8/27/2008

SUKA CITA

oleh Dr.Douglas Lowry

Ada adegan di film Christmas Carol versi buatan Alistair Sim, yang menggambarkan bagaimana perasaan saya ketika diterima menjadi Katolik. Adegan film waktu si Kikir selesai dikunjungi oleh tiga roh Natal. Si Kikir berdiri di depan cermin dan tertawa pada dirinya sendiri, heran bahwa dia masih hidup dan punya kesempatan untuk mulai awal yang baru. Dia menyisir rambutnya dan terus bergumam tentang betapa lucunya perasaannya yang sukacita saat itu. Aneh rasanya bagi dirinya untuk memiliki perasaan baik seperti itu, tapi dia betul-betul merasa demikian!

Saya merasakan seperti itu. Pada tanggal 7 Februari 1993, saya dan istri saya Margaret mengambil langkah terakhir dari perjalanan ziarah 30 tahun menuju Roma. Melalui langkah ini kami telah menemukan suatu sukacita yang terus menerus, lucu dan mengherankan, tetapi sungguh-sungguh suatu sukacita.

Selama lebih dari 27 tahun saya adalah seorang pendeta Gereja Presbiterian di Kanada. Dari 1975 - 1992 saya melayani sebagai satu diantara tiga Pelayan Sidang Umum. Seorang Pelayan membuat peraturan, memberi nasihat pembuatan prosedur, membuat notulen, dan membantu memecahkan situasi konflik. Pada suatu ketika saya mulai mengeluh akan sikap ketidak-bersatuan yang seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari denominasi kami. Menjadi nyata bahwa setiap konflik di kongregasi dan setiap manufer politik di komite dan dewan gereja berakar pada kegagalan untuk patuh pada Alkitab. Mengapa kita tidak menaruh prioritas pada hal-hal yang memberi kedamaian dan persatuan? Dapatkah kita sebagai suatu denominasi setuju pada perintah untuk mengasihi satu sama lainnya? Saya menyaksikan, dan mendengar, dan berdoa.

Kekhawatiran-kekhawatiran ini akhirnya membawa pada keputusan untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Ini adalah satu-satunya jalan keluar atas rasa haus akan persatuan. Hasilnya....beban yang terangkat, dan perayaan, dan sukacita.

Tulisan ini ditulis untuk memberi semangat pada orang-orang, khususnya kaum klerus, yang sedang mempertimbangkan untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Dinding penghalang begitu besar ... mungkin suatu kebutuhan untuk penyesalan diri atas penghakiman yang keras (terhadap Gereja Katolik) di masa lalu, rasa khawatir akan menyakitkan hati mereka yang kita kasihi (keluarga dan teman-teman yang masih Protestan), rasa tidak nyaman atas keasingan kita dengan cara-cara Katolik, ketidak-pastian bagaimana kita akan bertahan, dan bagi sebagian dari kita, masalah mencari nafkah (karena kehilangan pekerjaan sebagai pendeta). Meskipun penghalang-penghalang ini begitu besar, sebagian dari kita tetap tertarik untuk bergabung dengan Gereja Katolik.

Alasan-alasan kami untuk mempertimbangkan Gereja Katolik bervariasi. Istri saya paling tertarik terutama pada Ekaristi. Bagi saya, motif terutama adalah kepatuhan pada perintah untuk menjadi satu. Apapun alasan dan kumpulan alasan yang membawa kami pada jalur ini, tujuannya hanyalah satu: yang mana kami merasa berada di rumah sendiri di antara keluarga Allah.

Sukacita bukanlah sesuatu yang baru bagi mereka yang melakukan perjalanan menuju Gereja Katolik. Tetapi ketika sampai pada tujuan, saya mendapatkan suatu kualitas sukacita yang telah diperkaya. Rasa sukacita ditaruh dalam suatu dimensi yang baru. Dimensi yang baru ini datang langsung dari rekonsiliasi dengan Gereja. Ini adalah beberapa perspektif tentang sukacita Kristiani seperti yang telah saya alami dalam hidup saya. Lalu saya ingin menunjukkan mengapa sukacita itu telah menjadi sempurna.

Ada sukacita dalam rasa terima kasih, suatu kapasitas untuk menerima suatu pemberian. Rasa terimakasih adalah fondasi suatu perkawinan yang bahagia. Saya dan istri saya telah belajar sejak semula untuk saling menerima satu sama lain sebagai karunia dari Allah. Perkawinan kami selama 34 tahun telah ditandai dengan rasa terkesima, suatu rasa percaya bahwa Allah telah sangat bermurah hati kepada kami.

Ada sukacita dalam melayani. Pemahaman ini datang pada saya melalui ribuan jam sebagai sukarelawan mobil ambulan. Kelompok yang beranggotakan 40 orang ini bangga dalam melayani masyarakat. Kami terus menerus dilatih supaya kami bisa melayani lebih baik lagi. Bagi saya, sumber inspirasi adalah Mother Theresa, yang menemani orang-orang yang paling membutuhkan, dan melayani setiap orang seolah-olah setiap orang itu adalah Yesus sendiri. Memantau tanda-tanda vital seseorang pasien yang mengalami serangan jantung, berbicara lembut kepada seorang anak kecil yang sangat ketakutan setelah ditabrak mobil, dengan cekatan membalut, merawat, mendengarkan, melihat .. kadang kala kami bisa melihat rasa takut yang memudar dan digantikan oleh rasa damai meskipun di tengah-tengah rasa sakit.

Entah bagaimana di tahun-tahun awal saya terdorong untuk membaca buku Praktek Kehadiran Allah, buku klasik yang dipenuhi dengan pemahaman bruder Lawrence. Dalam memahami spiritualismenya, saya mulai belajar merasakan sukacita kehadiran Allah. Allah tidak terikat di lingkungan gereja. Allah secara aktif terlibat di pasar, di manajemen, lewat komputer, dan segala keterlibatan dalam segala hal dengan orang-orang lain. Allah datang pada kita dengan solusi yang kreatif terhadap persoalan-persoalan, dalam kekuatan untuk melakukan apa yang benar dan dalam berhadapan dengan hal yang salah, dalam orang-orang yang dipenuhi oleh Kristus, dan bahkan ditengah-tengah kesulitan yang terbesar sekalipun. Allah ada disana. Kita hanya perlu melihat dan mendengarkan. Dalam menemukan Dia, selalu ada sukacita.

Sukacita adalah bagian yang normal dari pengalaman hidup Kristiani, hasil dari pilihan kita. Sukacita tidak tergantung apakah kita adalah Presbiterian, Metodis atau Katolik. Tetapi saya menemukan bahwa sukacita itu sekarang menjadi lebih dalam dan diperkaya setelah saya dan istri saya menjadi bagian dari keluarga Allah yang utuh. Perayaan persatuan Tubuh Kristus menambah suatu dimensi baru pada sukacita.

Mengapa sukacita yang lebih besar ini? Karena saya tidak harus menimbang-nimbang atas keputusan Gereja Katolik, Kitab Suci, atau bahkan diri saya sendiri. Bukan tugas saya. Berjuta-juta orang selama periode dua ribu tahun telah merefleksikan iman kita yang kudus. Mestikah saya menambahkan paduan pemahaman mereka seperti telah disampaikan kepada kita lewat Magisterium Gereja? Mestikah saya menaruh sekian puluh tahun melawan berjuta-juta orang dan tahun? Tidak!

Sungguh tidak! Saya terlalu sibuk merayakan. Dan Misa harian adalah pusat perayaan itu. Saya dikelilingi oleh orang-orang baik. Saya bersama-sama mereka berkata: "Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang pada saya. Tetapi bersabdalah saja maka saya akan sembuh." Dan nantinya dalam perayaan itu, rasa terkesima, masih baru setiap kalinya: "Inilah Tubuh-Ku....bagimu." Bagi saya? Ya, bagimu. Tidak ada simbol. Sekarang adalah realitas. Realitas yang agung dan membuat rendah hati karena boleh menjadi bagian dari Gereja-Nya dan karena menerima hidup-Nya hari demi hari. "Ambil...dan makanlah."

Apakah sulit untuk dapat masuk ke Gereja Katolik ? Ya, saya tidak bisa dengan ringan mengenyampingkan pelayanan saya sebagai wakil dari Gereja Presbiterian di Kanada dan dari banyak orang lain disana yang saya kasihi selama ini. Akan tetapi panggilan untuk menjadi satu dan kepada Ekaristi secara bertahap lebih memberatkan ketimbang pelayanan yang bisa saya berikan kepada mereka.

Proses perjalanan saya ke Gereja Katolik sangat publik - foto saya bersama Paus Yohanes Paulus II muncul di sampul muka majalah denominasi Presbiterian. Pres sekuler ikut-ikutan meramaikan saran yang muncul dari kaum fanatik soal pengadilan bidaah (terhadap saya). "Apakah sang Pelayan Sidang tidak tahu bahwa Sri Paus adalah Anti-Kristus?" Hingga kini masih ada kaum Presbiterian yang suka memperdebatkan keputusan yang saya telah ambil; Mungkin di surga kita nanti punya waktu (kalaupun topiknya masih relevan disana). Tetapi pada umumnya telah timbul rasa pengertian, sikap menerima. Khotbah selamat tinggal saya pada Sidang Umum 1992 diterima secara baik-baik.

Apakah ada rasa penyesalan dalam diri saya ? Tidak sama sekali. Semoga anda juga banyak diberkati seperti saya dan istri. Hidup ini digenapi. Dalam kerja saya yang baru, berbagi pengalaman hidup Kristus dengan mahasiswa jurusan bisnis di Universitas Fransiskan, saya menemukan sukacita yang tak terukur. Ada rasa terkesima karena telah tiba di rumah dan dalam kedamaian.

Bagi saudara-saudari non-Katolik yang mengasihi Kristus dan sedang menimbang-nimbang untuk menjadi Katolik, pesan saya mudah saja: "Ayo masuk...airnya tenang." Ini adalah tempat persatuan dengan seluruh bagian Tubuh Kristus. Inilah tempat perayaan kita. Inilah sukacita.

Sumber: buku Journey Home, oleh Marcus Grodi
Alihbahasa oleh Jeffry Komala

Tidak ada komentar: