa yang kita nantikan, sudah kita miliki, apa yang kita harapkan sudah kita terima pada intinya. Kita di-rahmat-i, Tuhan beserta kita. Karena Roh Kudus-Nya, Ia tinggal di dalam hati kita. Berkat pembaptisan kita berakar dalam kehidupan-Nya. Namun kita ingin melihat Dia, kita bergembira dan bersyukur atas segala yang telah kita terima, namun sekaligus kita merindukan segala karunia yang tersembunyi, agar menjadi nyata dan jelas sepenuhnya. Maria dan setiap orang Kristen yang pantas memakai nama itu, penuh dengan kerinduan berkobar-kobar dan sekaligus dengan suka-cita penuh syukur. Sebab Dia yang telah datang masih tetap akan datang juga.
Kerinduan seluruh dunia akan kedatangan Sang Penebus tercantum dalam kerinduan Maria akan kelahiran anaknya. Maria biasa bergaul dengan Kitab Suci. Warta gembira yang tercantum di dalamnya, dimengerti lebih baik oleh Maria dari pada oleh siapapun. Roh Kudus yang menaunginya, juga mengilhamkan firman suci itu. Maria menyadari, bahwa seluruh Perjanjian Lama tak lain suatu masa adven yang panjang, dan bahwa seluruh kerinduan umat manusia, yang tak terhingga, kini berpusat dalam dirinya. Hatinya penuh rasa takwa, bila ia ingat, bahwa telah tiba saatnya kerinduan umat manusia ini dikabulkan dan janji Allah ditepati.
Seorang ibu yang menantikan kelahiran anaknya, suka mimpi dalam hatinya dengan tenang ia membayangkan bagaimana wajah anaknya. Ia melihat kepada suaminya dan mengharapkan agar ia dapat menemukan kembali dalam anaknya sesuatu dari suaminya. Bagi Maria sedikit artinya kalau melihat kepada Yosef untuk mengetahui sedikit tentang anaknya. Roh Kuduslah yang menyentuhnya dan Dia tidak pernah dilihatnya. Ia tidak dapat membayangkan dengan jelas, bagaimana anaknya nanti. Ia menunggu dan menanti dengan hati terbuka : tidak ada gambar jelas, tidak ada pula suatu batas bagi Maria. Ia membiarkan Allah bekerja bebas dalam dirinya.
Bunda Allah
Anak yang dilahirkan oleh Maria di kandang Betlehem itu bukan seorang manusia kecil yang didiami oleh Allah secara istimewa, sebagaimana kadang-kadang diduga orang, tidak demikian, anak ini Allah. Maria yang melahirkan anak ini, bunda Allah. “Engkau melahirkan Dia yang menciptakan engkau, maka semesta alam tercengang”. Apakah hal ini suatu dongengan yang tak usah dipercaya, indah tetapi tidak benar ? Bukan, ini kenyataan yang pasti :Yesus itu Allah, maka Maria yang melahirkan-Nya bunda Allah. Pada tahun 431, lama sebelum kesatuan Gereja pecah, para bapa Konsili Efesus menyatakan, bahwa Maria berhak digelari “Theotokos – Bunda Allah”.
Tetapi kodrat Ilahi dalam diri Yesus tidak berasal dari Maria, hanya kodrat manusiawi-Nya. Kalau demikian, bagaimana Maria dapat disebut Bunda Allah ? Karena yang dilahirkannya, bukan kodrat, melainkan pribadi. Yesus mempunyai dua kodrat, namun tetap satu pribadi, Pribadi kedua dari Tritunggal Mahakudus.
Setiap anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, sebenarnya selalu lebih dari pada buah yang dihasilkan oleh kedua orang tuanya. Bagi ibunya anak yang dilahirkannya, bukan buah usahanya sendiri saja, melainkan sekaligus karunia Allah. Seorang ibu dengan kekuatannya sendiri hanya dapat melahirkan tubuh yang hidup. Tetapi mahluk baru ini juga suatu pribadi dan itu disebabkan karena Allah. Namun kita tidak ragu-ragu mengakui ibunya sebagai orang yang melahirkan anak itu. Demikian pula Maria itu Bunda Allah. Ia melahirkan Yesus, Pribadi Ilahi, meskipun ia melahirkan-Nya “menurut daging”.
Konsili Efesus menamakan Maria “Theotokos Bunda Allah”. Maka sekaligus konsili itu mengakui, bahwa Yesus Kristus itu Allah yang benar. Pengetahuan kita tentang Maria tidak mungkin dipisahkan dari pengetahuan kita tentang Kristus. Orang yang tidak mengakui gelar “Bunda Allah” bagi Maria sadar atau tidak sadar, mau tidak mau ia menuruti suatu bida’ah kuno, yang menganggap perbedaan antara kedua kodrat dalam Kristus sebagai perbedaan antara dua pribadi, yaitu Pribadi Ilahi dan Pribadi manusia. Bida’ah Nestroriannismus ini tidak dapat memahami kodrat manusa selain sebagai pribadi manusia. Mereka mengira, bahwa Kristus itu baru manusia benar, bila Ia pribadi manusia.
Jangan menilai ini suatu permainan gagasan saja di bidang teologi, sebab kesimpulannya penuh arti bagi iman kepercayaan kita akan rahasia penjelmaan. Nestrorianismus sejauh dikenal dari sejarah tradisional, tidak mengakui bahwa Sabda menjadi daging, sebagaimana dikatakan oleh Kitab Suci, melainkan bahwa Allah mempersatukan diri dengan seorang manusia yang sudah ada. Jadi Allah tidak dilahirkan sebagai manusia, tetapi mempersatukan diri dengan manusia. Tentu ada hubungan erat antara Sabda Allah dan manusia Kristus, namun Sang Sabda tidak menjadi manusia yang benar. Jadi Kristus itu tidak dapat disebut Allah. Santo Sirilus dari Alexandria, dalam suratnya yang kedua kepada Nestorius, menulis : “Tidak ada seorang manusia biasa yang lahir dari Santa Perawan lebih dahulu, dan kemudian Sang Sabda turun atas dia. Tidak demikian, Sang Sabda sudah bersatu dengan daging dalam kandungan Maria, ketika Sabda itu lahir menurut daging. Maka dapat dikatakan, bahwa Sabda menganggap kelahiran dagingnya sebagai kelahirannya sendiri…. Karena itu para bapa konsili tidak ragu-ragu menyebut Santa Perawan sebagai Bunda Allah.” Tulisan Sirilus ini didukung penuh oleh para bapa konsili Efesus itu.
Luther, tidak pernah meragukan ajaran konsili Efesus itu. Ia menulis : “Konsili ini tidak menentukan pokok iman yang baru, hanya mempertahankan iman yang lama, melawan kecongkakan Nestorius yang baru. Pokok ini, bahwa Maria itu Bunda Allah, tetah diterima oleh Gereja sejak semula. Ini bukan penemuan baru yang dibuat oleh konsili, melainkan sudah tercatat dalam Injil atau Kitab Suci. Sebab pada Lukas ada tertulis, bahwa malaikat Gabriel memberikan kabar kepada perawan, bahwa Putera dari Yang Mahatinggi akan lahir dari padanya (Luk 1:32). Dan Santa Elisabeth berkata : “Siapakah aku ini, sampai Ibu Tuhanku datang mengunjungi aku ?” (Luk 1:43). Para malaikat pada malam Natal berkata : Hari ini telah lahir bagi kamu Juruselamat, yaitu Kristus Tuhan (Luk 2:11). Demikian pula Santo Paulus : Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan.” (Gal 4:4). Ucapan-ucapan ini, saya tahu pasti, membuktikan jelas, bahwa Maria itu Bunda Allah.”
Bunda Allah Demi Kita.
Anak yang lahir, masuk ke dalam dunia. Itu berarti pula bahwa Ia berpisah. Peristiwa ini menyiapkan perpisahan-perpisahan lain yang makin berat rasanya. Dengan demikian anak ini akhirnya akan dapat berdiri di kakinya sendiri untuk menemukan panggilannya. Bagi setiap ibu tugas ini berat, kadang-kadang sangat menyusahkan hatinya, karena berulang-ulang harus berpisah dengan anaknya dan memberinya kebebasan, sehingga semakin lepas dari ibunya untuk menempuh jalan hidupnya sendiri. Bagi Maria tugas ini amat berat karena banyak tuntutannya. Ia seorang ibu dalam arti kata sepenuhnya : Yesus itu anaknya, ia berkata kepada-Nya : “Sungguh, engkau tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.” Ia mengasihi Yesus, sebagimana lazimnya seorang ibu, bahkan ia mengasih-Nya lebih lagi, karena ia lebih mampu mengasihi, Ia tidak kena akibat dosa. Dari pihak lain ia menyadari pula, bahwa bukan Yosef, melainkan Allah sendiri Bapa Anak ini dan bahwa Allah telah menentukan Anak ini untuk menyelamatkan dunia dari dosanya. Maria menyadari dan mengetahui, bahwa ia tidak mempunyai hak milik atas Anaknya, sebab Anak itu harus diserahkan kepada dunia. Bethlehem berarti “rumah roti”, Anaknya ini “roti hidup yang turun dari sorga” (Yoh 6:51). Dari detik pertama Maria harus belajar membagi-bagikan roti ini : kepada para gembala, kepada orang Majus, kepada semua orang yang datang untuk melihat Anaknya ini. Maria mengetahui, bahwa ia tidak diberi tugas memegang kuat-kuat Anak ini, namun ia harus memberikan kebebasan kepada-Nya agar supaya Ia dapat menjadi milik dunia.
Maria mulai merasakan, bahwa persetujuan yang diberikannya pada waktu ia diberi kabar oleh malaikat Tuhan, berarti suatu panggilan yang berguna bagi seluruh umat. Panggilan ini memuncak pada saat ia menjadi wanita, sebagaimana dilukiskan dalam buku Wahyu (12:1) “yang berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya”. Melahirkan Yesus berarti membagikan Ekaristi, tanpa batas ia harus membagikannya “dari terbitnya matahari sampai terbenamnya” (Mal 1:11). Mungkin hanya seorang ibu dapat memahami, betapa besar penderitaan dan penyangkalan diri, demi “membagikan” anaknya dari awal sampai akhir dengan tiada putus-putusnya.
Sebagai seorang ibu, Maria bertugas mendidik Anaknya. Ia harus mengajarkan-Nya untuk menjadi milik dunia dan menyerahkan hidup-Nya. Maria berkuasa atas Anak ini, meskipun Ia jauh melebihinya. Kuasa ini suatu sumber kerendahan hati yang baru. Tiada sesuatu yang membuat manusia lebih kecil rasanya, selain kalau ia diberi suatu tugas yang jauh melampaui kemampuannya. Setiap pembimbing rohani yang membimbing seorang yang lebih dekat Allah, akan menyetujui hal ini. Pada masa kita ini, ada orang yang diberi tugas memimpin, tetapi melarikan diri dari pelaksanaan tugas itu, dengan memakai semboyan indah tentang kesamaan orang dan pembagian tanggung-jawab. Maria tidak melarikan diri, ia bersama dengan Yosef mendidik Anaknya dan membimbing-Nya, karena itulah kehendak Allah. Dan Yesus mendengarkan Maria. “Engkau, yang merasa ketaatan sebagai sesuatu yang merendahkan, tidak malukah engkau, engkau yang hanya debu saja, bila melihat bahwa Penciptamu mentaati seorang ciptaan-Nya ?” tanya Santo Bernardus.
(Sumber : Maria Dalam Kitab Suci Dan Dalam Hidup Kita, seri karmelitana-10, by Wilfried Stinissen, Karmelit, penerbit Dioma Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar