1/27/2011

MARILAH KITA BERTOLAK KE SEBERANG

Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: "Marilah kita bertolak ke seberang." Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia (Mrk 4:35-36).
Yesus mengajak murid-murid-Nya bertolak ke seberang, yaitu bagian Danau Galilea yang masih kafir. Markus menyajikan kisah tentang peredaan badai dan pembebasan orang kerasukan setan yang dijumpai di seberang danau itu (Mrk 5:1-20). Kedua peristiwa itu menunjukkan kemenangan-Nya atas iblis yang melampaui bata-batas wilayah Israel.
Dalam pemikiran Yahudi, laut adalah tempatnya mahluk-mahluk raksasa laut yang berkuasa  yaitu Leviatan, yang hanya bisa dilawan oleh Allah, karena hanya Dialah yang mahakuasa.
Lewiatan artinya melingkar/melilit, adalah monster yang disebut dalam  Mazmur 74:13-14 (Engkaulah yang membelah laut dengan kekuatan-Mu, yang memecahkan kepala ular-ular naga di atas muka air. Engkaulah yang meremukkan kepala-kepala Lewiatan, yang memberikannya menjadi makanan penghuni-penghuni padang belantara), dan juga terdapat dalam kitab  Yesaya 27:1 (Pada waktu itu TUHAN akan melaksanakan hukuman dengan pedang-Nya yang keras, besar dan kuat atas Lewiatan, ular yang meluncur, atas Lewiatan, ular yang melingkar, dan Ia akan membunuh ular naga yang di laut), yang merupakan lambang atau simbol dari kuasa jahat yang selalu membuat kekacauan.
Dengan memerintahkan laut : Diam ! Tenanglah ! seperti yang dilakukan-Nya kepada iblis (Tetapi Yesus menghardiknya, kata-Nya: "Diam, keluarlah dari padanya!" - Mrk 1:25), maka Yesus menegaskan kuasa ilahi-Nya yang jauh lebih kuat daripada kuasa jahat. Yesus ada di situ saat badai datang menerjang, tetapi Dia seolah-olah “tertidur” di buritan, namun sesungguhnya Dia sedang mengajar dan membentuk iman murid-murid-Nya, menunggu saat di mana murid-murid-Nya akan berseru kepada-Nya minta tolong dalam ketakutan. Saat itulah Dia menunjukkan kuasa-Nya atas kuasa jahat dan alam semesta, sehingga melalui pengalaman ini para murid akan lebih percaya dan sadar, bahwa mereka harus bergantung pada Yesus yang ilahi, yang tetap menyertai mereka dalam hal apapun.
Sama seperti ketika Yesus diberi kabar bahwa Lazarus sakit, dia tidak langsung menemui Lazarus yang dikasihi-Nya, tetapi “sengaja” menunda perjalanan-Nya (Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada; - Yoh 11:6), karena melalui peristiwa ini Yesus mau menyatakan kemuliaan Allah dengan membangkitkan Lazarus yang telah mati (Ketika Yesus mendengar kabar itu, Ia berkata: "Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan." – Yoh 11:4).
Pada saat mereka melihat kuasa ilahi ini dalam Yesus, para murid menjadi takut, sama seperti Musa takut berhadapan dengan semak duri yang menyala (Lagi Ia berfirman: "Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub." Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah - Kel 3:6), dan juga seperti nabi Yesaya ketika ia mendapat penglihatan di Bait Allah (Lalu kataku: "Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam." - Yes 6:5), Ketakutan akan kehadiran Allah timbul karena menyadari bahwa Allah hadir dalam diri Yesus yang begitu dekat dengan mereka, melebihi ketakutan mereka akan badai yang mereka alami sebelumnya.
Yesus mengajak “marilah kita bertolak ke seberang” (Mrk 4:35), sama seperti ketika Yesus mengajak murid-Nya pergi dalam Mat 26:46 (Bangunlah, marilah kita pergi). Pergi atau ke seberang untuk dibentuk dan diuji iman para murid dalam menghadapi badai atau masalah dalam kehidupan. Bayangkan ketika mereka baru dalam perahu dan mulai berangkat, cuaca dan laut dalam keadaan tenang, tetapi kemudian setelah tengah malam dan masih di tengah-tengah danau datanglah topan badai yang menerjang mereka. Sama seperti hidup kita dalam peziarahan ini, pada awalnya mungkin tenang dan baik-baik saja, tetapi suatu saat akan datang “badai” yang akan merusak kehidupan kita yang membuat kita ketakutan.
Tidakkah mereka sadar bahwa Tuhan juga yang akan membawa mereka sampai ke seberang dengan selamat ? Ketakutan merupakan wujud kegagalan untuk percaya bahwa Tuhan tetap memegang kendali. Memang perlu iman yang besar untuk mempercayai, bahwa Tuhan “yang sedang tidur” tetap memperhatikan kita, sama dalam kisah Emaus, ketika Yesus seolah-olah mau berjalan terus (Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya - luk 24:28), tetapi murid-murid-Nya mengundang Yesus untuk “mampir” (Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: "Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam." Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka – Luk 24:29), akhirnya terbukalah mata hati mereka, bahwa selama perjalanan mereka, sesungguhnya Yesus berjalan bersama mereka (Kata mereka seorang kepada yang lain: "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" – Luk 24:32).
Dalam kehidupan, baik dalam keluarga maupun dalam komunitas, orang selalu mengalami proses pertumbuhan pengenalan. Demikian juga halnya dalam hubungan para murid dengan Yesus, maupun kita sendiri dengan Yesus. Meski sudah cukup lama para rasul mengikuti Yesus, ternyata mereka belum mengenal siapa Yesus yang sesungguhnya. Baru setelah Yesus bertindak, baru mereka berseru takjub (Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?" -  Mrk 4:41).
Pertumbuhan rohani dan pengenalan kita akan Yesus memang tidak terbentuk dalam sekejap. Ketika Tuhan seolah-olah tidur, atau seolah-olah menunda, ataupun seolah-olah mau berjalan terus dan tidak peduli, sesungguhnya kita diuji untuk menghayati, bahwa sesungguhnya Dia peduli dan terlibat penuh dalam setiap sendi kehidupan kita. Seandainya Tuhan tidak tidur, tidak menunda dsb, tetapi langsung bertindak untuk menolong dalam setiap masalah yang kita hadapi, apa dampaknya pada pembentukan iman kita ? Ketika Dia “tidur” atau “menunda” sesaat, di saat itulah kita memiliki kesempatan untuk menyadari pentingnya Dia bagi kita, dan kesempatan untuk mengungkapkan ketergantungan kita kepada-Nya. Itulah saat bagi kita untuk bertumbuh dalam iman.

Tidak ada komentar: