Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. (Luk 18:11-12).
Orang Farisi tersebut mengucapkan doa syukur dan terima kasih, dia tidak menyampaikan permohonan di dalam doanya, karena dia begitu percaya diri akan kecukupan yang dia miliki. Orang-orang Farisi merasa telah melaksanakan semua perintah Allah dan tidak merasa berdosa lagi. Mereka bersyukur karena merasa tidak berdosa seperti pemungut cukai yang pengkhianat itu. Mereka sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis, dan melakukan banyak karya amal, sayangnya, banyak dari antara mereka yang merasa berjasa karena cara hidup seperti itu, mereka merasa tidak lagi membutuhkan belas kasih Allah, karena perbuatan-perbuatan baik tersebut akan memaksa Allah untuk mengganjari mereka.
Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. (Luk 18:13). Di lain pihak, pemungut cukai itu mengenal dirinya sebagai pendosa di hadapan Allah dan sesama, apa yang dapat dilakukannya hanyalah meminta ampun. Dia merasa tidak layak di hadapan Allah, dia tidak berani menengadah ke langit, dan di dalam doa dia hanya berani menadahkan tangannya saja. (Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan. – 1 Tim 2:8). Pemungut cukai itu merasa malu dengan dosa yang telah dilakukannya. Perbuatan mereka menjadi bahan caci-maki dan sindiran di antara bangsanya sendiri, karena mereka bekerja untuk orang Romawi. Pemungut cukai tersebut sadar, bahwa dia telah memeras dan mengkorupsi uang mereka, sehingga bangsanya sendiri memandangnya sebagai seorang perampok dan pengkhianat.
Allah melihat hati yang terdalam dari kedua orang itu, pemungut cukai itu dengan rendah hati mengakui kesalahannya bahwa dia telah berdsoa dan hanya bersandar sepenuhnya pada “belas kasih Allah”, sedangkan orang Farisi itu tidak. Allah membenarkan pemungut cukai itu dan mendengarkan doanya, dia berada dalam kebenaran dan rahmat Allah ketika pemungut cukai itu kembali ke rumah (Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan." – Luk 18:14).
Yesus mengundang kita untuk bersikap “rendah hati” jika kita ingin memperoleh kebenaran yang diperhitungkan di mata Allah. Karena ini tidak dapat diperoleh hanya lewat jasa dan praktek keagamaan, tetapi kita menerimanya sebagai anugerah dari Allah, yang ditujukan kepada kita yang merindukan pengampunan dan kekudusan. Apa yang dikehendaki Allah bagi kita begitu besar, Dia ingin memberikannya, kita tidak akan pernah bisa membelinya dengan praktek-praktek keagamaan atau karya-karya amal, tetapi bagi kita yang percaya kepada-Nya dan mengandalkan-Nya, Allah memberikan semuanya (Karena itu hal ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran. Kata-kata ini, yaitu "hal ini diperhitungkan kepadanya," tidak ditulis untuk Abraham saja, tetapi ditulis juga untuk kita; sebab kepada kita pun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia, yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita. - Rm 4:22-25).
- Zakheus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar