Pada waktu itu datanglah kepada Yesus beberapa orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea, yang darahnya dicampurkan Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. (Luk 13:1).
Mereka menyampaikan kepada Yesus, tentang pemberontakan orang-orang Galilea di halaman kenisah dan intervensi pasukan Romawi yang ditempatkan pada benteng terdekat, mereka mencemarkan pelataran suci yang hanya boleh dimasuki orang Yahudi dan menumpahkan darah di Tempat Kudus tersebut.
Mereka yang menyampaikan berita ini mengharapkan agar Yesus akan memperlihatkan rasa nasionalisme dan keagamaan-Nya, dengan mengutuk pembunuhan terhadap sesama warga Negara dan penghinaan terhadap Allah. Yesus tidak memilih memfokuskan perhatian-Nya pada soal-soal ini, melainkan sebagaimana kebiasaan-Nya, Ia menunjukkan bahwa orang-orang lebih terobsesi dengan perkara-perkara manusia dari pada perkara-perkara Allah dan Ia mengarahkan perhatian mereka pada apa yang hakiki, bahwa orang-orang Galilea itu adalah orang-orang yang keras, sama seperti tentara Roma yang membunuh mereka (Yesus menjawab mereka: "Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian – Luk 13:2-3). Itulah saatnya Allah memanggil setiap orang kepada pertobatan yang padanya bergantung kelangsungan hidup mereka. Dalam atmosfir yang keras seperti itu tidak ada cara lain bagi bangsa Yahudi yang terjajah kecuali iman, karena iman bekerja melalui semangat pengampunan.
HUKUMAN ALLAH
Dalam perikop ini Yesus mempertanyakan gagasan yang kita miliki tentang hukuman Allah. Kita tidak bisa percaya kepada Allah tanpa percaya kepada keadilan. Bagi orang Yunani yang dewa-dewanya sewenang-wenang, dan tidak begitu jujur, keadilan merupakan kuasa ilahi yang mengatasi dewa-dewa. Kita selalu cenderung menjadikan diri kita pusat dunia dan yakin bahwa kita lebih baik dari orang lain. Jika malapetaka menimpa seseorang, kita berpikir bahwa itu adalah adil, tetapi ketika bencana itu menimpa kita, kita bertanya, ‘apa yang telah kulakukan terhadap Allah sehingga bencana ini menimpa diriku ?’
Injil membahas beberapa aspek dari masalah ini. Pertama, hendaknya kita berusaha membebaskan diri dari mentalitas kelompok (Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. – Luk 6:32), karena kejahatan yang dilakukan oleh musuh kita tidak lebih jelek dari pada kejahatan yang kita lakukan.
Keadilan Allah jauh melampaui keadilan kita, dan baru benar-benar terwujud dalam kehidupan yang berikutnya kasus Lazarus, (Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini. Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita. – Luk 16:24-25).
Kemalangan yang bagi kita di dunia ini tampak seperti ‘hukuman Allah’ tidak lebih dari pada suatu tanda yang bernilai pedagogis (mendidik) yang dipergunakan Allah untuk membuat kita sadar akan dosa kita. Dan Allah sering mempertobatkan seorang pendosa dengan menganugerahkan kepadanya karunia yang tidak diharapkan (Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu." - Luk 19:5).
Kalau begitu, mengapa ada begitu banyak hukuman Allah dalam Perjanjian Lama ? Umat Allah belum mengenal kehidupan abadi, sehingga perlulah berbicara tentang hukuman Allah dalam kehidupan di dunia ini, agar orang-orang ini percaya kepada keadilan-Nya. Sesungguhnya Allah terus memberikan tanda semacam itu baik untuk perorangan maupun untuk kelompok. Baiklah kalau kita belajar mengenal tanda-tanda itu, sambil mengingat bahwa itu bukanlah kata akhir dari keadilan Allah.
(Kitab Suci Komunitas Kristiani – Edisi Pastoral Katolik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar