Oleh : Morton T. Kelsey
Yesus Dan Wanita
Karena kaum wanita yang mengasuh anak, seseorang tentunya berharap, jika tidak karena sesuatu sebab lain, pastilah Kristuspun akan menghargai mereka secara khusus pula. Sesungguhnya Yesus sendiri di antara pemimpin-pemimpin besar agama di dunia melihat harga diri yang sama dalam diri kaum wanita, seperti kaum pria.
Dia sendiri dalam hal keagamaan memberikan kepada kaum wanita, derajat yang sama dengan pria. Bahkan para rabi Yahudi, yang menghargai anak-anak (jauh lebih tinggi dari pada kebanyakan golongan-golongan agama yang lain) menempatkan kaum wanita di atas satu tingkat tertentu yang lebih rendah. Mereka memandang kaum wanita dengan penuh kecurigaan, seperti bahaya yang harus dihindari oleh pria yang patuh dalam menjalankan agamanya. Konfusius juga menasehatkan laki-laki yang taat beragama agar menghindarkan diri dari kaum wanita atau menempatkan mereka di kedudukan yang lazim. Agama Budha berkata tentang wanita sebagai orang yang memasang jerat, di mana pria yang berniat mencari penerangan agama harus menghindarkan diri (dia sendiri juga meninggalkan istri dan keluarganya ketika pengaruh agama menjadi kuat dalam dirinya).
Tetapi Yesus, bahkan mengijinkan para wanita berada di antara sehabat-sahabat-Nya (Tidak lama sesudah itu Yesus berjalan berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah. Kedua belas murid-Nya bersama-sama dengan Dia, dan juga beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat, Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain. Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka – Luk 8:1-3). Berlawanan dengan kebiasaan pada waktu itu, pada banyak kesempatan Dia berbicara secara khusus kepada para wanita, Dia memperlakukan mereka dengan perhatian atau penghargaan yang sama seperti yang Dia berikan kepada pria.
Yesus mempunyai banyak teman di antara mereka, dan ternyata mereka tidak mengancam profesi-Nya, karena Dia berhubungan dengan mereka atas dasar yang sama seperti Dia berhubungan dengan kaum laki-laki.
Barangkali ajaran Yesus yang sangat penting mengenai harga diri kaum wanita, tercakup di dalam pernyataan-pernyataan-Nya mengenai perceraian (Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah – Mat 5:31-32). Di jaman-Nya seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya, karena alasan-alasan yang benar-benar tidak berarti (remeh), hanya dengan memberikan sepucuk surat cerai. Dalam kebanyakan kejadian, tindakan ini memaksa si wanita untuk menjalani suatu kehidupan pelacuran, karena ini merupakan satu-satunya lapangan pekerjaan yang terbuka bagi kaum wanita di jaman kuno. Tetapi Yesus mengajarkan bahwa kaum wanita janganlah seperti harta benda belaka, di mana pria dapat membuangnya apabila mereka sudah bosan. Sebaliknya, wanita mempunyai hak-hak dan harga diri. Harga diri mereka tidak tergantung pada laki-laki.
Selanjutnya, nilai yang menarik dari kaum wanita yang secara naluriah ada dalam diri mereka, telah dilupakan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarkat itu. Dalam bidang ini pula, sikap Yesus adalah sama sekali berlawanan. Dia melihat kebaikan di dalam sifat belas kasihan dan cinta yang ditunjukkan oleh wanita, sebagai hal-hal penting yang seharusnya hidup di dalam kehidupan ini. Kenyataannya Yesus menekankan nilai-nilai kemanusiaan, kualitas-kualitas kewanitaan ini dan dengan begitu menambah harga wanita, sifat-sifat yang sering nampak jelas pada diri mereka.
Kehidupan keluarga sebagai suatu kerja sama untuk mengadu nasib antara orang-orang yang sama derajatnya tidak mungkin terjadi kecuali di mana kaum wanita dihargai setinggi pria. Nilai-nilai dan jabatan-jabatan mereka berbeda dengan kaum pria, tetapi mereka sama pentingnya. Poligami tidak pernah tepikirkan sebagai suatu kebiasaan umat Kristen. Sesungguhnya tidak ada wanita yang mau membagti cinta seorang laki-laki, namun semua agama-agama lain di jaman kuno mengijinkan hal ini terjadi. Hal semacam itu sudah biasa di China, India dan di seluruh negara-negara Islam. Nabi Muhamad “memberikan” kesempatan kepada kaum pria untuk mempunyai lebih dari seorang istri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar