11/01/2011

PERTOBATAN ST AUGUSTINUS DI MILANO (3)


Menjelang Pertobatannya

Untunglah beberapa peristiwa dan beberapa orang yang bukan pilihan Augustinus sendiri mulai menyelingi hidupnya. Mereka menyalakan fantasinya dengan cerita-cerita dan citra yang mengubah seluruh perspektif pikirannya.

Pertama-tama, ia berkunjung kepada Simplicianus, bapak rohani Ambrosius. Ambrosius mencintai dia sungguh-sungguh, sebab melalui dia Ambrosius telah memperoleh rahmat Tuhan. (bdk.Conf.VIII.II.3). Simplicianus menceritakan kepada Augustinus seluruh kisah pertobatan dari salah seorang yang bernama Victorinus, yang dikenalnya secara dekat sewaktu masih di Roma. Ketika Simplicianus menceritakan kisah Victorinus, Augustinus mendengarkan dengan sungguh-sungguh tiap kata yang diucapkannya. Cerita itu cukup mengesankan, bagaimana seorang yang terpandang di muka umum dan yang berpengetahuan luas menjadi orang Kristen.

Sebagai guru, Victorinus sudah mengajar banyak anggota Senat yang terkemuka. Sebagai bukti bakatnya yang menonjol sebagai seorang dosen, maka dibuatlah patung dirinya yang diletakkan di Forum Romanum, suatu kehormatan yang amat tinggi di mata dunia. Ia selalu menyembah berhala dan turut ambil bagian sepenuhnya dalam upacara-upacara umum untuk menghormati dewa-dewi nasional. Ia juga membaca-baca Kitab Suci dan semua buku Kristen yang dicarinya dengan sangat rajin dan diselidikinya. Suatu hari, ia berkata kepada Simplicianus, “Ketahuilah bahwa aku sudah menjadi orang Kristen.” Sahut Simplicianus, “Aku baru akan percaya dan menganggapmu termasuk kaum Kristen bila kulihat engkau dalam Gereja Kristus.” Victorinus tertawa sambil berkata, “Jadi tembok-tembok itulah yang membuat seseorang menjadi Kristen.” Jelasnya, Victorinus segan menyakiti hati sahabat-sahabatnya yang menyembah berhala, tetapi tidak lama kemucian, ia minta Simplicianus mengantar dia menjadi anggota Gereja.

Simplicianus mengajarkan dia pokok-pokok iman yang dasar dan tidak lama kemudian Victorinus memohon namanya didaftarkan untuk dilahirkan kembali oleh baptisan. Roma menyaksikannya dengan heran, namun Gereja bergembira. Bagi dia sudah sampai waktunya untuk mengucapkan pernyataan iman. Pernyataan itu biasanya dibuat menurut satu rumusan yang dihafalkan orang, kemudian diucapkan di atas panggung di hadapan umat. Imam yang memimpin upacara menawarkan kepada Victorinus agar ia mengucapkan pernyataan iman itu secara diam-diam, sering diatur begitu untuk orang terkemuka, yang agaknya menganggap upacara itu di hadapan umum memalukan mereka. Tetapi, Victorinus menolak dengan tegas, ia tetap mau mengakui imannya di hadapan umat, malahan bukan menurut satu rumusan, melainkan dengan ucapannya sendiri. Jadi pada saat ia naik panggung, para hadirin hening, sebab mereka semua ingin mendengarkan ahli pidato itu. Kali ini Victorinus tidak menjual kata retorik yang kosong, tetapi membawa Firman Tuhan tentang rahmat dan pengampunan. (Conf.VIII.II.3-5)

Sementara Simplicianus menceritakan riwayat tentang Victorinus, Augustinus mulai berkobar semangatnya untuk menuruti teladannya. Ditambah lagi oleh Simplicianus, bahwa karena pernyataan imannya itu, Victorinus kehilangan pangkatnya.

Setelah pertemuannya dengan Simplicianus, setiap kali ia dapat meluangkan waktu, maka Augustinus pergi ke Gereja, sering diantar oleh Alypius. Pada suatu ketika, waktu musim panas tahun 386, salah seorang yang namanya Pontisianus, seorang Kristen yang berpangkat tinggi dalam keluarga Kaisar, dengan tak diduga-duga berkunjung kepada Augustinus. Pada kunjungan itu, Pontisianus kebetulan melihat sebuah buku di atas meja. Ia mengambilnya, dan ia heran melihat bahwa buku itu berisi surat-surat rasul Paulus. Augustinus menjelaskan bahwa ia sedang mempelajari tulisan Paulus dengan amat teliti. Lalu percakapan beralih ke topik lain. Pontisianus mulai menceritakan kepada Augustinus dan Alypius tentang Antonius, seorang rahib Mesir yang telah berpulang tiga puluh tahun lalu, dengan meninggalkan beberapa murid yang bertambah terus jumlahnya dan pengaruhnya di dalam seluruh Gereja. Semuanya itu merupakan berita baru bagi Augustinus.

Pontisianus melanjutkan dengan kata-kata yang sangat mengharukan, bagaimana dia sendiri dan seorang sahabat amat terpesona oleh kesaksian hidup membiara, teristimewa pada kunjungan mereka bersama Kaisar ke Trier di Germania. Di situ, mereka mempunyai beberapa rahib yang menjalani hidup dalam kesederhanaan dan kesucian, dan menemukan satu eksemplar tulisan tentang riwayat hidup Antonius. Rahib-rahib itu dulunya adalah tentara legium Romawi di Trier. Sambil membaca buku tentang Antonius itu, mereka merasakan suatu ketidak-puasan dengan hal-hal duniawi dan mengalami panggilan mendalam untuk mengikuti teladan Antonius dalam kesucian hidupnya.

“Tetapi sambil ia berbicara, ya Tuhan”, Augustinus menulis dalam Confessiones, “Kaubalikkan aku kembali menatap diriku, Kau tarik aku dari balik punggungku tempat yang kuambil supaya mataku tidak perlu menatapku. Demikianlah aku dirongrong dalam batinku, hatiku tergoncang oleh rasa malu yang amat mengerikan, sementara Ponticianus memberitakan hal-hal itu. Setelah ia menyelesaikan ceritanya dan urusan yang dibawanya, ia pergi dan aku berpaling ke dalam diriku. Apa saja yang tidak kukatakan pada diriku ? Cambuk mana saja yang tidak kupakai dalam pikiranku untuk mendera jiwaku untuk memaksanya mengikuti diriku, aku yang sedang mencoba melangkah di belakang-Mu ? Jiwa itu membangkang, jiwa itu menolak, tetapi tidak memakai dalih lagi.” (Conf.VIII.VII-VIII).

Kini krisis batin Augustinus memuncak, tentang krisis batinnya itu, Augustinus berkata, “Ada taman kecil di tempat kediaman kami. Ke sanalah aku terbawa oleh kegelisahan hatiku, ke tempat tak seorangpun akan mengganggu pertarungan dahsyat yang telah kuadakan dengan diriku, sampai kesudahannya. Dalam pergolakan kebimbanganku itu, kucabuti rambutku, kupukul-pukul dahiku, kudekap lututku dengan jari-jariku yang jalin menjalin.” (Conf.VIII.VIII.19-20).

Di dalam taman itu, pada suatu hari di musim panas tahun 386, Augustinus memeriksa seluk-beluk jiwanya yang masih tersembunyi. Akhirnya, ia mulai mengakui ketidak-mampuannya untuk menjadikan hidupnya suatu persembahan total. Ia mulai sadar, bahwa pribadinya terbagi-bagi. Hal itu jelas dari hawa nafsunya yang tak terkendali. Memang ia selalu berniat untuk hidup suci, tetapi selalu juga menunda-nunda niatnya. Ia berkata, “Aku meraung-raung mengibakan. Berapa lama lagi ? Besok, selalu besok. Mengapa tidak sekarang juga ? Mengapa tidak langsung dihabiskan kekejianku ?” (Conf.VIII.XII.28).

“Timbullah badai besar, sarat dengan hujan air mata yang lebat. Supaya air mata dan keluh kesah dapat kuumbar sampai habis, aku bangkit dan menjauh dari Alypius, sebab kesendirian menurutku lebih cocok untuk karya air mata. Aku menarik diri sampai cukup jauh.” (Conf.VIII.XII.28).

Dalam bab yang paling dramatis dari riwayat hidupnya, Augustinus melanjutkan ceritanya, “Maka terdengar olehku suara yang datang dari rumah tetangga, suara itu berkata dengan nada bernyanyi dan sering diulang-ulanginya dengan suara anak laki-laki atau anak perempuan, entahlah. Ambillah, bacalah ! Ambillah, bacalah ! Segera aku berubah wajah dan dengan pikiran ditajamkan aku mulai mencari-cari apakah anak-anak biasanya memakai lagu sedemikian dalam salah satu jenis permainan; tidak, tak ada kuingat pernah mendengar lagu itu di manapun. Kubendung serangan air mataku dan aku bangkit, sebab kejadian itu kuanggap tak lain dari perintah Tuhan yang mendesak, supaya kubuka kitab dan supaya kubaca apa yang kutemukan pada bab yang pertama-tama kujumpai. Aku memang pernah mendengar mengenai Antonius, bahwa dari bacaan Kitab Injil dalam Gereja yang kebetulan dimasukinya, telah dipetiknya peringatan untuk dirinya pribadi, seakan-akan khusus kepadanya dikatakan apa yang terbaca, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku (Mat 19:21), dan bahwa Sabda demikian segera membuatnya berpaling kepada-Mu. Maka dengan tergesa aku kembali ke tempat Alypius duduk. Benar, di sanalah telah kutaruh buku rasul tadi waktu aku bangkit dan pergi dari situ. Buku kupegang, kubuka, dan kubaca dalam hati bab pertama yang kepergok mataku, “Jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati, tapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus, dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya (Rm 13:14)

Aku tidak mau membaca lebih lama lagi, tidak perlu. Seketika memang, dengan kata-kata terakhir nas itu, seakan-akan ada cahaya keselamatan tercurah ke dalam hatiku dan segala kegelapan, keraguan menghilang, lalu kusisikan jari, atau entah tanda lain apa, ke dalam buku yang kututup ; lalu dengan wajah yang sekarang sudah tenang kuberitahukan hal itu kepada Alypius..... Dari sana, kami pergi ke tempat ibuku; kepada ibuku kami ceritakan bagaimana kejadiannya, ia bersuka-ria dan merasa menang. Sebab dilihatnya bahwa kepada dirinya telah dianugerahkan oleh-Mu, berhubung dengan diriku, jauh lebih banyak dari pada yang telah dimintanya terus menerus dalam doanya sehari-hari dengan tangis dan ratap yang mengibakan. Aku memang Kautobatkan kepada-Mu begitu rupa, sehingga aku tidak lagi mencari istri, atau apapun yang diharapkan di dunia ini. Perkabungannya telah Kauganti dengan sukacita, sukacita yang jauh lebih melimpah dari pada yang tadinya diinginkannya, jauh lebih manis dan lebih suci dari pada apa yang diharapkannya dari cucu-cucu yang mungkin lahir dari tubuhku. (Conf.VIII.XII.29-30).

(Sumber : Augustinus Tahanan Tuhan – Oleh Mgr.P.Van Diepen, OSA ; Editor N.Halsema, SJ - Diterbitkan dalam kerjasama Pusat Pastoral Yogyakarta & Penerbit Kanisius)

Tidak ada komentar: