Hormatilah tabib sebagaimana mestinya, sebab ia kaubutuhkan, oleh karena iapun diciptakan Tuhan juga. Memang penyembuhan datang dari Yang Mahatinggi, dan sebagai pemberian diterima dari Raja. Namun kepandaian seorang tabib meninggikan kepalanya, dan di hadapan para pembesar ia dikagumi.
Tuhan menciptakan obat-obatan dari bumi, dan tidak diabaikan oleh orang yang arif. Bukankah air menjadi tawar karena sepotong kayu, sehingga dayanya menjadi nyata?
Tuhan memberikan kepada manusia pengetahuan, supaya dimuliakan karena pekerjaan-pekerjaan-Nya yang ajaib. Dengannya tabib menyembuhkan dan melenyapkan derita, dan juru obatpun mengolah campurannya. Dengan demikian pekerjaan Tuhan tak pernah berhenti, dan kesejahteraan dipertahankan di bumi.
Anakku, kalau jatuh sakit janganlah berayal-ayalan. Berdoalah kepada Tuhan, niscaya engkau disembuhkan-Nya. Jauhilah yang salah dan tanganmu hendaknya lurus, dan bersihkanlah hatimu dari segala dosa. Hendaklah mempersembahkan korban harum-haruman dan korban peringatan dari pati tepung, serta minyak tuangan sesuai dengan kemampuanmu. Tetapi berikanlah tempat kepada tabib juga, sebab iapun diciptakan Tuhan, janganlah tabib jauh dari padamu, sebab kaubutuhkan pula. Adakalanya kesehatan terletak di tangan tabib. Mereka juga berdoa kepada Tuhan, semoga Ia menganugerahkan keringanan penyakit serta penyembuhan akan keselamatan hidup.
(Sir 38, 1-14)
6/30/2008
HOTMATILAH TABIB
KISAH RACUN
Dahulu kala di negeri Cina, adalah seorang gadis bernama Li-Li, ia baru menikah dan tinggal bersama mertua. Dalam waktu singkat, Li-Li tahu bahwa ia sangat tidak cocok tinggal serumah dengan ibu mertuanya, karakter mereka sangat jauh berbeda. Dan Li-Li sangat tidak menyukai kebiasaan ibu mertuanya.
Hari berganti hari, begitu pula bulan berganti bulan, Li-Li dan ibu mertuanya tak pernah berhenti berdebat dan bertengkar. Yang makin membuat Li-Li kesal adalah adat kuno Cina yang mengharuskan ia untuk selalu menundukkan kepala untuk menghormati mertuanya dan mentaati semua kemauannya. Semua kemarahan dan ketidak-bahagiaan di dalam rumah itu menyebabkan kesedihan yang mendalam pada hati suami Li-Li, seorang yang berjiwa sederhana.
Akhirnya, Li-Li tidak tahan lagi terhadap sifat buruk dan kelakuan ibu mertuanya, dan ia benar-benar telah bertekad untuk melakukan sesuatu. Li-Li pergi menjumpai seorang teman ayahnya yaitu Sinshe Wang yang mempunyai Toko Obat Cina. Ia menceritakan situasinya dan minta dibuatkan ramuan racun yang kuat untuk diberikan pada ibu mertuanya. Sinshe Wang berpikir keras sejenak, lalu ia berkata, "Li-Li, saya mau membantu kamu menyelesaikan masalahmu, tetapi kamu harus mendengarkan saya dan mentaati apa yang saya sarankan." Li-Li berkata, "OK pak Wang, saya akan mengikuti apa saja yang bapak katakan, yang harus saya perbuat."
Sinshe Wang masuk ke dalam, dan tak lama kemudian ia kembali dengan menggenggam sebungkus ramuan, ia berkata kepada Li-Li, "Kamu tidak bisa memakai racun keras yang mematikan seketika untuk meyingkirkan ibu mertuamu, karena hal itu akan membuat semua orang menjadi curiga. Oleh karena itu, saya memberi kamu ramuan beberapa jenis tanaman obat yang secara perlahan-lahan akan menjadi racun di dalam tubuhnya".
Sinshe Wang melanjutkan, “Setiap hari, sediakan makanan yang enak-enak dan masukkan sedikit ramuan obat ini ke dalamnya. Lalu, supaya tidak ada yang curiga saat ia mati nanti, kamu harus hati-hati sekali dan bersikap sangat bersahabat dengannya. Jangan berdebat dengannya, taati semua kehendaknya, dan perlakukan dia seperti seorang ratu." Li-Li sangat senang, ia berterima kasih kepada pak Wang dan buru-buru pulang ke rumah untuk memulai rencana membunuh ibu mertuanya.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan pun berlalu, setiap hari Li-Li melayani mertuanya dengan makanan yang enak-enak, yang sudah "dibumbuinya". Ia mengingat semua petunjuk dari Sinshe Wang tentang hal mencegah kecurigaan, maka ia mulai belajar untuk mengendalikan amarahnya, mentaati perintah ibu mertuanya, dan memperlakukannya seperti ibunya sendiri.
Setelah enam bulan lewat, suasana di dalam rumah itu berubah secara drastis. Li-Li sudah mampu mengendalikan amarahnya sedemikian rupa sehingga ia menemukan dirinya tidak pernah lagi marah atau kesal, ia tidak pernah berdebat lagi dengan ibu mertuanya selama enam bulan terakhir, karena ia mendapatkan bahwa ibu mertuanya kini tampak lebih ramah kepadanya. Sikap si ibu mertua terhadap Li-Li telah berubah, dan mulai mencintai Li-Li seperti puterinya sendiri. Ia terus menceritakan kepada kawan-kawan dan sanak familinya bahwa Li-Li adalah menantu yang paling baik yang ia peroleh. Li-Li dan ibu mertuanya saling memperlakukan satu sama lain seperti layaknya seorang ibu dan anak yang sesungguhnya. Suami Li-Li sangat bahagia menyaksikan semua yang terjadi.
Suatu hari, Li-Li pergi menjumpai Sinshe Wang dan meminta bantuannya sekali lagi. Ia berkata, "Pak Wang, tolong saya untuk mencegah supaya racun yang saya berikan kepada ibu mertua saya tidak sampai membunuhnya !, ia telah berubah menjadi seorang wanita yang begitu baik, sehingga saya sangat mencintainya seperti kepada ibu saya sendiri. Saya tidak mau ia mati karena racun yang saya berikan kepadanya." Sinshe Wang tersenyum, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Li-Li, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Saya tidak pernah memberi kamu racun. Ramuan yang saya berikan kepadamu itu hanyalah ramuan penguat badan untuk menjaga kesehatan beliau, satu-satunya racun yang ada, adalah yang terdapat di dalam pikiranmu sendiri, dan di dalam sikapmu terhadapnya, …… tetapi semuanya itu telah disapu bersih dengan cinta yang kamu berikan kepadanya ..."
Ada pepatah Cina kuno berkata: "Orang yang mencintai orang lain, akan dicintai juga sebagai balasannya." (Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat bagimu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. - Mat 7, 12)
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. (1 kor 13, 4-7)
6/27/2008
CINTA SEEKOR KADAL
Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor kadal terperangkap diantara ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuah paku. Dia merasa kasihan sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengecek paku itu, ternyata paku tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun. Apa yang terjadi? Bagaimana kadal itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap selama 10 tahun? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikitpun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal. Orang itu lalu berpikir, bagaimana kadal itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada paku itu!
Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan kadal itu, apa yang dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. kemudian, tidak tahu darimana datangnya, seekor kadal lain muncul dengan makanan di mulutnya .... astaga!! Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor kadal lain yang selalu memperhatikan kadal yang terperangkap itu selama 10 tahun. Sungguh ini sebuah cinta...cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan yang kecil seperti dua ekor kadal itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? tentu saja sebuah keajaiban. Bayangkan, kadal itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. bayangkan bagaimana hewan yang kecil itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan. Saya tersentuh ketika mendengar cerita ini. Lalu saya mulai berpikir tentang hubungan yang terjalin antara keluarga, teman, saudara lelaki, saudara perempuan.....berusahalah semampumu untuk tetap dekat dengan orang-orang yang kita kasihi.
Jangan Pernah Mengabaikan Orang Yang Kita Kasihi.
dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah (Ef 5, 2)
Memberi Dari Kekurangannya
Aku lalu mengambil sedikit beras dan segera berangkat. Ketika aku sampai di rumah mereka, aku dapat melihat kelaparan di mata anak-anak itu. Mata mereka bercahaya dalam kelaparan. Kuberikan beras itu kepada ibu mereka, ibu itu mengambilnya, kemudian membagi dua bagian beras yang kubawakan itu. Kemudian ia keluar, dan ketika ia kembali aku bertanya kepadanya : “Kamu pergi ke mana ?” dan ia berkata : “Mereka juga lapar.”
Rupanya tetangganya juga kelaparan !
Yang sangat menyentuh hatiku adalah bukan karena ia memberikan beras itu, tetapi bahwa ia tahu, tetangga mereka juga lapar, karena itu ia membaginya. Aku tidak membawakan lebih banyak beras malam itu, dan aku menunggu hingga pagi berikutnya agar mereka mendapatkan pengalaman bergembira dalam berbagi dan mengasihi.
Cinta, sebenarnya harus sampai menyakitkan, dan wanita yang kelaparan itu tahu, bahwa tetangganya juga kelaparan, kebetulan keluarga tetangganya itu Muslim !
Kenyataan yang sungguh-sungguh menyentuh hati, sungguh-sungguh nyata.
Sumber : Ibu Theresa, Karya Dan Orang-Orangnya
Oleh : Yohanes Bosko Beding SVD
Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya. (Mrk 12: 44)
Imam Yang Tunggal Dan Satu-Satunya
Kitab Ibrani bab 8 meyakinkan orang, bahwa Yesus telah menggantikan imam-imam umat Allah, dan bahwa dengan “imamatnya” ini hubungan kita dengan Allah diubah. Kitab Ibrani Bab 9 membandingkan kultus yang dirayakan dalam kenisah Yerusalem dengan kultus baru yang dirayakan oleh Kristus-Imam.
Korban yang dipersembahkan oleh Kristus, kematian-Nya, tidak sama dengan kurban-kurban lama untuk menenangkan murka Allah. Kematian-Nya merupakan kesaksian final dan cara Ia menaburkan di antara umat manusia apa yang tidak mau mereka terima, dengan kesaksian ini, Ia menyerahkan diri-Nya ke dalam tangan Bapa.
Dengan mengetahui siapa pengarang surat ini (kitab Ibrani) dan kepada siapa surat ini dialamatkan, kita mengerti bahwa ia menghubungkan “darah” Yesus dan kematian-Nya dengan darah kurban yang dipersembahkan dalam kenisah, karena bagi sidang pembaca waktu itu kurban-kurban ini sangat penting, tetapi sekarang kita mempunyai hak untuk menghubungkan darah dan kematian Kristus dengan kematian orang-orang tidak bersalah yang terbunuh (supaya kamu menanggung akibat penumpahan darah orang yang tidak bersalah mulai dari Habel, orang benar itu, sampai kepada Zakharia anak Berekhya, yang kamu bunuh di antara tempat kudus dan mezbah - Mat 23, 35) dan darah mereka yang suci.
Yesus adalah imam yang unik, dan kita berbicara tentang imam-imam dalam Gereja. Marilah kita melihat segala sesuatu secara jelas, khususnya ketika imamat, hampir di mana-mana berada dalam krisis.“sacerdos” yang berarti baik imam yang melayani dewa-dewa Romawi maupun imam-imam bangsa Yahudi. Ketika Gereja mulai terbentuk, tidak sesaatpun kita berpikir tentang imam semacam ini, yaitu orang-orang suci yang mempunyai hak istimewa mendekati Allah untuk membawa kurban.
Kristus sendiri adalah “sacerdos” dan semua yang dimiliki Gereja adalah “presbyter” yang berarti kaum tua-tua, gelar yang sama yang dipergunakan bangsa Yahudi untuk mereka yang bertanggung jawab atas umat. Sementara seorang “presbyter” telah menjadi imam, suatu sebutan yang menghidupkan kembali makna istilah kuno “sacerdos” yang sebetulnya sudah dibuang.
Ini bukan suatu kebetulan, sejak abad keempat Gereja telah mengadopsi istilah “sacerdos” untuk dikenakan kepada orang-orang yang terpilih dari antara orang suci dan ditahbiskan. Mengapa ada langkah mundur ? Salah satu sebabnya yaitu karena waktu telah berubah, Gereja Katakombe telah berkembang menjadi Gereja Kristen yang diakui oleh pemerintah, dengan populasi orang Kristen yang terbagi dalam kelompok-kelompok seperti yang diasuh oleh organisasi “klerus”
Tetapi ada juga alasan-alasan mendalam lainnya, kita tahu bahwa Gereja bukanlah suatu masyarakat manusiawi belaka dan bahwa organisasinya harus mencerminkan tata aturan yang berlaku dalam Allah. Dengan demikian para uskup harus mengejewantahkan kewenangan para rasul yang dipilih oleh Yesus. Mereka pada gilirannya merupakan saksi-saksi resmi Kristus dan memimpin Gereja tanpa harus “tunduk kepada kehendak mayoritas”, dengan demikian mereka tetap mempertahankan di dalam Gereja prinsip kebapakan (Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya. - Ef 3, 14-15).
Selain itu Gereja memandang tahbisan imam dan uskup sebagai sakramen, mereka bukanlah fungsionaris yang menjalankan tugas untuk masa jabatan tertentu, tetapi mengembannya seumur hidup, seperti yang kiranya tercermin dalam kata “pelayan”. Tanggung jawab mereka kepada Kristus dan persembahan diri mereka kepada pribadi Kristus.
“Pelayan-pelayan” pengganti para rasul adalah imam dalam arti tertentu, tetapi sulit mengawinkan dua istilah yang tampaknya sangat bertentangan ini. Penting bagi mereka untuk memiliki kewenangan rohani tetapi tidak mentolerir tanda-tanda lahiriah yang ditolak baik oleh Yesus maupun oleh para rasul. Dalam mengambil keputusan, mereka harus tetap waspada untuk tudak membiarkan kewenangan mereka yang diakui orang itu terpengaruh oleh pertimbangan kepentingan manusiawi kita. Juga keputusan yang diambil tidak boleh didasarkan atas pertimbangan, sekadar lain dari yang lain atau untuk dilayani orang lain. Mereka harus menjadi “panutan” iman, tetapi tidak mengambil keputusan untuk orang lain, menjadi pemimpin tetapi tidak berkewajiban menjadi perantara antara Allah dan orang yang dibaptis.
Semua yang kelihatan tidak mungkin ini, hanya mungkin terjadi dengan satu syarat, meneladani Kristus, yaitu menyangkal diri bahkan sampai mati.
6/26/2008
Adakah Orang Yang Mendoakan Kita ?
Seorang pengusaha sukses jatuh di kamar mandi dan akhirnya stroke. Sudah 7 malam dirawat di RS di ruang ICU. Di saat orang-orang terlelap dalam mimpi malam, dalam dunia roh seorang malaikat menghampiri si pengusaha yang terbaring tak berdaya. Malaikat memulai pembicaraan, "Kalau dalam waktu 24 jam ada 50 orang berdoa buat kesembuhanmu, maka kau akan hidup. Dan sebaliknya jika dalam 24 jam jumlah yang aku tetapkan belum terpenuhi, itu artinya kau akan meninggal dunia! "Kalau hanya mencari 50 orang, itu mah gampang .. . " kata si pengusaha ini dengan yakinnya.
Setelah itu Malaikat pun pergi dan berjanji akan datang 1 jam sebelum batas waktu yang sudah disepakati. Tepat pukul 23:00, Malaikat kembali mengunjunginya; dengan antusiasnya si pengusaha bertanya, "Apakah besok pagi aku sudah pulih? Pastilah banyak yang berdoa buat aku, jumlah karyawan yang aku punya lebih dari 2000 orang, jadi kalau hanya mencari 50 orang yang berdoa pasti bukan persoalan yang sulit". Dengan lembut si Malaikat berkata, "Anakku, aku sudah berkeliling mencari suara hati yang berdoa buatmu tapi sampai saat ini baru 3 orang yang berdoa buatmu, sementara waktumu tinggal 60 menit lagi. Rasanya mustahil kalau dalam waktu dekat ini ada 50 orang yang berdoa buat kesembuhanmu". Tanpa menunggu reaksi dari si pengusaha, si malaikat menunjukkan layar besar berupa TV siapa 3 orang yang berdoa buat kesembuhannya. Di layar itu terlihat wajah duka dari sang istri, di sebelahnya ada 2 orang anak kecil, putra putrinya yang berdoa dengan khusuk dan tampak ada tetesan air mata di pipi mereka".
Kata Malaikat, "Aku akan memberitahukanmu, kenapa Tuhan rindu memberikanmu kesempatan kedua? Itu karena doa istrimu yang tidak putus-putus berharap akan kesembuhanmu" Kembali terlihat dimana si istri sedang berdoa jam 2:00 subuh, " Tuhan, aku tahu kalau selama hidupnya suamiku bukanlah suami atau ayah yang baik! Aku tahu dia sudah mengkhianati pernikahan kami, aku tahu dia tidak jujur dalam bisnisnya, dan kalaupun dia memberikan sumbangan, itu hanya untuk popularitas saja untuk menutupi perbuatannya yang tidak benar dihadapanMu. Tapi Tuhan, tolong pandang anak-anak yang telah Engkau titipkan pada kami, mereka masih membutuhkan seorang ayah. Hamba tidak mampu membesarkan mereka seorang diri." Dan setelah itu istrinya berhenti berkata-kata tapi air matanya semakin deras mengalir di pipinya yang kelihatan tirus karena kurang istirahat", terasa, air mata mengalir di pipi pengusaha ini. Timbul penyesalan bahwa selama ini bahwa dia bukanlah suami yang baik. Dan ayah yang menjadi contoh bagi anak-anaknya. Malam ini dia baru menyadari betapa besar cinta istri dan anak-anak padanya.
Waktu terus bergulir, waktu yang dia miliki hanya 10 menit lagi, melihat waktu yang makin sempit semakin menangislah si pengusaha ini,penyesalan yang luar biasa. Tapi waktunya sudah terlambat ! Tidak mungkin dalam waktu 10 menit ada yang berdoa 47 orang ! Dengan setengah bergumam dia bertanya,"Apakah diantara karyawanku, kerabatku, teman bisnisku, teman organisasiku tidak ada yang berdoa buatku ?" Jawab si Malaikat, "beberapa yang berdoa buatmu.Tapi mereka tidak Tulus. Bahkan ada yang mensyukuri penyakit yang kau derita saat ini. Itu semua karena selama ini kamu arogan, egois dan bukanlah atasan yang baik. Bahkan kau tega memecat karyawan yang tidak bersalah". Si pengusaha tertunduk lemah, dan pasrah kalau malam ini adalah malam yang terakhir buat dia. Tapi dia minta waktu sesaat untuk melihat anak dan si istri yang setia menjaganya sepanjang malam. Air matanya tambah deras, ketika melihat anaknya yang sulung tertidur di kursi rumah sakit dan si istri yang kelihatan lelah juga tertidur di kursi sambil memangku si bungsu.
Ketika waktu menunjukkan pukul 24:00, tiba-tiba si Malaikat berkata,"Anakku, Tuhan melihat air matamu dan penyesalanmu !! Kau tidak jadi meninggal, karena ada 47 orang yang berdoa buatmu tepat jam 24:00". Dengan terheran-heran dan tidak percaya, si pengusaha bertanya siapakah yang 47 orang itu. Sambil tersenyum si Malaikat menunjukkan suatu tempat yang pernah dia kunjungi bulan lalu. "Bukankah itu Panti Asuhan ?", kata si pengusaha pelan. "Benar anakku, kau pernah memberi bantuan bagi mereka beberapa bulan yang lalu, walau aku tahu tujuanmu saat itu hanya untuk mencari popularitas saja dan untuk menarik perhatian pemerintah dan investor luar negeri. " "Tadi pagi, salah seorang anak panti asuhan tersebut membaca di koran kalau seorang pengusaha terkena stroke dan sudah 7 hari di ICU. Setelah melihat gambar di koran dan yakin kalau pria yang sedang koma adalah kamu, pria yang pernah menolong mereka dan akhirnya anak-anak panti asuhan sepakat berdoa buat kesembuhanmu. "
Doa sangat besar kuasanya. Tak jarang kita malas. Tidak punya waktu. Tidak terbeban untuk berdoa bagi orang lain. Ketika kita mengingat seorang sahabat lama/keluarga, kita pikir itu hanya kebetulan saja padahal seharusnya kita berdoa bagi dia. Mungkin saja pada saat kita mengingatnya dia dalam keadaan butuh dukungan doa dari orang-orang yang mengasihi dia. Disaat kita berdoa bagi orang lain, kita akan mendapatkan kekuatan baru dan kita bisa melihat kemuliaan Tuhan dari peristiwa yang terjadi.
Hindarilah perbuatan menyakiti orang lain... Sebaliknya perbanyaklah berdoa buat orang lain
AKU MELIHAT WAJAH ALLAH BERSINAR
Dalam bukunya "Blessings and Woes", Megam McKenna menceritakan seorang pemotret yang mengamati dunia lewat lensa kameranya, namun gagal membidik gambar yang terpenting dalam hidupnya. Diakhir tahun 1980'an Ekuador dilanda krisis ekonomi berat. Lalu, dalam proporsi besar sekali, terserang epidemi wabah kolera.
Seakan masih kurang, bencana alam silih-berganti memporakporandakan desa-desa maupun kota-kota. PBB dan badan sosial Kristen lainnya meresponi dengan membawakan persediaan jagung, produk2 kedelai, susu, buah2an, tortilla (makanan dari tepung jagung), beras dan kacang2an.
Juru potret itu mengambil posisi di suatu jalan utama dimana orang-orang sakit, yang kelaparan, yang sudah letih lesu saling berbaris menunggu pembagian makanan. Ia sudah terlatih untuk mengawasi hal-hal kecil dan situasi umumnya yang sedang berkembang.Ia tertarik pada seorang gadis -- kurus kering dan dekil, berusia sekitar 9 atau 10 tahun. Diamatinya, selagi gadis ini dengan sabar antri, matanya selalu tertuju pada tiga anak lain lagi yang saling erat berjongkok di bawah sebuah pohon besar, memayungi diri dan menghindar dari terik panas matahari. Dua bocah laki-laki, berumur 5 dan 7, saling menggandeng seorang gadis kecil sekitar 3 tahun. Karena perhatiannya teralihkan, gadis itu tidak melihat bahwa pekerja-pekerja sosial itu sedang kehabisan persediaan makanan. Jantung ahli potret itu berdetak keras. Kameranya juga sudah siap.
Setelah ber-jam2 terjemur di bawah matahari, gadis kecil itu akhirnya mendapatkan giliran dilayani. Yang ia terima cuma sebuah pisang. Tetapi, reaksinya begitu memukau dan seakan melumpuhkan tukang potret ini. Pertama, wajahnya menyala, bersinar dalam sebuah senyum begitu manis. Ia menerima pisang itu dan membungkuk pada pekerja sosialnya. Lalu cepat-cepat ia berlari menuju ketiga anak kecil di bawah pohon tadi. Dengan amat hati-hati ia menguliti, membaginya rata dalam 3 potong dan dengan hati-hati sekali, ditaruhnya masing-masing ke dalam tangan tiap anak. Bersama-sama mereka menundukkan kepala dan berdoa mengucap syukur! Lalu, perlahan2, mereka memakan potongan pisang, benar-benar menikmati setiap gigitannya, sedang gadis tertua itu mengisapi kulitnya.
Tukang potret itu terdiam seribu bahasa. Tak tertahan lagi, ia mulai menangis tersedu-sedu, lupa sama sekali akan semua kameranya dan akan tujuan utamanya ia hadir disana. Belakangan, setelah sadar kembali, ia bertutur, ketika sedang mengamati gadis itu, ia melihat wajah Allah bersinar. Ia sempat mengintip secuil kecil Kerajaan Allah dalam wajah dan tindakan-tindakan seorang gadis miskin jalanan yang begitu kaya dalam kemurahan hati, cinta kasih dan saling kepedulian.Ia memang benar: itu memang wajah Allah yang dilihatnya di dalam diri gadis kecil itu yang "mematikan" kebutuhannya sendiri agar orang lain bisa dipuaskan dan hidup. Dan adalah wajah Allah yang kita lihat dalam diri Yesus yang berlutut di lantai, mencuci segala tanah dan kotoran yang melekat di kaki para muridNya, dan membasuh dengan tanganNya sendiri. (JM)
Excerpted from Sambuhay by Society of St. Paul The God We Encounter at the Super Table (orig. title).
Shared by Joe Gatuslao -- Philippines
6/23/2008
KEMBALI
Harian The New York Post memuat kisah sekelompok anak-anak muda yang bepergian dengan bis pada suatu perjalanan liburan menuju Fort Lauderdale, Florida. Tak lama setelah berangkat, mereka melihat sorang laki-laki setengah baya berkulit gelap dengan berpakaian kotor dan buruk, tampak amat kebingungan ketika ia duduk membungkuk di tempat duduknya sambil kepalanya terkulai.
Ketika bis itu berhenti di sebuah kedai kopi di pinggir jalan, semua orang turun kecuali Vingo, begitulah anak-anak muda itu menyebutnya.
Anak-anak itu mulai tertarik padanya dan ingin tahu dia berasal dari mana, kemana tujuannya. Akhirnya, salah seorang berusaha duduk di dekatnya dan berkata, “Kami akan ke Florida. Apakah anda mau coca-cola?” Orang itu menerima dan menengguknya sambil berkata, “Terima kasih”.
Setelah beberapa saat, ia mulai bercerita mengenai kisahnya. Ia berada di penjara New York selama 4 tahun. “Waktu itu di sana, aku menulis kepada isteriku dan mengatakan bahwa aku akan berada di tempat yang jauh untuk waktu yang lama dan jika ia tidak dapat menerima keadaan ini, biarlah ia melupakan diriku saja. Aku berkata kepadanya, janganlah menulis atau berbuat sesuatu. Dan ia tidak menulis surat untuk selama tiga setengah tahun ini."
Kemudian ia menambahkan, “Isteriku adalah seorang wanita yang hebat, sungguh-sungguh baik, sungguh-sungguh luar biasa”.
“Dan sekarang, kamu akan pulang dan tidak mengetahui apakah dapat berharap ?” tanya gadis di sebelahnya.
“Yah, begitulah, akhir minggu yang lalu ketika masa pembebasan percobaanku datang, aku menulis kepadanya lagi. Aku berkata bahwa aku akan pulang dengan bis. Kalau kamu tiba di Jacksonville, di mana kami tinggal, ada sebuah pohon Oak yang besar sekali. Aku berkata kepada isteriku, bahwa jika ia menerima aku kembali, ia dapat mengikat pita kuning di pohon tersebut dan aku akan turun dari bis dan pulang. Tapi, jika ia tidak menghendaki diriku lagi, supaya melupakannya saja; jangan memasang pita apapun dan aku akan melanjutkan perjalananku”.
Gadis itu menceritakan kepada teman-temannya yang lain dan segera mereka semuanya terlibat, memandangi foto isteri Vingo dan anak-anak mereka dan semuanya makin tertarik dan gugup ketika mendekati kota Jacksonville.
Suasana menjadi hening di dalam bis, wajah Vingo tegang. Tiba-tiba semua anak muda itu berdiri dari tempat duduk mereka, mereka berteriak, menjerit, menangis dan menari-nari. Semuanya, kecuali Vingo. Ia hanya duduk tertegun di sana memandangi pohon Oak itu. Seluruh pohon itu tertutup dengan pita kuning, entah 20 atau 30. Pohon Oak itu berubah menjadi panji-panji selamat datang.
Ketika anak-anak muda itu berteriak, Vingo bangkit dari tempat duduknya, berjalan menuju ke depan bis, tersenyum kembali kepada anak-anak muda temannya sambil berlinang air mata, dan turun dari bis berjalan menuju kembali kepada keluarganya.
6/18/2008
Mother Theresa Mengisahkan ...

Pada suatu sore, kami keluar rumah sebentar untuk berjalan-jalan. Waktu pulang, kami membawa serta empat orang gelandangan, satu diantara mereka dalam keadaan yang sangat parah.
Saya mengatakan kepada suster-suster :”Rawatlah tiga yang lain, aku akan merawat yang paling parah ini.” Lalu aku perbuat padanya apa saja yang masih mungkin, yaitu apa yang dapat kucurahkan dari cintaku, kubaringkan dia di ranjang, dan kulihat seutas senyuman yang sangat manis tersungging di bibirnya. Ia memegang tanganku erat-erat, sambil mengucapkan satu-satunya kata yang terakhir :”Terima kasih.” Lalu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia mati.
Sesudah itu aku tidak dapat berbuat lain dari pada merenungkan kembali kejadian itu dan berusaha mawas diri, dalam hati aku bertanya, seandainya aku yang mengalami nasib serupa, apa yanag akan kukatakan ? Dan jawabanku ialah, saya tentu berusaha minta dikasihani, memikirkan diri sendiri dan mengeluh aku lapar, aku akan mati, aku kedinginan, aku sakit atau kata-kata manja lainnya semacam itu. Sedangkan orang itu memberikan saya jauh lebih banyak, ia memberikan padaku cintanya yang terakhir, yang penuh ucapan syukur, dia menghembuskan nafas yang terakhir dengan senyuman manis di bibirnya, padahal badannya sudah separuh digerogoti cacing ketika kubawa masuk. Dia berkata :”Aku biasanya hidup seperti binatang di jalan-jalan, tetapi kini aku akan mati seperti malaikat, dicintai dan diperhatikan.”
Betapa mengena di hati, kalau menyaksikan keagungan manusia yang dalam situasi sedemikian kritis, masih dapat mengucapkan kata-kata seperti itu, yang dengan pasrah menerima kematiannya tanpa mempersalahkan siapa-siapa, tanpa mengutuk siapapun dan tidak membanding-bandingkan nasibnya dengan nasib orang lain. Itulah kebesaran jiwa orang-orang bersahaja.
Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Mat 25: 40)
Sumber : Ibu Theresa, Karya dan Orang-orangnya
Oleh : Yohanes Bosko Beding SVD
6/13/2008
FAMILY
Saya menabrak seorang yang tidak dikenal ketika ia lewat. "Oh, maafkan saya" adalah reaksi saya. Ia berkata, "Maafkan saya juga; Saya tidak melihat Anda." Orang tidak dikenal itu, juga saya, berlaku sangat sopan. Akhirnya kami berpisah dan mengucapkan selamat tinggal.
Namun cerita lainnya terjadi di rumah, lihat bagaimana kita memperlakukan orang-orang yang kita kasihi, tua dan muda. Pada hari itu juga, saat saya tengah memasak makan malam, anak lelaki saya berdiri diam-diam di samping saya. Ketika saya berbalik, hampir saja saya membuatnya jatuh. "Minggir," kata saya dengan marah. Ia pergi, hati kecilnya hancur. Saya tidak menyadari betapa kasarnya kata-kata saya kepadanya. Ketika saya berbaring di tempat tidur, dengan halus Tuhan berbicara padaku. "Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan, tetapi anak-anak yang engkau kasihi, sepertinya engkau perlakukan dengan sewenang-wenang. Coba lihat ke lantai dapur, engkau akan menemukan beberapa kuntum bunga dekat pintu." "Bunga-bunga tersebut telah dipetik sendiri oleh anakmu;
merah muda, kuning dan biru. Anakmu berdiri tanpa suara supaya tidak menggagalkan kejutan yang akan ia buat bagimu, dan kamu bahkan tidak melihat matanya yang basah saat itu." Seketika aku merasa malu, dan sekarang air mataku mulai menetes.
Saya pelan-pelan pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, "Bangun, nak, bangun," kataku. "Apakah bunga-bunga ini engkau petik untukku?" Ia tersenyum, " Aku menemukannya jatuh dari pohon. "
"Aku mengambil bunga-bunga ini karena mereka cantik seperti Ibu. Aku tahu Ibu akan menyukainya, terutama yang berwarna biru."
Aku berkata, "Anakku, Ibu sangat menyesal karena telah kasar padamu; Ibu seharusnya tidak membentakmu seperti tadi."
Si kecilku berkata, "Oh, Ibu, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu."
Aku pun membalas, "Anakku, aku mencintaimu juga, dan aku benar-benar menyukai bunga-bunga ini, apalagi yang biru."
Apakah kita menyadari, bahwa jika kita mati, perusahaan di mana kita bekerja dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Tetapi keluarga yang kita tinggalkan akan merasakan kehilangan selama sisa hidup mereka. Mari kita renungkan, kita melibatkan diri lebih dalam kepada pekerjaan kita ketimbang keluarga kita sendiri, suatu investasi yang tentunya kurang bijaksana, bukan?
Dalam bahasa Inggris, KELUARGA = FAMILY.
FAMILY = (F)ather (A)nd (M)other, (I), (L)ove, (Y)ou.
Sumber : Anonim
ST. ANTHONY OF PADUA—1195-1231 A.D.
St. Anthony of Padua is one of the most famous disciples of St. Francis of
is known throughout the world.
St. Anthony's Youth & Conversion
St. Anthony was born in the year 1195 A. D. at Lisbon Portugal where his father was a captain in the royal army. Already at the age of fifteen years, he had entered the Congregation of Canons Regular of St. Augustine and devoted himself with great earnestness both to study and to the practice of piety in the Monastery at Coimbra (Portugal).
About that time some of the first members of the Order of Friars Minor, which St. Francis has founded in 1206 A. D. came to Coimbra. They begged from the Canons Regular a small and very poor place, from which by their evangelical poverty and simplicity they edified everyone in the region. Then in 1219 A. D. some of these friars, moved by divine inspiration, went as missionaries to preach the Gospel of Christ to the inhabitants of Morocco. There they were brutally martyred for the Faith. Some Christian merchants succeeded in recovering their remains; and so brought their relics in triumph back to Coimbra.
The relics of St. Bernard and companions, the first martyrs of the Franciscan Order, seized St. Anthony with an intense desire to suffer martyrdom in a like manner. So moved by their heroic example he repeatedly begged and petitioned his superiors to be given leave to join the Franciscan Order. In the quiet little Franciscan convent at Coimbra he received a friendly reception, and in the same year his earnest wish to be sent to the missions in Africa was fulfilled.
St. Anthony's Arrival in Italy
But God had decreed otherwise. And so, St. Anthony scarcely set foot on African soil when he was seized with a grievous illness. Even after recovering from it, he was so weak that, resigning himself to the will of God, he boarded a boat back to Portugal. Unexpectedly a storm came upon them and drove the ship to the east where it found refuge on coast of Sicily. St. Anthony was greeted and given shelter by the Franciscans of that island, and thus came to be sent to Assisi, where the general chapter of the Order was held in May, 1221 A. D..
Since he still looked weak and sickly, and gave no evidence of his scholarship, no one paid any attention to the stranger until Father Gratian, the Provincial of friars living in the region of Romagna (Italy), had compassion on him and sent him to the quiet little convent near Forli (also in Italy). There St. Anthony remained nine months as chaplain to the hermits, occupied in the lowliest duties of the kitchen and convent, and to his heart's content he practiced interior as well as exterior mortification.
St. Anthony, Preacher and Teacher
But the hidden jewel was soon to appear in all its brilliance. For the occasion of a ceremony of ordination some of the hermits along with St. Anthony were sent to the town of Forli. Before the ceremony was to begin, however, it was announced that the priest who was to give the sermon had fallen sick. The local superior, to avert the embarrassment of the moment, quickly asked the friars in attendance to volunteer. Each excused himself, saying that he was not prepared, until finally, St. Anthony was asked to give it. When he too, excused himself in a most humble manner, his superior ordered him by virtue of the vow of obedience to give the sermon. St. Anthony began to speak in a very reserved manner; but soon holy animation seized him, and he spoke with such eloquence, learning and unction that everybody was fairly amazed.
When St. Francis was informed of the event, he gave St. Anthony the mission to preach throughout Italy. At the request of the brethren, St. Anthony was later commissioned also to teach theology, "but in such a manner," St. Francis distinctly wrote, " that the spirit of prayer be not extinguished either in yourself or in the other brethren." St. Anthony himself placed greater value in the salvation of souls than on learning. For that reason he never ceased to exercise his office as preacher despite his work of teaching.
The number of those who came to hear him was sometimes so great that no church was large enough to accommodate and so he had to preach in the open air. Frequently St. Anthony wrought veritable miracles of conversion. Deadly enemies were reconciled. Thieves and usurers made restitution. Calumniators and detractors recanted and apologized. He was so energetic in defending the truths of the Catholic Faith that many heretics returned to the Church. This occasioned the epitaph given him by Pope Gregory IX "the ark of the covenant."
In all his labors he never forgot the admonition of his spiritual father, St. Francis, that the spirit of prayer must not be extinguished. If he spent the day in teaching and heard the confession of sinners till late in the evening, then many hours of the night were spent in intimate union with God.
Once a man, at whose home St. Anthony was spending the night, came upon the saint and found him holding in his arms the Child Jesus, unspeakably beautiful and surrounded with heavenly light. For this reason St. Anthony is often depicted holding the Child Jesus.
St. Anthony's Death
In 1227 A. D., St. Anthony was elected Minister Provincial of the friars living in northern Italy. Thus he resumed the work of preaching. Due to his taxing labors and his austere penance, he soon felt his strength so spent that he prepared himself for death. After receiving the last sacraments he kept looking upward with a smile on his countenance. When he was asked what he saw there, he answered: "I see my Lord." He breathed forth his soul on June 13, 1231 A. D., being only thirty six year old. Soon the children in the streets of the city of were crying: "The saint is dead, Anthony is dead."
Pope Gregory IX enrolled him among the saints in the very next year. At Padua, a magnificent basilica was built in his honor, his holy relics were entombed there in 1263 A. D. From the time of his death up to the present day, countless miracles have occurred through St. Anthony's intercession, so that he is known as the Wonder-Worker. In A. D. St. Anthony was declared a Doctor of the Church.
This brief life of St. Anthony of appeared in the August/September edition of the Herald of the Immaculate , and forms part of the Home Page of St. Francis of Assisi
The Franciscan Friars of the Immaculate are a Roman Catholic Religious Institute of solemn vows headquartered at Benevento,Italy
For more information contact:
Marian Friary of Our Lady Queen of the Seraphic Order
600 Pleasant Street
New Bedford Massachusetts
Tel: (508) 996-8274
FAX: (508) 996-8296
Email at: ffi@marymediatrix.com or visit their web site at: http://www.marymediatrix.com/information/nb.shtml
Provided Courtesy of:
Eternal Word Television Network
5817 Old Leeds Road
Irondale, AL 35210
www.ewtn.com
6/11/2008
Peristiwa di Lourdes 150 Tahun Lalu
Hujan deras sejak semalaman hingga hari Sabtu (24/5/08) siang lalu tidak menyurutkan langkah rombongan dari seluruh dunia berziarah ke Lourdes. Suasana kian penuh sesak dengan hadirnya rombongan militer dari sejumlah negara di Eropa yang datang berziarah ke sana sana.
Hari-hari ini kota kecil Lourdes lebih ramai peziarah karena bertepatan dengan peringatan 150 tahun penampakan Bunda Maria kepada gadis belia Bernadette Soubirous, 11 Februari 1858. Dalam catatan, dari 11 Februari hingga 16 Juli 1858, Bunda Maria 18 kali menampakkan diri kepada Bernadette. Penampakan itu membuat kota kecil Lourdes di kaki pegunungan Pyrenees-Perancis barat daya, yang hanya desa pertanian relatif miskin, berubah menjadi tempat peziarahan terkenal di dunia. Hanya kalah ramai dibandingkan Vatikan-Roma. Tujuh hingga delapan juta peziarah dari seluruh dunia datang ke Lourdes yang hanya berpenduduk 17.000 jiwa itu. Puncak ziarah pada bulan Mei dan Oktober, yang oleh Gereja Katolik sengaja ”dipersembahkan” untuk Bunda Maria. Tua-muda, besar-kecil, sehat-sakit, normal-cacat, maupun mereka yang terpaksa ditandu, didorong dengan kursi atau tempat tidur beroda, berziarah bersama.
Bernadette Soubirous, yang kemudian menjadi seorang biarawati Tarekat Suster-suster Charitas (Cinta Kasih), meninggal tahun 1879 di Nevers, Perancis tengah. Namun, tubuhnya tetap utuh. Tiga kali tubuh Bernadette diangkat, yaitu tahun 1909, 1919, dan 1925, dan tetap utuh. Sejak 3 Agustus 1925, tubuh Bernadette dibaringkan di peti kaca diletakkan dekat kapel Biara Charitas di Nevers. Ia seperti tidur dalam kedamaian. Keutuhan tubuh Bernadette diyakini sebagai salah satu mukjizat. Patrick Theillier, dokter Perancis pada biro kesehatan di Lourdes, menjelaskan, ada 7.000 penyembuhan yang dilaporkan ke biro. Dan ada 2.300 penyembuhan yang sulit dipahami secara medis. Namun, Gereja Katolik tetap berhati-hati dan memerlukan penyidikan, termasuk atas mukjizat dan penyembuhan. Penyelidikan antara lain dengan membongkar kembali makam Bernadette serta meneliti mukjizat penyembuhan. Gereja akhirnya mengakui penampakan dan 66 mukjizat dari Lourdes. Pengakuan Gereja Katolik itu dikuatkan dengan dogma (ajaran resmi gereja) yang mengakui Maria sebagai Dikandung Tanpa Dosa (Immaculata). Dalam pertemuan ke-16 pada 25 maret 1858, Bunda Maria menyatakan, ”Akulah yang dikandung tanpa noda itu” (Que Soy era Immaculada Conceptiou, atau I am The Immaculate conception) dan diulangi Bernadette saat ditanya tokoh umat dan pejabat gereja Katolik.
Ada empat dogma terkait dengan Bunda Maria. Pertama, Bunda Maria sebagai Bunda Allah (Theotokos), dimaklumkan dalam Konsili Efesus tahun 431. Kedua, Bunda Maria Tetap Perawan, dimaklumkan dalam Sinoda Lateran tahun 649. Ketiga, Bunda Maria Dikandung Tanpa Dosa, dimaklumkan Paus Pius IX tanggal 8 Desember 1854. Keempat, Bunda Maria diangkat ke Surga, dimaklumkan Paus Pius XII pada 1 November 1950.
Kini, di grotto (goa) yang menjadi tujuan utama peziarah berdoa dibangun Basilika Rosario tahun 1883. Basilika dengan dua kapel di atasnya itu selesai pada tahun 1901. Peristiwa Lourdes sudah 150 tahun lampau, tetapi para peziarah terus berdatangan.
Sumber : Tonny D Widiastono dari Lourdes (Kompas, 7-Jun-08)
Kesaksian Suster Marietha CB
Saya adalah seorang biarawati dari tarekat CB (Carolus Borromeus), yang berkarya di Kupang NTB, nama saya suster Marietha CB, waktu umur 34 tahun saya divonis oleh dokter di RS Panti Rapih Yogya bahwa saya menderita Kanker Payudara stadium 1B. Selama 1 tahun lebih saya berusaha minum obat-obatan tradisionil dan teh hijau, tapi setelah 1 tahun saya check kembali ke dokter di Panti Rapih stadium bertambah menjadi 2B, kemudian oleh seorang ibu di Semarang, saya dianjurkan ke romo Yohanes Indrakusuma OCarm di Cikanyere, Puncak, Jawa Barat untuk didoakan.
Pada waktu tangan romo Yohanes menumpangkan tangan diatas kepala saya, dia berkata "Suster, pasti meyimpan dendam yang sudah lama kepada seseorang di hati suster." Mendengar itu saya menangis tersedu-sedu dan saya katakan kepada romo "Benar romo, saya memang membenci ayah saya sejak saya di SMP, karena ayah saya telah mengkhianati ibu, 2 kakak saya dan saya. Kami diusir dari rumah kami, kemudian ayah dan seorang wanita menempati rumah yang sudah bertahun-tahun kami tempati itu. Sejak itu ibu saya sakit-sakitan dan akhirnya meninggalkan kami selama-lamanya. Sejak itu saya memendam kebencian terhadap ayah."
Setelah mendengarkan cerita saya, romo Yohanes berkata "Ya, itulah BIANG dari penyakit suster, selama suster tidak mau mengampuni ayah, obat apapun tidak akan menyembuhkan suster. Dan mengampuni bukan hanya dengan kata-kata, tetapi harus dibuktikan dengan perbuatan."
Setelah itu saya minta izin cuti selama 6 bulan dengan suster provincial CB untuk menengok dan merawat ayah, karena saya dengar dari saudara ayah, bahwa ayah kena stroke. Selama 6 bulan itu saya merawat ayah dengan cinta kasih yang tulus. Selama bersama ayah saya tidak minum obat apapun. Setelah selesai masa cuti, sebelum kembali ke Kupang, saya ke RS Panti Rapih di Yogya untuk check up, dokter yang merawat saya sangat heran dan dia bertanya, "Suster minum obat apa selama ini?" Saya jawab bahwa tidak minum apa-apa, saya balik bertanya ada apa dokter? Dokter menjawab bahwa dari hasil pemeriksaan baik darah maupun USG semuanya NEGATIVE. Langsung saya jawab obatnya adalah PENGAMPUNAN. Dokter heran dan bertanya apa maksud suster? Saya ceritakan semuanya, kemudian dokter berkata wah kalau begitu kepada pasien-pasien saya yang menderita kanker, saya akan bertanya apakah Anda punya perasaan dendam atau benci terhadap seseorang. Kalau jawabannya YA, saya akan suruh berdamai dan memberikan pengampunan seperti suster, sambil tertawa-tawa si dokter menepuk pundak saya.........
Demikianlah pengalaman yang saya alami bisa dibagikan kepada saudara-saudara semua, bahwa PENGAMPUNAN itu sangat besar faedahnya, tidak hanya untuk jasmani tapi juga rohani kita.
Salam dalam Yesus Kristus
Seekor Anjing Ikut Misa
Ini kisah tentang seekor anjing yang religius delapan tahun yang lalu. Adalah Preta, seekor anjing di Portugal, sanggup berjalan menempuh jarak 26 kilometer setiap minggu untuk bisa mengikuti misa.
Sumber : Harian Surabaya Post, Rabu, 11 Juli 2001, halaman 5
Read more .....6/10/2008
Hakim-Hakim
Para petani Kanaan mempunyai suatu agama yang sangat menarik, yaitu merayakan kekuatan-kekuatan hidup dan kesuburan. Mereka berkumpul pada pesta-pesta rakyat atau di hutan yang suci, di mana mereka melakukan upacara pelacuran yang dianggap suci seraya meminta dari allah-allahnya, para baal, rahmat berupa hujan dan hasil pertanian yang baik. Sangat sulit bagi kaum Israel untuk tidak ikut bersama kaum kafir dalam upacara-upacara itu.Di samping mengalami keterasingan budaya dan agama, kaum Israel dijadikan kurban oleh berbagai kelompok penindas dan penjarah yang membuat hidup mereka penuh dengan kesengsaraan.Pada saat itu kaum Israel sebagai bangsa yang tidak terorganisir dan malah terbagi atas kelompok-kelompok yang bersaing hanya mengikuti para pemimpin yang muncul dari antara mereka. Para pemimpin tersebut adalah kaum laki-laki dari daerah pedalaman (luar kota) yang kadang kala memperoleh kemenangan-kemenangan yang besar (Hak 4-5).Mereka memanggil orang tersebut kaum Sofetim, suatu kata yang mempunyai arti kepala-kepala dan hakim-hakim, tetapi mungkin kata “hakim-hakim” harus dimengerti dengan cara lain, orang-orang ini menjadi alat-alat keadilan Allah.Hakim-hakim bukanlah orang-orang suci, namum kaum Israel mengenal mereka sebagai juru selamat yang diberikan Yahweh dalam kasih-Nya kepada mereka. Sesungguhnya tindakan membunuh seorang pemimpin musuh atau membunuh sepuluh orang Filistin bukanlah sesuatu yang bersifat keagamaan, akan tetapi kalau kita mengingat waktu dan situasi mereka, para pemimpin ini menunjukkan keberanian dan keimanannya di tengah-tengah para pengecut. Dalam usaha mengatasi kepastian bangsanya, mereka mempersiapkan suatu tahapan baru dalam sejarah bangsanya.Perbuatan-perbuatan para hakim selalu diceritakan kembali dengan gembira, selama bertahun-tahun dan akhirnya berubah menjadi legenda-legenda, akan tetapi penulis yang kemudian menggabungkan semua cerita ini dalam satu kitab, menemukan satu benang merah yang menyatukan, yaitu yang menerangkan alasan tertundanya penaklukan-penaklukan dan tahapan-tahapan pembebasan, ia menulis urutan kejadiannya :
- kaum Israel menjauhi Yahweh dan jatuh ke dalam pemujaan berhala
- karenanya Yahweh menyerahkan mereka ke tangan musuh mereka
- kaum Israel mengakui kesalahan mereka dan memohon kepada Yahweh
- Yahweh kemudian mengirimkan pembebas
6/05/2008
Menghirup Udara Katholik
Oleh : David Palm Saya dan istri dibesarkan sebagai Protestan Evangelikal, dan jika anda memberitahu kami setahun yang lalu bahwa kami akan menjadi Katolik sekarang, kami pasti akan tertawa. Menjadi Katolik bukan merupakan prospek yang kami sukai. Ketika kami pertama kali mulai dipengaruhi secara positif menyangkut hal-hal Katolik, perasaan kami bisa digambarkan sebagai berikut: "Kami telah bertemu sang musuh, dan ialah diri kami sendiri."
Saya menyesal harus menggambarkan hubungan antara kelompok Protestan Evangelikal tertentu dan Gereja Katolik dalam bahasa yang bermusuhan, tetapi demikianlah adanya ketika kami dibesarkan. Kami diajarkan bahwa Gereja Katolik telah merampas kedudukan Alkitab dengan menambahkan lapisan demi lapisan "tradisi manusia" terhadapnya dan bahwa Gereja Katolik menipu berjuta-juta orang dengan mengajarkan mereka bahwa mereka diselamatkan oleh perbuatan baik. Kami adalah Protestan yang setia. Tetapi sekarang, oleh rahmat Tuhan, kami telah melihat bahwa hanya dalam Gereja Katolik ada keutuhan iman Kristiani.
Perjalanan spiritual saya menuju iman Katolik dimulai ketika selesai dari akademi, saya masuk sebuah seminari Protestan Evangelikal yang ternama: Trinity Evangelical Divinity School. Seminari ini sangat terkenal di kalangan Evangelikal karena komitmennya kepada Alkitab sebagai satu-satunya otoritas bagi iman dan praktek Kristiani. Baik pengajar maupun mahasiswa/i-nya dengan keras dan tegas membela otoritas, inspirasi, dan kebenaran Alkitab. Hal ini tidak dilakukan secara tidak intelektual seperti gaya kaum "Fundamentalis". Kami mempelajari bahasa Yunani dan Ibrani, metode eksegesis dan prinsip-prinsip hermenetik (metode penafsiran Alkitab), sejarah dan teologi. Kami membaca karya-karya para teologis liberal dan belajar untuk berdebat dengan mereka dengan memakai argumentasi-argumentasi mereka. Pendeknya, kami menganggap urusan Alkitab suatu urusan yang sangat serius. Sungguh suatu lingkungan yang memberi dorongan bagi kami untuk menggunakan daya pikir kami sendiri dan memformulasikan posisi-posisi teologis yang punya dasar kuat dengan bukti-bukti objektif yang tersedia dalam Alkitab.
Yang menarik adalah bahwa kami tidak pernah membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja Perdana, dan juga termasuk teolog Katolik manapun kecuali Santo Agustinus (karena dia dianggap sebagai semacam pendahulu Calvinisme) dan Santo Thomas Aquinas (karena dampak tulisannya terhadap pemikiran Kristen sangat menonjol sehingga sulit untuk diabaikan). Pada umumnya kami melompat dari jaman para Rasul langsung ke jaman reformasi Protestan, sehingga pengalaman saya terhadap ide-ide Katolik sungguh nyaris tidak ada sama sekali. Akan tetapi ada dua hal yang sangat mempengaruhi pemikiran saya terhadap Katolikisme, meskipun saya tidak menyadarinya pada waktu itu.
Pertama, ketika saya bersusah payah dengan Alkitab dan mempelajarinya dengan mendetail, saya mulai menyadari bahwa Alkitab tidak mendukung teologi seperti yang telah diajarkan kepada saya. Saya merubah posisi dari ajaran pre-milenialisme ke amilenialisme. Saya tidak lagi percaya pada kepercayaan Protestan yang umum seperti jaminan keselamatan mutlak bagi umat Kristen. Saya tidak lagi percaya pada doktrin Sola Fide (bahwa kita dibenarkan oleh iman saja), yaitu salah satu pilar Reformasi. Dan saya mulai memegang pandangan sakramental terhadap pembaptisan dan Perjamuan Kudus.
Saya merasa salah tempat secara teologis karena tidak ada satupun denominasi Protestan yang punya pandangan-pandangan yang sama seperti yang saya punyai, dan hal ini sangat mengganggu pikiran saya. Beberapa profesor saya meyakinkan saya bahwa sepanjang pandangan saya masih serasi dengan Alkitab dan masih termasuk dalam garis besar kepercayaan Kristen yang "ortodoks". Tetapi pendekatan yang netral terhadap doktrin Kristiani semacam ini membuat saya khawatir, apa dasar persatuan Kristen jika seseorang bisa memformulasikan doktrin-doktrin sesuai kepentingan dirinya sendiri? Bukankah karena hal inilah maka Protestanisme telah terpecah-belah dan terus terpecah sepanjang jaman?
Meskipun saya tidak merasa terpanggil untuk memulai suatu denominasi saya sendiri, saya juga tidak merasa nyaman secara teologis dalam denominasi-denominasi manapun yang ada. Saya memutuskan untuk menyimpan beberapa pandangan pribadi dalam hati, karena saya khawatir reaksi yang bisa timbul dari orang lain. Kekacauan menyangkut penafsiran Alkitab diantara umat Protestan membuat saya bertanya - setidaknya secara setengah sadar - apakah komitmen terhadap inspirasi dan otoritas Alkitab sungguh-sungguh bisa merupakan suatu faktor yang mempersatukan seperti yang dipercaya oleh kaum Evangelikal.
Faktor kedua yang merubah pemikiran saya adalah pengalaman dengan pandangan yang tidak ortodoks yang dipromosikan baik oleh pihak teolog-teolog Protestan yang liberal maupun kelompok-kelompok konservatif. Pendukung-pendukung pandangan ini menengok pada Alkitab untuk mendukung pendapat-pendapat mereka, tetapi banyak dari doktrin-doktrin mereka adalah hasil kreasi sendiri, bahwa doktrin-doktrin ini tidak pernah dipercaya oleh siapapun sepanjang sejarah Gereja.
Secara insting saya tahu bahwa ide-ide ini tidak ortodoks, bahkan banyak diantaranya jelas-jelas bertentangan dengan kredo-kredo (syahadat iman) yang dipegang oleh Gereja. Lantas apa yang menjadi standard ortodoksi bagi saya, Alkitab atau syahadat iman? Kalau saya condong kepada syahadat iman atau "iman Gereja yang universal" untuk menyatakan bahwa suatu doktrin tidak ortodoks, lantas bukankah saya menuruti sesuatu selain Alkitab saja? Ini menimbulkan suatu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab: Apakah ortodoksi itu sebenarnya? Apa yang menjadi standar ortodoksi Kristen?
Saya mulai meragukan bahwa pasti tidak hanya Alkitab saja, karena tidak seorangpun dari kami setuju akan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Segala pendekatan Alkitabiah bisa dilawan dengan suatu interpretasi yang berbeda atau malahan penolakan sama sekali terhadap otoritas Alkitab. Saya semakin condong kepada syahadat-syahadat dan kepada "iman universal Gereja" yang rada tidak jelas, untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa apa yang saya percaya sifatnya ortodoks.
Saya tidak mengetahuinya pada saat itu, tetapi istri saya, Lorene, ternyata juga sedang dipersiapkan bagi perjalanan spiritual kami menuju Gereja Katolik. Sewaktu di akademi dia mengikuti kebaktian di gereja Reformed Baptist. Hal ini membawanya kepada pemahaman yang sakramental terhadap Perjamuan Kudus dan pada gilirannya dia mempengaruhi saya dengan doktrin ini.
Salah satu saudara perempuannya - yang suaminya dibesarkan secara Katolik - kadangkala menunjuk kepada kekacauan diantara kaum Protestan dan melontarkan pertanyaan bahwa bagaimana mereka semua bisa mengaku memiliki doktrin Kristen yang benar, tetapi berbeda pendapat dalam sekian banyak isyu. Istri saya tidak mampu menjawabnya dan menurutnya tidak ada jawabannya. Dia berpegang pada ide bahwa seseorang minta petunjuk Roh Kudus jika hendak membaca Alkitab. Ini jawaban yang rasanya tidak memuaskan tetapi hanya itulah yang bisa dia katakan.
Kira-kira dua tahun yang lalu saya ada di pasar-murah milik Salvation Army (=Bala Keselamatan) dan melihat-lihat buku bekas. Saya menemukan buku Katolikisme dan Fundamentalisme karangan Karl Keating dan membolak-balik halaman-halamannya karena rasa ingin tahu. Harganya cuma satu dollar, tapi nyaris saja saya taruh kembali karena bagaimanapun ini buku tentang teologi Katolik. Tetapi, saya berkata kepada diri saya sendiri, judul pasal-pasalnya sungguh menarik, dan rasanya tidak berbahaya untuk mengetahui apa pandangan Katolik tentang hal-hal ini.
Saya membeli buku tersebut dan mulai membacanya pada waktu menumpang kereta di pagi hari menuju ke arah Chicago. Saya berusaha membacanya secara simpatik dan mengakui bahwa kalau saya melihat dari sudut pandang Katolik - terutama menyangkut pandangan Katolik terhadap Alkitab - maka lantas teologi Katolik tampak koheren dan masuk akal. Buku tersebut menjernihkan salah persepsi saya terhadap apa yang sesungguhnya dipercaya oleh iman Katolik.
Saya menceritakan hasil observasi saya kepada istri saya. Ini suatu kesalahan langkah. Kami langsung terlibat dalam suatu perdebatan di kereta. "Kamu tidak akan masuk Katolik, khan?" dia langsung menyemprot saya. Dia memberitahu saya sesudahnya bahwa pikirannya dipenuhi dengan, "Bagaimana saya bisa menjelaskan kepada keluarga saya tentang hal ini? Saya menikahi seminarian Protestan dan dia malah masuk Katolik!" Saya mengambil langkah mundur dan mengatakan kepadanya bahwa saya cuma bilang kalau... dan seluruh topik tersebut untuk sementara tidak kami ungkit-ungkit lagi.
Akan tetapi rasa hormat saya terhadap iman Katolik terus tumbuh. Saya sungguh mengagumi Sri Paus Yohanes Paulus II - posisinya yang tegas terhadap imoralitas, dan penolakannya untuk melunakkan pesan-pesannya kepada presiden Amerika Serikat dan kepada warga Amerika Serikat, dan panggilannya terhadap kaum muda Amerika untuk kembali kepada iman Kristen sungguh memukau saya. Saya membaca buku karangan Charles Colson yang berjudul The Body dan terkesan oleh peran yang dimainkan oleh Gereja Katolik dan Ortodoks dalam meruntuhkan komunisme. Saya melihat umat Katolik mengambil langkah-langkah dan memenuhi begitu banyak kebutuhan fisik dalam nama Kristus. Sudah lama saya kecewa dengan gereja-gereja Evangelikal kami karena karena banyak mengkritik problem-problem sosial tetapi tidak berbuat banyak untuk mengatasinya. Saya melihat umat Katolik di kota kami mempraktekan iman mereka - memberi makan kepada orang miskin, memberikan tumpangan bagi kaum gelandangan, merawat wanita-wanita yang hamil tanpa nikah dan anak-anak mereka.
Pada bulan Mei 1993, karena pernyataan-pernyataan pro-Katolik yang saya lontarkan pada suatu kegiatan Bible-study, sepasang suami istri yang kami kenal dari gereja Baptist yang sama, memberitahukan kami bahwa mereka sedang menyelidiki iman Katolik. Dave juga lulus dari seminari yang sama dengan saya, sehingga kami mempunyai latar belakang teologis yang sama. Kami berbincang-bincang selama seharian tentang hal-hal menarik yang kami temukan tentang Gereja Katolik. Ujung-ujungnya, saya meminjamkan buku karangan Karl Keating yang saya beli kepadanya sedangkan Dave meminjamkan saya sejumlah kaset rekaman temu-wicara oleh Scott Hahn, seorang mantan pendeta Presbiterian yang telah menjadi Katolik. Saya sangat menikmati kaset rekaman tersebut, tetapi pada saat itu saya tidak sepenuhnya terpengaruh oleh argumen-argumen Scott Hahn (baru nantinya saya menyadari betapa besar pengaruhnya terhadap saya).
Tidak banyak hal yang terjadi, agaknya, sampai bulan September, ketika Dave mengembalikan buku saya. Dia menceritakan bahwa dia telah mengundurkan diri dari dewan deakon di gereja kami dan bahwa dia beserta keluarganya mulai menghadiri Misa Kudus. Kami terkejut, tetapi penuh rasa ingin tahu. Saya melihat Dave sebagai idola spiritiual. Dia adalah seorang yang punya integritas, dan saya tahu bahwa Dave tidak akan main-main dalam hal semacam ini. Lorene dan saya tahu bahwa berita tentang Dave tidak akan diterima dengan baik di gereja Baptis kami, dan kami telah memutuskan untuk tetap menjaga persahabatan dan mendukung keputusan Dave dan istrinya .
Kami mengundang mereka beberapa minggu sesudahnya untuk berbincang-bincang. Kami hanya melontarkan sejumlah pertanyaan-pertanyaan, dan tidak berusaha untuk membuat mereka membatalkan keputusannya untuk menjadi Katolik, tetapi untuk mengetahui apa yang telah mendorong mereka membuat keputusan tersebut. Makin banyak kami berdiskusi kami makin penuh semangat. Satu demi satu doktrin-doktrin Katolik tampak berlandaskan Alkitab, logis, dan konsisten. Bahkan agaknya malah meliputi seluruh Alkitab, termasuk ayat-ayat yang sulit ditafsirkan, dan tidak memfokuskan diri terhadap sejumlah pilihan ayat-ayat tertentu. untuk mendukung suatu posisi. Tampaknya dari kerangka pemikiran Katolik, banyak dari ayat-ayat sulit tersebut tidak lagi menjadi suatu masalah.
Kami menemukan bahwa kami sungguh-sungguh telah salah persepsi terhadap umumnya ajaran iman Katolik yang sesungguhnya, dan selalu ada jawaban yang bagus terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kami miliki. Sahabat kami tersebut tinggal sampai tengah malam dan ketika mereka pulang, saya dan istri merasa seperti murid-murid Yesus dalam kisah perjalanan ke Emmaus. Telinga kami serasa terbakar oleh pengetahuan yang baru kami dapat. Akhir pekan itu tidak seorangpun dari kami bisa menyingkirkannya dari benak pikiran kami, kami bahkan nyaris tidak dapat tidur.
Istri saya membuat saya terheran-heran karena dia mulai bicara tentang kepastian kami untuk menjadi Katolik. Saya begitu shock karena tidak menyangka dia begitu terdorong menuju Katolik. Tetapi sekali dia mengerti prinsip-prinsip dasar tentang otoritas Sri Paus, peran Magisterium Gereja, dan peran Tradisi dalam doktrin Kristen, dia mengerti bahwa sisanya tinggal mengikuti saja. Saya sendiri belum sampai kesana. Saya punya banyak pertanyaan, meskipun saya harus mengakui bahwa dalam hati saya ingin semuanya benar.
Kami memulai eksplorasi yang serius terhadap iman yang baru ini. Sebagai hasil penyelidikan ini, saya menemukan bahwa dalam semua area teologis dimana saya berubah pandangan, saya ternyata telah atau sedang menuju ke arah doktrin Katolik yang ortodoks. Saya menjadi yakin bahwa umumnya "pengetahuan" saya akan iman Katolik setidak-tidaknya telah disalah-tampilkan atau malah jelas-jelas salah.
Di masa lalu, kalaupun saya tergerak untuk membaca tentang Katolik, saya selalu membaca dari sumber-sumber Protestan. Ini cenderung untuk memburuk-burukan iman Katolik dan seringkali, sengaja atau tidak sengaja, telah memberi penerangan yang salah tentang apa yang sesungguhnya diajarkan oleh Gereja Katolik. Dengan membaca dari sumber-sumber Katolik tentang doktrin Katolik dan bukti-bukti yang mendukungnya sungguh merupakan suatu penglaman yang membuka mata hati saya dan suatu tantangan. Saya dipaksa untuk mempertimbangkan kembali hal-hal yang tadinya saya terima mentah-mentah.
Melalui penyelidikan ini saya melihat bahwa meskipun reformasi Protestan disebut-sebut sebagai kembali kepada "Alkitab saja" dibanding dengan "tradisi-tradisi" Katolik, sesungguhnya paham-paham teologis yang terutama dari Reformasi Protestan sama sekali tidak punya dukungan dari Alkitab. Kaum Reformer memisahkan diri dengan Gereja Katolik pada dasarnya atas tiga doktrin: pembenaran oleh iman saja, Sola Scriptura atau bahwa Alkitab adalah satu-satunya otoritas, dan penyangkalan terhadap doktrin transubstansiasi.
Sewaktu masih di seminari saya telah meninggalkan doktrin Sola Fide - bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman saja - karena bertentangan dengan Alkitab (lihat Yakobus 2:21-26, Roma 2:6-13, Galatia 5:6, Matius 12:36-37). Poin selanjutnya bagi saya adalah sewaktu saya mulai percaya pada Kehadiran Sejati Kristus dalam Ekaristi. Saya sudah melihat Perjamuan Kudus sebagai suatu sakramen, tetapi sekarang saya melihat bahwa Alkitab bahkan mengajarkan lebih jauh lagi, bahwa roti dan anggur sungguh-sungguh menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus. Bahkan yang lebih mencengangkan buat saya adalah fakta bahwa ini merupakan pandangan ortodoks Gereja selama 1500 tahun sebelum para reformer Protestan datang dan meyakinkan umat Kristen dari aliran kami (Calvinis) bahwa tidak demikian adanya. Bahwa apa yang telah dipercaya oleh Gereja sepanjang berabad-abad dan dipegang sebagai misteri iman yang terbesar, sesungguhnya bukan misteri sama sekali, tetapi cuma sekedar perayaan ulang.
Saya membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang paling terdahulu - Ignatius, Justin Martir, Irenaeus, Tertullian, Hippolytus, Agustinus - dan menemukan bahwa mereka semua percaya pada Kehadiran Sejati. Saya tidak lagi bisa memegang pernyataan aliran Protestan kami yang mengatakan bahwa berjuta-juta umat Kristen termasuk beberapa yang mengenal para Rasul secara pribadi, telah disesatkan oleh Roh Kudus sampai Calvin dan Zwingli datang dan membawa kebenaran. Meskipun para Reformer ini sendiri tidak bisa setuju satu sama lain apa arti Perjamuan Kudus, mereka semua memaksakan bahwa Gereja Katolik pasti salah!
Pijakan terakhir saya sebagai seorang Protestan adalah ketika Sola Scriptura - doktrin yang menyatakan bahwa Alkitab sebagai satu-satunya otoritas dalam hal iman - runtuh berkeping-keping. Saya telah membaca dari buku Karl Keating dan mendengar rekaman Scott Hahn bahwa doktrin tersebut tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahwasanya Alkitab tidak pernah mengaku sebagai satu-satunya sumber yang otoritatif terhadap iman kita. Banyak ayat-ayat menunjukkan bahwa tradisi-tradisi dari para rasul, apakah tertulis ataupun lisan, memiliki kuasa dan bahwa umat Kristen harus percaya dan mengikutinya (lihat terutama ayat 1 Korintus 11:2, 1 Tesalonika 2:13, 2 Tesalonika 2:15, 2 Timotius 2:2, 2 Petrus 3:1-3).
Gereja Katolik mengajarkan bahwa Gereja adalah pemelihara deposit iman seperti yang diwahyukan oleh Tuhan kepada para Rasul. Demikian juga Paulus, ketika dia menyebut Gereja (dan bukannya Alkitab) sebagai "pillar dan pondasi kebenaran" (1 Timotius 3:15). Sebelumnya saya selalu mengabaikan argumen ini meskipun saya tidak dapat menjawabnya. (saya terpikir tentang 2 Timotius 3:16 tetapi ayat ini hanya mengatakan bahwa Alkitab bermanfaat bagi koreksi, latihan, dan lain-lain , tetapi ini tidak sama dengan mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya sumber bagi hal ini).
Di suatu petang, konsekuensi dari fakta-fakta ini kena telak. Fondasi dari Protestanisme telah disapu bersih. Kita kaum Protestan bersikeras bahwa segala doktrin kita harus punya dasar di Alkitab, tetapi doktrin Sola Scriptura itu sendiri tidak dapat ditemukan dalam Alkitab. Lantas saya menyadari bahwa posisi Protestan sungguh didasarkan atas inkoherensi logis.
Setelah saya menjadi yakin bahwa pendapat para Reformer ternyata salah semua di tiga hal diatas, maka tiada lagi dukungan yang tersisa bagi Reformasi sama sekali. Meskipun rasanya semua orang setuju, apakah Katolik atau Protestan, bahwa Gereja Katolik perlu reformasi selama jaman Luther (bahkan para Paus juga setuju), sulit bagi saya untuk percaya bahwa bisa dibenarkan untuk mereformasi Gereja dengan cara memecah-belahnya menjadi ribuan kelompok-kelompoik yang semuanya mengaku memegang doktrin yang benar tetapi menginterpretasikan Alkitab secara berbeda dan jarang sekali bekerja sama satu sama lain. Perpecahan dan perselisihan yang terus menerus terjadi, skisma demi skisma, yang merupakan sifat-sifat Protestanisme, sungguh sulit untuk dibenarkan dan jelas-jelas bertentangan dengan Alkitab (Yohanes 10:16, 17:20-23, dan 1 Korintus 1-3).
Setelah melampaui semua hal ini dan banyak isu-isu lainnya, saya dan istri merasa hanya tinggal dua pilihan yang tersisa: turun jadi seorang agnostik rasionalistik atau naik menyongsong iman Kristen yang utuh dalam Gereja Katolik. Ini bukan suatu pilihan sama sekali, sebab kami sangat mengasihi Yesus dan tidak akan pernah menjadi seorang agnostik (tidak peduli akan Tuhan). Kami diterima ke dalam Gereja Katolik dan menerima sakramen penguatan pada tanggal 8 Februari 1994. Kami sungguh berbahagia menjadi Katolik, meskipun transisi - terutama hal memberitahu kawan-kawan dan keluarga tentang keputusan kami - sungguh sulit.
Karena lingkungan Gereja Katolik berbeda dengan Protestan Evangelikal, kami masih dalam proses adaptasi, tapi saya merasa seperti Kardinal Newman, yang setelah bergabung dengan Gereja Katolik, beliau berkata bahwa dia merasa seperti kapal yang akhirnya berlabuh di pelabuhan. Kami tidak lagi harus "terombang-ambing oleh rupa-rupa angin pengajaran" (Efesus 4:14). Kami tidak lagi harus melanglang buana untuk meyakini bahwa apa yang kami percaya adalah ortodoks.
Sekelompok imam dan awam Katolik memberikan dukungan moral bagi kami dan telah memberikan pelayanan kasih Kristus melalui doa-doa dan dukungan mereka selama peziarahan kami kedalam Gereja Katolik. Perjalanan spiritual kami telah membawa kesempatan-kesempatan baru bagi kami dalam hal ibadah Kristen dalam liturgi, kekayaan sakramen yang luar biasa, dan kekayaan spiritualisme Katolik yang tak terbatas. Semua hal ini meyakinkan kami bahwa kami telah pulang ke rumah.
Sumber: Journey Home - perjalanan sejumlah awam dan pendeta menjadi Katolik.Alihbahasa oleh Jeffry Komala© www.gerejakatolik.net
Mr. Smith
Seorang gadis belasan tahun bernama Anne menggunakan waktu liburan musim panasnya untuk bekerja sebagai pelayan di sebuah hotel di tempat istirahat tepi samudra. Pekerjaannya adalah membersihkan sepuluh ruangan setiap hari.
Selama musim panas, Anne bertemu dengan berbagai macam orang yang menyenangkan, termasuk beberapa orang terkenal. Namun, dari semua orang yang ditemuinya, ada seseorang yang tampak lebih menonjol dari pada semua yang lainnya. Ia menamakannya Mr. Smith.
Mr. Smith muncul pada suatu akhir pekan dengan hanya sebuah tas untuk bermalam. Ketika Anne pergi membersihkan ruangannya, Mr. Smith menjulurkan kepalanya dari pintu dan berkata, “Tidak usah membersihkan ruanganku, berikanlah saya beberapa handuk yang bersih”. Dua hari kemudian persis sama seperti itu.
Sekitar pertengahan minggu, Mr.Smith mengijinkan Anne membersihkan ruangan itu. Ketika Anne membersihkannya, Mr. Smith berbicara dengannya dan bahkan menolongnya mengatur tempat tidur.
Pada hari sabtu, Anne membersihkan sepuluh ruangan sebagaimana mestinya, termasuk ruang Mr. Smith. Setelah selesai, Anne berjalan turun menyusuri jalan biasanya untuk mengikuti Misa pada jam 04.30 PM. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Itu adalah Mr. Smith. “Apakah kamu mau naik ?” tanyanya. Anne menyahut bahwa ia sedang pergi ke gereja dan menyambut dengan senang hati tawaran itu.
Segera setelah Anne berada dalam mobil, Mr. Smith menanyainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi : Berapa kali dia pergi misa ? Mengapa dia pergi sementara anak-anak remaja lain tidak pergi ? Apakah khotbahnya baik ? Apakah dia selalu menerima komuni ?. “Datanglah dan lihatlah”, jawab Anne.
Ketika mereka tiba di gereja, Mr. Smith menanyai Anne apakah ia boleh mengikuti misa bersamanya. Anne mulai merasa sedikit hati-hati dengan orang asing ini dan dengan pertanyaan-pertanyaannya yang aneh. Tetapi perasaannya menjadi tenang ketika melihat Mr. Smith berlutut, dia menutup matanya selama misa. Pada akhir misa, Mr. Smith bangun dan bergegas keluar bahkan tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Pada hari berikutnya, ketika Anne pergi membersihkan ruangan Mr. Smith, tas perjalanannya sudah tidak ada. Di ruangan itu ada sebuah kotak kecil dengan catatan yang diletakkan di atas kotak itu. Ia membuka catatan itu dan membacanya. Catatan itu berbunyi sbb. :
Anne tersayang,
Kado yang ada dalam kotak ini adalah untuk kebaikan yang telah engkau lakukan terhadap saya bahkan tanpa engkau mengetahuinya. Perkawinanku akhir-akhir ini agak goyah sehingga karena itulah saya akhirnya memberitahukan isteriku, bahwa saya pergi selama beberapa hari untuk memikirkan baik-baik berbagai hal berkaitan dengan perkawinan kami. Semakin saya memikirkan hal itu, semakin saya menjadi bingung. Kemudian engkau muncul, engkau mengundang saya untuk “datang dan lihat”. Imanmu yang baik kepada Allah sungguh menyentuh saya. Ketika saya menghadiri misa bersamamu, itu adalah untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun. Selama misa itu, Allah memberi saya penerangan dalam masalah-masalah saya dan kerinduan untuk tinggal bersama istri saya. Saya pulang ke rumah, berterima kasih kepada Allah dan kepada engkau, karena engkau menjadi cahaya terang di saat dunia saya sangat gelap. Saya tidak akan pernah melupakan engkau karena engkau telah menolong saya menemukan iman saya.
Ttd. Mr. Smith.
Di dalam kotak itu ada sebuah kalung salib emas yang indah.
(Dikutip dari buku Rangkaian Kisah Bermakna, karangan Brian Cavanough TOR
