Marilah kita mengikuti Augustinus menuju puncak batinnya yang bermuara pada pertobatannya. Kita akan melihat dia, seperti para sahabatnya melihat dia berjuang dan meronta-ronta. Kita mengikuti dia dalam perjalanannya yang sangat jauh, yaitu perjalanan batin yang harus ditempuhnya, dari pengertian intelek sampai kebenaran yang diterima oleh hati yang serasi, berikutnya sampai kebenaran itu dilaksanakan dengan kemauan yang keras.
Kita akan menyaksikan penderitaan jiwanya yang memuncak hampir sampai pada titik patah hatinya, tetapi justru pada saat dramatis itu jalan buntu menjadi jalan ke luar bagi Augustinus.
Lebih dahulu harus kita melihat pentas tempat berlangsungnya drama itu. Walaupun para pemeran di atas panggung itu hanya memainkan peranan yang sekunder, namun mereka juga amat penting. Makin tampaklah pada diri Augustinus ciri khas pembawaannya. Bagi dia, hidup hanya mungkin bersama dengan sahabat-sahabatnya. Dalam suka dan duka, dia tidak tahan sendirian. Bila kelak ia menjadi Uskup Hippo, di luar waktu studi, menulis atau membaca, ia senantiasa berada bersama kawan-kawan beserta keluarganya. Benih hidup berkomunitas sebagaimana dihanyatinya kemudian sudah ada sejak dari masa mudanya dan menjadi amat kentara setibanya di Milano.
Tidak lama kemudian, ibunya, Monica kembali dekat dengan Augustinus. Sebenarnya ia datang ke Milano untuk mengurus tanah warisan milik almarhum suaminya, Patrisius. Betapa amat tepat kedatangannya, akan tetapi ia tidak datang seorang diri. Dibawanya serta rombongan yang bakal masuk dalam keluarga guru besar Augustinus, yaitu anak Monica yang pertama, Navigius, dan dua kemenakan, Rustikus dan Lastidianus. Augustinus menghibur ibunya dengan kabar yang menyenangkan, bahwa ia memang belum seorang Kristen, tetapi sekurang-kurangnya tidak lagi seorang penganut Manikheisme (suatu agama gnostik Persia kuno yang pernah berkembang luas namun sekarang telah punah). Waktu itu umurnya 30 tahun. “Aku telah dibebaskan dari kebohongan, sekalipun belum memeluk kebenaran.” Walaupun demikian, Monica makin yakin, bahwa sebelum meninggal ia akan melihat anaknya, Augustinus, sebagai seorang Kristen yang setia. Semuanya itu menjadi perangsang kerinduan dan doanya, sehingga dengan lebih tabah lagi ia berkunjung ke Katedral dan tempat ziarah orang suci. Dalam rumah tangga Augustinus, ada gundiknya bersama anaknya, Adeodatus, yang usianya saat itu sudah dua belas tahun. Akan tetapi, keadaan itu tidak dapat dipertahankannya labih lama lagi. Ada kalanya Augustinus diundang ke istana kaisar untuk membawa pidato kenegaraan. Berhubung dengan itu, ia harus menempatkan diri pada tingkat masyarakat yang selaras dengan kedudukannya. Demi kariernya, ia memerlukan seorang istri yang sah. “Tak bosan-bosannya orang mendesak aku beristri, terutama ibuku, yang dengan demikian berharap supaya setalah aku beristri akan menerima pembasuhan oleh baptisan yang membawa keselamatan.” (Conf VI.XIII.23).
Ia memang sudah meminang seorang gadis, tetapi pernikahannya terpaksa harus ditunda, sebab umur calon istrinya baru 12 tahun, dua tahun di bawah umur yang sah. Namun persiapan untuk pernikahan itu berjalan terus. Syarat mutlaknya, Augustinus harus melepaskan perempuan yang telah empat belas tahun setia kepadanya, dan yang telah mengasuh anaknya. “Dia kembali ke Afrika”, diceritakan oleh Augustinus dengan nada malu “dan bersumpah tidak mau kawin kagi. Ia meninggalkan aku dan anak yang dilahirkannya bagiku.” Perpisahan itu amat menyedihkan Augustinus. Ia berkata, “Waktu teman hidupku direnggut dari sisiku, hatiku yang melekat padanya tercabik-cabik, terluka dan berdarah.” (Conf.VI.XV.25). Akan tetapi, tindakan ini jauh dari menyelesaikan masalah, malahan menambahkannya. Diakuinya agak terus terang, bahwa ia kurang sabar menantikan dua tahun. Oleh karena itu, diambilnya seorang gundik lain.
Selain mereka yang disebut di atas, terdapat juga dalam keluarga itu Alypius, seorang sahabat yang akrab, yang telah ikut Augustinus ke Roma untuk tinggal bersama dengan dia, juga dengan maksud mempraktekkan studi hukum. Juga ada Nebridius, yang telah melepaskan tanah miliknya lalu meninggalkan kota Karthago dan ibunya. Menurut Augustinus, “Ia datang ke Milano dengan satu tujuan saja, yaitu hidup bersamaku dengan hati berapi-api yang menggandrungkan kebenaran dan hikmat” (Conf.VI.X.17).
Demikianlah Milano menjadi kota pertemuan ketiga orang sahabat karib, tempat persimpangan jalan hidup mereka bertiga yang “seperti tiga mulut yang lapar” menantikan Allah memberi mereka rezeki kebenaran dan cinta kasih-Nya. Kelompok kecil orang Afrika itu hidup bersama dengan Monica selaku pemimpin rumah tangga. Sekalipun pada masa berjuang dan kurang stabil itu, secara inisiatif, Augustinus sudah mencari hidup berkomunitas. Yang pada hari-hari itu hanya merupakan impian, akan dijadikan suatu strategi pastoral di masa mendatang. Augustinus menceritakan, bahwa pada masa pergolakan di Milano, beberapa dari mereka, di antaranya Alypius dan Nebridius membenci keramaian dan kehidupan sehari-hari, sudah hampir mengambil keputusan untuk menghayati hidup bersama, penuh damai, jauh dari orang banyak.
“Kami telah membolak-balik suatu rencana dalam benak kami untuk menarik diri dari khalayak ramai dan hidup dengan kesenggangan yang tenang. Kesenggangan itu mau kami atur begini : segala sesuatu yang dapat kami miliki akan kami kumpulkan menjadi satu, melebur semua harta menjadi harta milik bersama yang satu saja. Berdasarkan persahabatan yang setia, tidak ada lagi yang ini untuk si A atau untuk si B, akan tetapi harta itu akan menjadi kesatuan yang satu, keseluruhannya akan dimiliki tiap-tiap orang dan semuanya itu dimiliki semua orang. Kami mengira dapat menjalankan hidup bersama sabagai kelompok yang terdiri kira-kira sepuluh orang. Beberapa di antara kami sangat kaya, terutama Romanianus warga kota kami. Pada waktu itu, ia datang ke istana lantaran kesusahan besar dalam urusannya. Ia merupakan salah seorang kawan yang paling akrab sejak masa kecil. Dialah yang paling banyak mendesak, supaya rencana kami dilaksanakan. Ia punya daya meyakinkan yang besar sebab harta kekayaannya besar sekali, jauh melebihi kekayaan anggota-anggota lain kelompok kami.” (Conf.VI.XIV.24).
Maka jelasnya, yang disebut di atas merupakan gagasan yang penting bagi Augustinus. Telah terbayang apa yang akan diwujudkan Augustinus dalam komunitasnya nanti sebagai imam dan Uskup selama hampir empat puluh tahun. Merupakan corak khusus dari Regula (Pedoman hidup membiara) Santo Augustinus yang termasyur itu, yang mengandung wawasan dan petunjuk praktis tentang hidup membiara.
(Sumber : Augustinus Tahanan Tuhan – Oleh Mgr.P.Van Diepen, OSA ; Editor N.Halsema, SJ - Diterbitkan dalam kerjasama Pusat Pastoral Yogyakarta & Penerbit Kanisius )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar