Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?" (Mrk 10:2).
Penginjil Matius lebih tepat, sebab ia menambahkan ‘karena alasan apapun’, karena setiap orang sependapat, bahwa seorang istri bisa disuruh pulang, dengan alasan-alasan untuk membenarkan perceraian tersebut. Tetapi Penginjil Markus langsung pergi ke intinya : perkawinan adalah suatu komitmen yang tak dapat diubah.
Setiap masyarakat manusia selalu mempunyai hukum-hukumnya tentang perkawinan. Demikian pula Israel, pada waktu itu ada hukum tentang perceraian, sesuai dengan perbedaan status dalam masyarakat antara laki-laki dan perempuan, hukum itu ada dalam Kitab Suci Yahudi (Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, - Ul 24:1). Yesus tidak ingin terlibat dalam diskusi-diskusi para guru dan penafsir hukum Taurat, Ia melawan hukum itu dengan sabda lain dari Kitab Suci yang memaparkan pikiran Allah mengenai sikap-sikap manusia yang diperbolehkan-Nya.
Yesus menyatakan pendirian-Nya, peristiwa ini adalah salah satu dari perselisihan pendapat di mana Yesus mengejutkan banyak orang, termasuk murid-murid-Nya, karena Yesus mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan kebiasaan umum yang dibolehkan oleh Kitab Suci.
Yesus menyebut hukum lain dari Allah : pada awal mula. Pada awal mula, kata-kata ini dipakai dalam kisah Taman Firdaus. Kita tidak boleh lupa, bahwa dalam kebudayaan kuno, awal mula adalah suatu zaman keemasan di mana Allah menetapkan lembaga-lembaga ideal. Maka jelas bagi kita, bahwa para penulis Perjanjian Lama mengizinkan perceraian, karena hukum-hukum moral masyarakat pada zaman itu, termasuk juga hukum moral umat Allah, mereka yakin bahwa hal itu benar.
Yesus membandingkan yang ideal dan praktek. Tetapi yang ideal bukanlah sesuatu yang boleh dikagumi orang tanpa menghayatinya secara serius. Di mana Kitab Kejadian mengatakan, bahwa keduanya itu menjadi satu daging, Yesus segera menambahkan, ‘mereka bukan lagi dua, melainkan satu’. Di atas segala diskusi tentang perkawinan serta hak perempuan, maka persatuan pasangan suami istri adalah kenyataan utama, kenyataan inilah ‘yang sesungguhnya’ di mata Allah.
Kelirulah kalau kita melihat bahwa perkawinan dan cinta antara dua insan sebagai ungkapan manusiawi dan sosial dari kenyataan fundamental, yaitu seksualitas. Yang lebih dulu dalam rancana Allah bagi alam semesta adalah pasangan anak Allah yang menjadi manusia dan kaum manusia yang diselamatkan-Nya. Itulah suri teladan dari saling melengkapi dan persekutuan yang penuh kasih sayang dan kesetiaan. Di situlah kita mendapat pasangan yang patut dicontohi. Seluruh masa lampau biologis dan seluruh evolusi manusia yang mempersiapkan laki-laki dan perempuan datang kemudian, pasangan laki-laki dan perempuan adalah gambaran saja dari rencana abadi Allah dalam penciptaan dan dalam sejarah.
Perkataan Yesus tidak bisa dipersoalkan. Ia mengucapkan kata-kata itu karena ada kebiasaan perkawinan yang diterima di mana-mana. Perkataan Yesus memiliki nilai sama pada zaman kita sekarang di mana laki-laki dan perempuan yang ‘hidup bersama tanpa komitmen perkawinan’ merupakan suatu mode hidup. Dalam seluruh Kitab Suci, kasih dan kesetiaan berkaitan erat, dan apabila Injil berbicara tentang kehilangan nyawa sebagai syarat untuk menemukan diri kita, hal itu berlaku juga untuk pasangan suami istri.
Dengan berbuat demikian Yesus menunjukkan, bahwa sesungguhnya Ia datang untuk menyempurnakan hukum Taurat (Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. – Mat 5:17). Tetapi ‘Hukum Allah’ ini hanya bisa didengar oleh mereka yang telah menerima Roh dari Yesus (Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja – Mat 19:11), suatu hal yang ditegaskan Yesus atas reaksi para murid (Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin." – Mat 19:10). Yesus tidak memohon maaf atas kata-kata yang menuntut ini.
Bagaimana kalau salah satu mengkhianati yang lain ? Di sini kita telah memasuki daerah keputusan hati nurani manusia, di mana masing-masing harus memecahkan masalahnya sendiri dan harus memecahkannya menurut kesadaran akan panggilan Kristiani mereka. Orang lain tidak boleh menghukum mereka, tetapi Yesus mencabut segala otoritas dari mereka yang mencoba melegakan hati nurani orang-orang yang telah bercerai, seolah-olah mereka tidak mengalami kegagalan sama sekali dalam panggilan Kristiani mereka.
Yesus mengusulkan sesuatu yang lebih sulit untuk dimengerti. Ia memuji mereka yang telah dikaruniai rahmat ‘hidup selibat’ sebagai cara hidup mereka, demi cinta kepada Kerajaan Allah (Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti. – Mat 19:12).
(Kitab Suci Komunitas Kristiani – Edisi Pastoral Katolik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar