11/01/2011

PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (2)


Pengaruh Ambrosius

Namun panggung drama ini belum lengkap. Pelaku yang paling utama dalam drama ini adalah seseorang yang pendek sosok tubuhnya, tetapi besar pengaruhnya. Ia adalah Ambrosius, Uskup Milano.

Sesampai di Milano, Augustinus menceritakan pertemuannya dengan Ambrosius, “Maka sampailah aku di Milano, di tempat Uskup Ambrosius, yang di seluruh muka bumi terbilang yang terbaik. Abdi Allah ini menerimaku dengan sikap kebapakan dan sebagai seorang Uskup yang sejati, ia menyatakan betapa senangnya akan pemindahan saya. Begitulah aku mulai merasa sayang kepadanya, meskipun mula-mula bukan sebagai guru suatu kebenaran yang sama sekali sudah tidak kuharapkan dari Gereja-Mu, melainkan sebagai orang yang ramah terhadapku. Aku rajin mendengarnya berkhotbah di depan rakyat.” (Conf.V.XIII.23).

Memang Augustinus amat terkesan pada Ambrosius. Dia yang paling mempengaruhinya pada masa perkembangan Augustinus yang penuh tekanan batin itu, dan yang akan menjadi contoh baginya dalam hidup pelayanannya sebagai Uskup. Ambrosius, empat belas tahun lebih tua dan sudah menjalankan jabatan Uskup sebelas tahun lamanya. Mula-mula Augustinus paling mengagumi kefasihan bahasa dari Ambrosius. Ia seorang pengkhotbah dan guru agama yang hebat. Selain itu, Ambrosius juga seorang pengarang yang terkenal. Jasanya yang utama terletak di bidang pemerintahan gerejawi. Ia tampil ke depan sebagai seorang politikus yang lihai terhadap politik istana. Dalam tipu daya Yustina, ibunda Kaisar, Ambrosius menentang dia di hadapannya. Yustina itu adalah seorang perempuan yang kuat dan zalim, tetapi dalam diri Ambrosius yang kecil itu, ia menemukan seorang kawan yang sepadan baginya, khususnya pada saat ia memerintahkan tentara kekaisairan untuk mengepung basilika, tempat Ambrosius serta umatnya sudah mengungsikan diri.

Akhirnya, inilah pahlawan yang selama ini Augustinus cari. Inilah teladan dan pembela yang gigih dari kebenaran iman Kristiani. Tidak mungkin Augustinus tidak masuk basilika yang baru dan sangat indah itu, tempat Ambrosius hampir setiap hari menerangkan Kitab Suci amat dikagumi Augustinus. Ia mengatakan bahwa baru Ambrosiuslah yang menandaskan bagaimana harus menafsirkan buku-buku Taurat dan para Nabi, yakni dengan menunjuk kepada arti spiritual dan alegoris teksnya. Dengan demikian, Augustinus dapat mengatasi penafsiran yang agak fundamentalis yang dia pergunakan sebelumnya. Ambrosius berhasil menanamkan dalam diri Augustinus suatu pengertian yang terluput dari hal-hal yang tidak masuk akal dan aneh, yang dahulu dianggap oleh Augustinus sebagai bagian mutlak dari doktrin Kristiani. “Yang sudah bertahun-tahun kuteriaki itu bukanlah iman Katolik, melainkan rekaan pikiran jasmani.” (Conf.VI.III.4). Itulah cara Ambrosius menyiapkan Augustinus. Untunglah, akhirnya Augustinus menerima pelajaran agama dari guru yang paling unggul. Persiapan itu mutlak perlu, jika sekiranya Augustinus dengan akalnya yang tajam akan menjadi seorang Kristen yang sungguh.

Krisis dan Konflik

Sekarang riwayat hidup Augustinus makin mendalam. Ada banyak tokoh di sekeliling Augustinus, masing-masing dengan peranannya. Namun demikian bukan mereka, melainkan kekacauan dan kemelut batinnya yang membawa dia ke titik balik pertobatannya. Pada satu pihak, ia masih mendambakan popularitas, kekayaan, dan perkawinan. Akan tetapi, pada pihak lain ia sadar bahwa sekarang walaupun usianya sudah tiga puluhan ia masih menggelepar. Selanjutnya hubungannya dengan pemerintah yang memaksa dia menjilat ke atas menyakiti perasaan integritasnya. “Penderitaanku bulat”, ia menceritakan seraya menyiapkan suatu pidato kenegaraan yang penuh puji-pujian terhadap Kaisar. “Pujian yang kuisi dengan banyak dusta, yang bakal menimbulkan bagi si pendusta kesedihan hati orang-orang yang paham benar.” (Conf.VI.VI.9).

Sambil mempersiapkan pidatonya dan berjalan-jalan di kota Milano, ia melihat seorang pengemis yang rupanya telah mendapatkan makanan dan minuman secukupnya untuk hari itu. Ia sedang tertawa dan bergurau. Pandangan yang kontras antara pengemis yang puas dan gembira, dengan hidup Augustinus sendiri yang penuh penderitaan membuat dia berkata, “Dorongan segala macam ketamakan menyebabkan aku menyeret beban ketidak-bahagiaanku, yang malah bertambah berat lantaran kuseret. Kebahagiaan itu telah dicapai lebih dahulu oleh si pengemis, tetapi kami barangkali tidak bakal mencapainya. Apa yang telah diperolehnya dengan beberapa keping uang yang didapat dengan meminta-minta, itulah yang dengan segala liku-liku kukejar, yaitu kesenangan suatu kebahagiaan sementara.” (Conf.VI.VI.9).

Bagaimanapun juga, Augustinus tidak merasa diri seorang kaya yang karirnya berhasil, kendatipun ia seorang guru besar retorika. Malahan sebaliknya ia merasa miskin, lebih miskin dari pada pengemis yang dia lihat tadi. Kegelisahan hatinya membayangi seluruh hidup Augustinus. Dalam buku Confessiones, ia menceritakan impian buruk itu. Ia diganggu suara-suara dari sudut-sudut yang berlawanan yang menawarkan nasihat yang bertentangan satu sama lain. Sambil membelok kian kemari, ia mengikuti tawaran-tawaran itu, sehingga konflik batinnya semakin memuncak.

Masalah kejahatan dan dosa muncul kembali. “Di mana gerangan yang jahat ? Dari mana dan melalui jalan mana yang jahat itu sampai menyelinap ke sini ? Yang mana akarnya dan yang mana benihnya ?” (Conf.VII.V.7). Ia tidak puas dengan jawaban yang bukan-bukan dari pihak Manikheisme, lama kelamaan ia mulai mengerti, bahwa soal kejahatan dan dosa barangkali bukan hanya soal intelektual melulu. Soalnya terletak dalam dirinya sendiri. Akan tetapi waktu itu mata hatinya masih kabur, sehingga ia tidak mampu melihat masalahnya itu sebagaimana mestinya, apalagi jawabannya. “Pikiran-pikiran yang kubolak-balik dalam hati yang sengsara, ... karena kebenaran belum ditemukan.” (bdk.Conf.VII.V.7). Tetapi akhirnya, sebagai hasil pengaruh pelajaran dari Ambrosius, Augustinus makin cenderung mengakui, bahwa “jalan keselamatan manusia terdapat dalam Tuhan kita Yesus Kristus, dan dalam Kitab Suci, sebagaimana ditegaskan oleh Gereja Katolik.” Akhirnya timbul sedikit pegangan dalam pikirannya yang serba kacau itu.

Sekalipun begitu, dalam hari-hari dan bulan-bulan yang dilalui dan ia makin mendekati titik krisis dan putus asanya, Augustinus mulai insaf, bahwa ia membutuhkan penyelamatan, dalam Kitab sucilah ia akan menemukan kata-kata penyembuhan. Terutama sekali, ia memerlukan cinta kasih sebagaimana diwahyukan oleh diri Yesus Kristus, bukan pertama-tama karena suatu ideologi atau filsafat baru. Memang ia mulai mencintai Allah walaupun belum sepenuhnya, dengan pikiran dan bibirnya ia dapat mengakui Allah, tetapi ia belum berhasil melibatkan hatinya dan menyesuaikan arah hidupnya senada dengan pengertian dan pengalaman yang baru itu.

Bagi Augustinus, soal yang utama ialah ketidak-teraturan hidup seksualnya. Ia pernah mengaku kepada Alypius, bahwa ia tidak sanggup menjalankan hidup selibat sebab merasa terlekat kuat sekali pada kenikmatan seksual (bdk.Conf.VI.XII.21). Dalam ungkapan ini berkumandang pengalaman rasul Paulus, yang surat-suratnya mulai mendapat perhatian utama dari Augustinus. Ia khususnya terkesan akan kutipan : “Keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging, karena keduanya bertentangan.” (Gal 5:17). Ia sangat mendukung ucapan Paulus : “Bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.” (Rm 7:19). Kisah Paulus amat mirip dengan riwayat Augustinus, dan peyembuhan yang bakal diperolehnya tak lama lagi juga amat mirip penyelesaiannya dengan rasul orang kafir itu. Pertobatan bukan melalui pergulatan intelektual, melainkan melalui campur tangan penuh kasih dari Allah, bukan dengan diperolehnya sebuah ide yang baru, melainkan dengan didapatkannya seorang sahabat yang baru. Memang dilema itu tetap ada, tetapi inti masalahnya menjadi lebih terang bagi Augustinus.

Dia berkata, “Akupun merindukan kesempatan untuk mengabdikan diri dalam pelayanan-Mu. Dalam pada itu, kemauan yang baru saja lahir dalam diriku itu belum mampu mengatasi kemauanku yang terdahulu.” (Conf.VIII.V10). Ia sering memanjatkan sebuah doa yang mencerminkan keadaan batinnya, “Brikan aku kesucian dan kekuatan untuk menahan hawa nafsu, tetapi jangan sekarang.” (bdk.Conf.VIII.VII.17).

(Sumber : Augustinus Tahanan Tuhan – Oleh Mgr.P.Van Diepen, OSA ; Editor N.Halsema, SJ - Diterbitkan dalam kerjasama Pusat Pastoral Yogyakarta & Penerbit Kanisius)


Tidak ada komentar: