7/24/2015

BIARA TRAPIS NOTRE DAME

Oleh : P. Ian Daulton, SDB
Menjelang akhir masa kanak-kanakku, aku sangat tertarik kepada pesawat terbang dan ingin terbang. Untuk itu aku masuk pendidikan pilot. Tokoh idolaku adalah Rene Foin, penerbang Perancis yang paling terkenal ketika Perang Dunia I.
Ketika perang dunia II mulai, aku bergabung dengan angkatan Udara Inggris. Kaum Nazi menganggap aku sebagai pilot yang paling berbahaya dan aku merasa bangga. Setiap orang merasa iri melihat keadaanku dan aku merasa sombong juga, sampai pada suatu pagi bulan November-1944, ketika sedang memimpin skwadronku pulang dari misi pemboman. Kami sedang menuju pangkalan kami di luar kota Paris, melewati Belgia, ketika tiba-tiba bertemu dengan pesawat tempur Nazi. Kapalku tertembak dan jatuh berputar-putar menuju bangunan di desa kecil Chimay.
Yang pertama-tama kulihat ketika aku membuka mataku adalah kamar bercat putih dan aku terbaring di tempat tidur. Kupikir, pasti aku berada di kamp Jerman. Dua orang berpakaian putih sedang berdiri di samping tempat tidurku. Dalam bahasa Inggris dengan logat Perancis yang kuat, salah seorang dari mereka berkata kepadaku, “Jangan bergerak kapten, jangan bergerak”, kemudian ia bertanya kepada temannya, “ bagaimana dengan luka-lukanya ?”Dia diberitahu bahwa aku mengalami dua keretakan pada tulang lenganku dan empat tulang iga di sebelah kiri. Mereka memasang penahan pada lenganku dan dadaku dibalut. “Tapi, ia harus segera dirawat oleh dokter”, kata bruder Joaquim yang semula kukira seorang perawat. Jadi, aku tidak berada di penjara, aku berada di Biara Trapis Notre Dame de Forge, di Chimay Belgia. Pesawatku jatuh dan menerobos atap mereka.
Aku memaksa supaya ditolong bangkit untuk pulang kembali ke pangkalanku. Tapi tepat saat itu Bruder Jean masuk dengan membawa berita bahwa orang Jerman sudah menemukan pesawatku dan mulai memeriksanya. Dengan demikian, aku memang harus keluar sebelum mereka menemukan aku atau para rahib akan dihukum, mungkin ditembak karena menyembunyikan pilot musuh. Bruder Joaquim datang dengan idenya yang bukan-bukan yakni untuk tidak menyembunyikan aku, melainkan merawat aku sebagaimana wajarnya.
Setelah mereka menggedor-gedor pintu dengan keras, para tentara dipersilahkan masuk. Letnan orang Jerman mengatakan bahwa mereka harus memeriksa biara, mencari seorang pilot yang tidak diketemukan dalam pesawat.
Mereka berpencar dan si Letnan pergi ke bagian rumah sakit, lalu ke perpustakaan, di mana para rahib sedang berkumpul. Pemimpin biara mengatakan bahwa hanya dialah yang boleh bercakap-cakap atas nama mereka semua, karena peraturan mereka. Yang lain diharuskan berdiri di tembok dan Letnan memeriksa satu persatu. Akupun berada di sana juga, di sebelah Bruder Joaquim, dalam pakaian biara dan tudung kepala. Perwira itu lewat sambil menggerutu, ia ingin tahu di mana pilot itu berada.
Pada saat itu, yang lain sudah kembali dari tempat pencarian dengan sia-sia, seseorang mengusulkan untuk mencari di hutan dan merekapun berpencaran lagi.
Saat untuk membuat keputusan tiba, tak dapat ditunda lagi, Sang Abas kuatir akan apa yang mungkin terjadi kalau tentara-tentara itu tak dapat menemukan pilot di hutan. Kehadiranku di sana apabila ketahuan akan membahayakan kehidupan para rahib yang baik hati itu.
Bruder Joaquim mendapat akal lagi, ia akan mengantar aku ke pangkalan. Kalau ia tertangkap, ya masih ada 80 rahib lainnya di biara. Harus ada seorang yang mengambil resiko untuk menyelamatkan hidupku. Abas memberi izin dan Bruder Joaquim segera menjalankan tugasnya, aku tetap harus mengenakan jubah biara dan ia akan mengantar aku ke pangkalan, di atas motornya yang kekar. Karena aku terlalu lemah untuk menjaga diriku sendiri, Bruder menyuruh temannya mengikat aku ke punggungnya.
Dalam waktu 1 jam kami telah mencapai jarak 70 mil, ketika tiba-tiba mesin motor mulai gemuruh keras dan akhirnya berhenti, ada yang salah pada karburatornya dan bruder tidak mempunyai peralatan.
“Kamu berdoa”, ia memaksaku, “ dan sesuatu pasti akan terjadi”. Ketika aku berkata kepadanya bahwa sudah lama sekali aku melupakan doaku, iapun tersenyum, dan berkata : “ teruslah berkata-kata, Tuhan, tolonglah aku !”Kami melihat ke sekeliling dan menemukan sebuah rumah pertanian di atas bukit, tidak terlampau jauh. Aku mau tinggal, sementara ia mencari bantuan, tapi ia memaksa untuk menggendongku sepanjang jalan. Ketika kami mengetuk pintu, betapa terkejutnya kami, sekelompok serdadu Jerman sedang tertawa-tawa dan bercanda dengan sangat gembira setelah minum beberapa galon bir. Bruder Joaquim yang berbicara, memaksa mereka supaya menolong kami dan motor kami serta menjelaskan bagaimana aku terjatuh dari atap dan membutuhkan pertolongan segera. Karenanya, ia segera membawa aku ke dokter yang ia kenal. Kolonel menyuruh memeriksa dan memperbaiki motor itu dan membantu melepaskan aku, kemudian membawa aku sampai aku dapat berbaring dengan nyaman di tempat tidur.
Mengenali jubah rahib, ia terbawa suasana saleh dan menceriterakan bahwa ia pun kira-kira 20 tahun sebelumnya pernah menjalani retret di biara dan bagaimana ia masih terkenang pengalamannya itu “damai, damai…” katanya berulang-ulang.
Ia menawari kami roti dengan isi keju dan memaksa supaya kami menerima sebuah termos berisi susu coklat panas untuk perjalanan. “Tapi, apapun katamu, pemandangan seorang rahib menggendong rahib lainnya, benar-benar menyenangkan” katanya. Bruder Joaquim menyimpan lelocon ini bagi dirinya sendiri dan menjamin kepada sang kolonel bahwa semua ini memang menyenangkannya juga.
Demikianlah kami berangkat dan akhirnya tiba di pangkalan tanpa mengalami kesulitan. Ketika kami tiba di gerbang, yang pertama menemui kami adalah Bill Conover, teman karibku, ia tidak mengenali aku dalam jubah tapi ketika kupanggil, di terkejut. “Bill, ini aku George Cole!” Bill membantu melepaskan aku dan bersama-sama tertawa melihat dua rahib mengendarai motor seperti itu.
Bruder Joaquim memaksa untuk segera kembali, sepertinya ia baru saja melakukan suatu hal yang biasa saja, ia masih mengingatkan aku akan doa itu, kemudian ia berangkat dengan lambaian tangan yang hangat. Alangkah beraninya ! ia telah mengambil resiko kematian untuk menyelamatkan aku ! Rasanya jelas ia adalah orang paling hebat yang pernah kutemui.
Aku dirawat beberapa lama di rumah sakit, lalu kembali ke pangkalan di Inggris. Segera aku merasa putus asa untuk menceritakan pengalamanku ini, karena terlalu fantastis, sulit untuk dipercaya !
Pada suatu pagi ketika aku sedang bekerja di kantorku di pangkalan, Bill teman saya itu, datang membawa surat kabar. Ia bertanya apakah aku masih ingat akan penerbang Perancis Rene Foin, yang dulu selalu kusebut-sebut itu ? Ini adalah ceritanya di koran, tentang dia ! Dengarkan saja ! Letnan Kolonel Rene Foin, Pahlawan Penerbang yang terkenal dari Perang Dunia I, yang secara misterius telah menghilang beberapa tahun yang lalu, telah diketemukan minggu lalu, sebagai seorang rahib di Biara Trapis Notre Dame de Forge, di Chimay Belgia !Aku ingat tempat itu, di situlah pesawatku jatuh, lalu Bill datang dan menunjukkan gambarnya rahib tersebut. Aku terkejut : “Orang inilah yang menyelamatkan aku !” dialah Bruder Joaquim !”Rene Foin belum berlalu dari hidupku…. Dua tahun kemudian, ia berbuat sesuatu bagiku lagi, bahkan lebih hebat dari pada menyelamatkan jiwaku.Ketika perang berakhir, aku kembali ke Biara di Chimay, aku tinggal selama seminggu di situ. Di sana aku menemukan sesuatu yang belum pernah ku temui sebelumnya, yaitu : damai dalam pikiran dan hati. Aku menemukan apa yang menjadikan Rene Foin demikian berani dan kuat. Aku belajar percaya dan berdoa. Dua tahun kemudian, aku dibaptis dan Bapa Baptisku adalah Bruder Joaquim – Rene Foin – Pahlawan masa kanak-kanakku yang telah memberiku dua hadiah yang tak ternilai, yakni hidup dan Iman …….

Tidak ada komentar: