Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?" (Luk 10:27-29).
Seorang Guru Hukum mengharapkan agar diberi batas-batas yang tegas tentang kewajibannya. Siapakah yang harus diperhatikan ? anggota keluarga ? orang-orang sesamaku ? ataukah semua orang ? Maka Yesus memberikan perumpamaan seperti yang ditulis dalam Injil Lukas (Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. – Luk 10:30-32).
Sangat bermakna bahwa Yesus menutup cerita-Nya dengan suatu pertanyaan lain : Siapakah dari ketiga orang itu yang menjadi sesamanya ? (Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? - Luk 10:36). Seolah-olah Dia mau berkata, tidak usah bersusah payah mencari tahu siapakah sesamamu, cukuplah mendengarkan panggilan dirimu dan jadilah seorang dari sesamamu, menjadi dekat dengan saudara-saudarimu yang berkebutuhan. Selama kita melihat perintah cinta kasih sebagai suatu kewajiban, kita tidak bisa mengasihi seperti yang dikehendaki Allah.
Cinta kasih tidak hanya berarti digerakkan oleh penderitaan orang lain. Perhatikan bagaimana orang Samaria itu berhenti, biarpun itu tempat berbahaya, bagaimana ia membayar ongkos perawatan dan berjanji untuk memperhatikan segala sesuatu yang perlu. Dari pada hanya bersikap karitatif, orang Samaria ini mengambil risiko tanpa syarat dan tanpa perhitungan terhadap seorang asing (Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali – Luk 10:33-35).
Pada suatu kesempatan, Martin Luther King menandaskan, bahwa cinta kasih tidak hanya dipuaskan dengan menghibur mereka yang menderita : “Pertama-tama, kita harus menjadi seorang Samaria yang baik kepada mereka yang telah jatuh sepanjang jalan. Tetapi ini baru permulaan, kemudian, pada suatu waktu nanti, kita harus menyadari, bahwa jalan ke Yerikho harus dibuat sedemikian rupa sehingga laki-laki dan perempuan jangan terus menerus dipukul dan dirampok ketika mereka sedang melakukan perjalanan melintasi lorong-lorong hidupnya.”
Dengan contoh ini, Yesus juga membuka mata kita, bahwa banyak sekali para pejabat agama, atau orang yang yakin bahwa mereka menjalankan hukum, namun tidak sanggup mencintai. Adalah orang Samaria yang dipandang sebagai bidaah oleh orang Yahudi, justru dialah yang memberi perhatian kepada orang yang terluka.
Bagi orang Yahudi, “sesama” adalah sama-sama warga bangsa Israel, orang-orang mereka sendiri, bermartabat karena menghayati agama yang sama, hubungan keluarga hanya dilihat dari hubungan “daging dan darah”. Bagi Yesus, kasih sejati membawa kita untuk melepaskan segala diskriminasi, apapun itu (Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!" – Luk 10:37).
(Kitab Suci Komunitas Kristiani – Edisi Pastoral Katolik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar